YANG PUNYA UANG SIAPA?
"Kalau bisa secepatnya kamu mendapatkan apartemen itu. Kalau bisa besok atau lusa," pinta Bima.
Amelia menganggukkan kepalanya. Ia mencium ada yang tidak beres dengan Bima. Namun ia tidak ingin ikut campur dalam masalah itu.
"Apakah Bapak akan pulang ke mansion?" Amelia bertanya serius.
"Mansion akan segera aku jual," jawab Bima. "Oh ya, bantu aku jual mansion. Nanti aku akan memberikan komisi sebesar 30% dari penjualan mansion itu."
"Baik, Pak. Saya akan membuat bannernya. Dan saya akan menjualnya melalui..." Amelia sengaja menggantungkan pembicaranya.
"Atas nama kamu! Aku tidak perlu perantara melalui siapa pun!" Bima menekan nada suaranya.
Amelia menuruti keinginan Bima. Ia sudah mencatat semuanya di ponsel. Bima yang melihat Amelia serius bekerja, akhirnya mengambil keputusan.
"Pergilah ke Singapura. Temui Nicky Wijaya untuk membicarakan kontrak baru pelayaran internasional!" Bima memberikan perintah baru.
"Kapan, Pak?" Amelia mengangkat kepalanya.
"Lebih cepat, lebih baik." Bima mengambil pulpennya dan membuka dokumen yang berada di depannya.
"Baik, Pak." Amelia melangkah mundur. "Ada lagi?"
"Sudah tidak ada lagi," balas Bima.
Amelia pergi meninggalkan ruangan Bima. Ia sangat lega dengan perintah Bima. Ia seakan mencium kebebasan yang belum pernah dirasakannya.
Amelia kembali ke ruangannya. Ia bisa tersenyum lega. Ia melupakan kejadian tadi yang membuatnya malu. Ia mulai membaca semua perintah Bima yang berada di ponselnya.
Amelia akhirnya mengerjakan tugasnya. Ia mulai mencari tempat apartemen yang nyaman untuk Bima. Saat mencari, Amelia memilih diam. Entah kenapa, di dalam hatinya terbesit ingin keluar dari rumah.
"Apakah aku keluar dari rumah saja? Jujur, aku sudah muak dengan suasana rumah," ucap Amelia dalam hati.
Amelia sedang memikirkan dampak terburuk bagi dirinya. Ia ingin menghirup suasana baru. Baginya, di dalam rumah mewahnya tidak ada kenyamanan.
"Aku akan membicarakan ini ke Paman Nicky." Amelia berharap Nicky memberikan solusi.
Setelah menemukan sebuah apartemen, Amelia memberikan informasi tempat itu. Ia bergegas menuju ke ruangan Bima. Amelia masuk ke dalam dan melihat Bima yang sedang melihat tab-nya.
"Pak, aku sudah menemukan sebuah apartemen. Tepatnya berada di depan kantor ini. Jadi, Bapak tidak akan terlambat lagi." Amelia memberikan tab-nya ke Bima.
Bima menerimanya dan melihat apartemen itu. Ia tersenyum simpul karena Amelia paham. Bima menyerahkan tab itu dan memintanya menawarnya.
"Segera tawar harganya. Aku tidak mau terlalu mahal!" Bima memperintahkan Amelia.
"Apakah Bapak menyewanya?" Amelia mulai curiga dengan Bima.
"Kenapa harus menyewa? Kalau bisa beli, aku akan membelinya satu gedung semuanya!" Bima menatap Amelia.
Tentu saja Amelia sangat terkejut. Bagaimana bisa Bima mendadak membeli satu gedung apartemen? Akhirnya Amelia berdebat dengan Bima soal gedung apartemen itu.
"Pak, lebih baik aku beri saran. Lebih baik beli satu unit saja. Mubazir, Pak, kalau beli satu gedung itu." Amelia bingung.
"Yang punya uang siapa?" Bima bertanya dingin.
"Bapak yang punya uang," jawab Amelia segera mengambil tab-nya.
"Makanya itu, lebih baik kamu beli satu gedung. Gitu aja kok repot." Bima sengaja meledek Amelia.
Amelia hanya menggelengkan kepalanya. Memang sih, Bima Santoso, sang pemilik perusahaan BS Star Company, sangat tajir. Bahkan ia termasuk orang terkaya di dunia.
"Aku kasih waktu seminggu untuk mendapatkan gedung apartemen itu," ucap Bima.
"Baiklah." Amelia tidak membantah perkataan Bima.
Amelia memilih kembali ke ruangannya. Ia melihat jam yang sudah menunjukkan jam pulang. Amelia menarik napasnya seakan ingin mengeluarkan beban. Ia bingung harus bagaimana.
"Kejadian tadi siang membuatku muak. Kenapa setiap bertemu yang diminta hanyalah uang. Bisa enggak sih tanya soal bagaimana kabarmu? Jujur aku jadi malu. Ditambah lagi aku bekerja di perusahaan elit," keluh Amelia dalam hati.
Amelia takut jika Mama dan Dina tahu semuanya. Hidupnya tidak tenang seakan ada yang mengganjal. Ia berharap malam ini tidak bertemu dengan Santi.
"Apakah aku harus kabur saja?" Amelia memikirkan bagaimana caranya kabur dari rumah.
Mau tidak mau Amelia memberanikan dirinya pulang. Amelia menyimpan barang-barangnya di laci meja. Ia sengaja tidak membawanya pulang. Ia hanya membawa ponsel yang dipakai setiap hari.
Amelia melangkah keluar dari ruangannya. Sebelum pergi meninggalkan kantornya, Amelia berpamitan ke Bima. Setelah itu Amelia pergi meninggalkan kantornya.
Amelia menunggu bus Trans. Saat menunggu, Amelia melihat banyak sekali mobil mewah berlalu-lalang. Terbesit dalam hati, andaikan ia bisa membeli, Amelia tidak akan kesusahan seperti ini.
"Mau beli mobil sudah kayak pencuri aku!" Amelia berkata dalam hati.
Amelia tertawa terbahak-bahak dalam hati. Seakan-akan dirinya adalah seorang pencuri. Ia sadar kalau selama ini ada yang tidak beres dalam hidupnya. Ia bekerja bukan untuk dirinya.
Bus Trans pun tiba. Ia naik dan mencari tempat duduk. Ia mengamati banyak orang yang lelah bekerja. Lalu di dalam hatinya ada bisikan halus, "Lebih baik kamu jangan pulang ke rumah." Akan tetapi Amelia tetap pulang.
Sesampainya di tempat tujuan, Amelia turun dari bus Trans. Ia melihat langit sudah gelap. Langkah kakinya terasa berat menuju ke rumah. Namun Amelia harus pulang.
"Mel, kayaknya kamu ada masalah deh." Amelia mencium ada yang tidak beres.
Sesampainya di halaman rumah, Amelia tidak melihat ada mobil terparkir. Ia bingung, apakah dirinya harus tersenyum? Amelia memberanikan diri untuk masuk.
Amelia akhirnya masuk ke dalam. Suasana rumah sepi. Ia tidak tahu kenapa, akhir-akhir ini rumahnya terasa asing. Rumah yang seharusnya menjadi tempat tenang berubah menjadi neraka. Selama hidup ia tidak merasakan kedamaian.
"Pengen hidup damai... tapi rasanya seperti hidup di neraka." Amelia menertawakan hidupnya.
Amelia menuju ke sofa dan melihat kenangan yang tidak mengenakkan. Tubuhnya pernah didorong Santi secara brutal. Ia hampir saja pingsan.
Amelia duduk di sofa dan mengelusnya. Antara ya dan tidak untuk keputusan membeli apartemen. Ia harus meminta persetujuan ke pamannya terlebih dahulu.
Sunyi di dalam rumah membuatnya damai sejenak. Ia berharap tidak ada drama malam ini. Namun hanya beberapa menit saja, ada deru mesin mobil terdengar. Amelia yang tadinya damai berubah menjadi gelisah.
"Eh, ada anak durhaka!" Santi berteriak kegirangan.
Benar saja, kedamaiannya langsung buyar. Amelia hanya meringis perih. Santi mendekat dan langsung pergi meninggalkan Amelia sambil tersenyum iblis.
Tak lama ada seorang wanita paruh baya dengan dandanan glamor. Matanya melotot ingin keluar dari tempatnya. Ia adalah wanita yang sangat berkuasa di dalam rumah itu.
Namanya Nilam Irwandi. Kalau di luar rumah ia sangat baik bagaikan malaikat. Kalau di dalam, sifat malaikat itu berubah menjadi iblis. Sangat ambisius ketika mendapatkan sesuatu.
"Oh, memang benar apa yang dikatakan Santi. Tumben sudah sampai rumah!" Nilam mengejek Amelia.
"Mengapa Ibu mengatakan seperti itu?" Amelia bingung dan berdiri.
"Sadar diri! Kalau kamu memang anak durhaka!" Nilam membentak Amelia.
"Sekarang aku bertanya, mengapa Ibu mengatakan aku anak durhaka?" Amelia meminta jawabannya.
