JOMBLO SEMENTARA WAKTU.
"Tidak semudah itu aku menjadi model. Aku lebih memilih menjadi seorang big bos. Menolong banyak orang agar mereka tidak lapar," jelas Bima.
Amelia terdiam dan mengangkat kepalanya. Ia menatap langit yang cerah bertabur bintang. Ia ingin berteriak untuk melupakan semuanya. Ia teringat atas pembicaraan tadi, yang dimana dirinya direndahkan jomblo.
"Ada baiknya kamu jomblo untuk sementara waktu. Jangan jadikan jomblo itu penyakit. Lebih baik kamu fokus pada hidupmu," ucap Bima.
"Bagiku, jomblo itu bukan penyakit. Aku baik-baik saja disebut jomblo abadi, pak. Ketimbang menjalin hubungan dengan seseorang yang sudah memiliki pasangan," sahut Amelia.
Bima menganggukkan kepalanya. Memang benar apa yang dikatakan Amelia. Ia sering memperhatikan hal-hal kecil tapi bermakna.
"Kok aku merasakan kalau dia tidak mirip kamu?" Bima bertanya dengan jujur.
"Yang mana, pak?" Amelia menghela nafasnya.
"Yang tadi mempermalukan kamu?" Bima masih terngiang dengan pembicaraan tadi.
Seketika Amelia tersadar. Ia mencoba mencari jawabannya. Entah kenapa dirinya seakan-akan ada rahasia yang ditutupinya. Ia mengusap wajahnya dan merasakan ada yang tidak beres.
"Apakah Nicky tidak tahu akan hal ini?" Bima bertanya lebih lanjut.
"Paman, aku tidak pernah bercerita tentang masalah ini. Aku tidak mau menjadi beban paman." Amelia sengaja menyembunyikan ke Nicky tentang penderitaannya.
"Ya, harusnya kamu cerita ke Nicky." Bima sengaja menekan Amelia agar jujur.
Amelia hanya menganggukkan kepalanya. Ada benarnya juga ia bercerita kepada Nicky. Namun ia sengaja menutupinya, dikarenakan ia tidak ingin menjadi beban buat sang paman.
"Tidak semuanya dibicarakan semuanya. Ada baiknya kita merahasiakan sesuatu, biar kedua belah pihak bisa menjalankan tanpa ada pertumpahan darah," kata Amelia dengan bijak.
Bima menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa Amelia bisa sesabar itu untuk menghadapi Santi? Harusnya Amelia berontak.
"Hubungan kamu sama cewek tadi apa?" Bima bertanya sekali lagi.
"Kakak kedua. Aku masih memiliki kakak lagi yang bernama Dina. Aku tidak tahu keberadaannya. Entah mama mencarinya apa tidak? Aku tidak bertanya sama sekali," jawab Amelia.
Bima dapat menangkap kalau keluarga Amelia berantakan. Di satu sisi Amelia seakan tidak memperdulikan semuanya. Namun ia tahu kalau Amelia sedang menyimpan rahasia yang belum terungkap.
"Aku dapat menangkap kalau kamu memiliki beban yang tersimpan. Tidak semua orang tahu beban itu. Kamu menelannya mentah-mentah. Kamu tidak peduli rasa sakit itu." Bima dapat merasakan kesakitan Amelia.
"Terima kasih, pak, sudah meringankan beban aku. Maaf, jika selama ini saya bekerja tegas dan kadang over protektif terhadap jadwal yang sudah disusun," sahut Amelia.
"Justru itu. Hanya lulusan SMA bisa meng-handle semua pekerjaanku. Awalnya aku sendiri meremehkan kamu. Tapi kamu berani belajar." Bima memuji cara kerja Amelia.
"Kalau di luar jangan anggap aku atasanmu. Lebih baik kamu menganggap aku sebagai sahabatmu atau apalah," pinta Bima.
Amelia merasakan hatinya hangat. Mengapa dirinya seakan mendapatkan angin segar? Akan tetapi ia tidak memiliki sifat uruk. Yang dimana ia tidak menjerat Bima yang masih berstatus milik orang.
"Tidak semudah itu, pak," sahut Amelia. "Ada hati yang harus dijaga oleh bapak."
"Apa yang harus dijaga? Pernikahanku di ujung tanduk. Aku capek menjalankan pernikahan yang penuh dengan ego." Bima tersenyum konyol.
Amelia memilih diam seakan tidak peduli. Ia tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga Bima. Cepat atau lambat semuanya akan terbuka.
"Maaf pak, aku tidak akan ikut campur masalah rumah tangga bapak," sambung Amelia.
"Kamu sangat cerdas untuk mengambil keputusan. Aku tidak ingin membebani masalah ini ke kamu. Biarkan semuanya berjalan apa adanya. Cepat atau lambat, semua masyarakat akan tahu siapa Martha yang sesungguhnya," Bima sengaja membuat teka-teki.
Memang benar apa yang dikatakan Bima. Biarkan orang tahu apa yang terjadi pada pernikahannya. Setelah semuanya tahu, ia tidak akan menutupinya. Ia memilih santai dan tidak terlalu pusing memikirkannya.
Bima diam-diam mengambil ponselnya. Ia menghubungi seseorang dengan tenang. Sementara Amelia memfokuskan dirinya untuk melihat keindahan gedung pencakar langit.
Sementara orang yang dihubunginya berada di suatu tempat. Orang itu bernama Rey Martinez. Ia sedang sibuk mengepak barang yang akan dikirimnya ke Oslo.
"Packing harus rapi!" Rey memberikan sebuah perintah.
"Siap, bos!" Para pengawal teriak.
Terdengar suara dering telepon. Rey meraih ponselnya di depannya. Ia sangat terkejut karena Bima menghubunginya. Lalu ia segera mengangkatnya.
"Halo," sapa Rey.
"Tolong kamu cari info dari Burhan Silalahi!" Bima segera memberikan sebuah perintah.
"Siap!" Rey segera mematikan ponselnya.
Rey memilih mundur untuk mencari informasi tentang Burhan. Para pengawal masih melanjutkan pekerjaannya. Rey Martinez adalah kaki tangan Bima yang berada di organisasi bawah tanah. Ia terkenal tegas dan mampu mengeendalikan dunia bawah tanah dalam situasi yang tidak baik.
Dahulu, sebelum Amelia masuk, Rey tetap setia berada di samping Bima. Ia juga memiliki tanggung jawab atas pekerjaan Bima. Namun ketika Amelia masuk dan bisa menguasai semuanya, Bima sengaja memindahkannya ke organisasi bawah tanah.
Bima dan Amelia masih asyik dalam posisi merenung. Memang benar tempat ini sebagai tempat perenungan. Namun tidak sengaja, ada beberapa pengawal membawa beberapa bungkus tas yang berisikan makanan. Bima memang suka sekali makan. Tapi badannya tidak bisa menjadi gemuk.
"Tuan, pesanan Anda sudah datang," ucap salah satu pengawal itu.
"Thanks," balas Bima singkat.
Pengawal itu membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya. Saat mau pergi, Bima memanggilnya kembali, "Tunggu!"
Pengawal itu berhenti dan membalikkan badannya lagi, "Ada apa, Tuan?"
"Gadis gila yang bersama kakek tua itu sudah pergi?" Bima bertanya tentang keberadaan Santi dan Burhan.
"Mereka sudah pergi. Mereka tidak memiliki akses untuk masuk ke lift utama. Tapi gadis gila itu berteriak seperti orang yang tidak memiliki sopan santun. Aku sengaja menghubungi security untuk mengusirnya," jelas pengawal itu.
"Pergilah!" Bima mengusir pengawal itu.
Mereka akhirnya pergi meninggalkan rooftop itu. Amelia hanya memilih diam tanpa berkomentar apapun. Tubuhnya gemetar seakan-akan ada bahaya yang sedang mengintainya.
Bima bisa merasakannya. Ia tahu Amelia sedang tidak baik-baik saja. Ia membuka kantong dan memberikannya sebungkus hamburger ke Amelia, "Ketimbang kamu ketakutan seperti itu, lebih baik kamu makan!"
Amelia mengangguk pelan. Ia menerima hamburger itu. Ada kalanya kita sebagai manusia menghargai diri sendiri. Jika ada masalah, tetap dihadapi dengan tenang. Dan jangan lupa makan.
"Pak, ajaran darimana?" Amelia meledek Bima.
"Bukan ajaran darimana? Melainkan harus menjaga kesehatan. Sudah tahu ada masalah, perut tidak diisi. Bukannya mengurangi masalah, malah menambah masalah." Bima memberikan pesan bijak.
Memang benar apa yang dikatakan Bima. Setiap masalah harus dihadapi dengan tenang. Tidak boleh gegabah. Yang penting bisa menjaga kesehatan.
Malam itu menjadi malam yang sangat indah. Meski perih, Amelia memilih menjadi kuat. Ia bersiap akan menghadapi semuanya.
"Pak, udah jam 11 malam. Aku pamit pulang." Amelia mengambil tasnya.
"Pulang sama siapa?" Bima bertanya dengan serius.
