Ringkasan
Can we, can we surrender? Menikah bukanlah suatu perkara yang mudah, apalagi pernikahan bersyarat mutlak dan ternyata mendapatkan pasangan hidup yang berkelakuan tidak kebanyakan seperti pasangan normal dan harmonis lainnya. Anjani Tralasa, dalam keadaan terdesak demi kepentingan kedua orang tuanya harus berada pada posisi sebagai seorang Istri untuk Pandhu Rachmanu sekaligus pengasuh untuknya, sebab suaminya 'berbeda'. Anjani juga tidak yakin apakah suaminya itu bisa menjadi suami dan kepala rumah tangga yang baik untuk kehidupan mereka.
PART 1
Anjani mengernyit membuka kedua matanya perlahan, sekujur tubuhnya terasa pegal dan ngilu setelah tadi malam melayani nafsu sang suami yang luar biasa bertenaga. Bahkan Anjani lunglai pasrah dan hanya bisa mengeluarkan desahan menerima setiap suaminya menggaulinya berulang kali tidak ada puasnya.
Satu minggu telah berlalu semenjak Anjani menikah, dirinya sudah menjadi nyonya Rachmanu dan berstatus sebagai Isteri Pandhu Rachmanu.
Anjani juga baru mengetahui bahwa suaminya ini mempunyai sifat yang gampang berubah, terkadang suka berbicara dan terkadang pendiam mengurung diri, seakan mempunyai kepribadian ganda. Anjani awalnya tidak paham ada apa dengan suaminya, tetapi setelah Ibu mertua menjelaskan kepadanya bahwa anaknya itu memang berbeda dari lelaki lain, suaminya itu terlahir berbeda dan dirinya hanya membutuhkan kasih sayang yang lebih supaya suaminya sadar bahwa dirinya tidak sendirian.
Pernikahan mereka juga bukan Pernikahan bahagia seperti pasangan lain tanpa Pernikahan diatas kertas putih. Anjani mendatangani surat perjanjian tersebut dengan ikhlas tanpa paksaan, sebab dirinya harus mementingkan Bapak-nya yang sedang sakit gagal ginjal dan harus segera di operasi, bantuan keluarga Rachmanu bukan hanya membiayai operasi saja melainkan bersama juga untuk kehidupan kedua orang tuanya yang lebih memadai.
Anjani ingin kedua orang tuanya hidup nyaman dan berkecukupan, dirinya biarlah disini menjalani Pernikahan tanpa kedua orang tuanya mengetahui hidupnya jauh dari kata harmonis. Akan tetapi, Anjani akan menjadi Isteri yang mengabdi kepada suami seperti Ibunya yang bersedia hidup susah dengan Bapak selama bertahun-tahun tanpa pernah mengeluh.
Anjani harus belajar dari sang Ibu, Ibunya mendidiknya menjadi anak yang bertutur kata sopan, menghormati sesepuh dan jangan pecicilan karena dirinya seorang wanita yang didik dengan kasih sayang serta kelembutan kedua orang tua.
Anjani tidak akan mengecewakan kedua orang tuanya apalagi mempermalukan dirinya menjadi menantu di keluarga besar Rachmanu.
Anjani bangun lalu perlahan turun dari tempat tidur, sempat menoleh sebentar kebelakang melihat Pandhu masih tertidur pulas dengan tubuh bertelanjang dada. Anjani menghela napas, mengambil selimut memberikan tubuh suaminya selimut supaya tetap hangat karena tubuhnya yang mengenakan celana pendek.
Setelah itu Anjani mengambil handuk kecil kemudian masuk kedalam kamar mandi, didalam kamar mandi menyikat gigi dan setelah itu mencuci wajah dengan sabun khusus milik Anjani.
Selagi membasuh wajah, Anjani dikejutkan dengan sebuah pelukan dari belakang tubuhnya dan dagu yang bertumpu di cekungan lehernya. Anjani tersenyum melihat dari pantulan cermin memperlihatkan suaminya baru bangun tidur dan penampilannya sangat berantakan, terutama rambut gondrongnya yang bergelombang berantakan seperti tidak tersisir, lalu matanya menatap malas seperti masih mengantuk akan tetapi suaminya paksakan masuk kemari kedalam kamar mandi.
“Masih mengantuk tidur saja mas, tadi malam 'kan mas begadang” kata Anjani seraya tangannya terulur keatas mengelus rambut suaminya dan pelukan suaminya di tubuhnya juga mesra.
“Tidak bisa tidur kembali, kamu meninggalkan mas” sahut malas Pandhu, kepalanya bergerak dan Anjani menghentikan elusannya sebentar tetapi sepertinya suaminya itu memberikan kecupan kecil di leher serta pundak Isterinya, membuat Anjani tersenyum seraya menahan kegelian.
Anjani selalu tidak berhasil jika ingin turun dari tempat tidur, suaminya bakalan sadar dan sepertinya Pandhu mempunyai indra pendengaran yang sangat tajam. Itu di karenakan suaminya terbangun tidak merasakan elusan di lengannya atau pelukan, setiap malam Anjani selalu mengeloni suaminya supaya lekas tertidur dan kalau tidak bisa tidur. Pandhu bakalan menggaulinya sampai dirinya kelelahan dan mengantuk dengan sendirinya.
“Maaf ya…sudah buat mas terbangun, adik hanya basuh muka. Mas mau adik kelonkan lagi supaya tidur sebentar?, hari ini 'kan mas sudah kembali masuk bekerja dan nanti mas bisa mengantuk disana” tanya Anjani menunggu jawaban, tangan suaminya yang sedang memeluk perutnya di ambil perlahan dengan Anjani dan berada di bawah air kran wastafel. Anjani mencuci tangan suaminya dengan telaten menggunakan sabun cair khusus pencuci tangan supaya bersih.
“Mas tidak mau bekerja, mau di rumah bersama kamu,” Pandhu menolak alasannya hanya ingin berduaan bersama isterinya, di lapangan nanti pasti sangat membosankan Pandhu dan lebih baik dirumah saja.
“Adik tidak akan kemana-mana mas, bakalan selalu menunggu mas pulang bekerja, kalau mas tidak bekerja nanti mau menafkahi adik bagaimana?” nasihat Anjani dengan lembut berharap suaminya mau berangkat bekerja sebab sudah hampir 2 minggu tidak masuk bekerja.
Ayah mertua mengatakan bahwa anak tertuanya sedang kambuh menjadi pemarah lantaran menolak masuk bekerja sampai menunggu hari Pernikahannya terlaksanakan. Anjani kemarin malam di mintai tolong Ayah mertua untuk membujuk anaknya itu, supaya Pandhu mau kembali masuk bekerja dan dapat berinteraksi terhadap orang sekitar tidak berdiam di dalam kamar.
Anjani sekarang berusaha membujuk suaminya, pelukannya tidak terlepas dan ada sesuatu yang mengeras menusuk pantatnya. Anjani mengetahui apa yang sekarang mengganjal dibelakang, ditatapnya pantulan cermin melihat Pandhu yang memejamkan mata serta bertingkah manja mengendus-endus belakang telinganya.
“Mas,” Anjani menoleh ke samping menatap Pandhu yang terdiam, mereka saling bertatapan dan bibir Anjani mengecup lembut bibir suaminya yang membalas ciumannya. Itu membuat Anjani mengikik, nafsu suaminya sangat cepat naik jika sedang di pancing dan Anjani mengelus dada bidanya, mereka sudah berhadapan sekarang.
“Berangkat kerja hari ini mau, kan mas tampan?” suaminya memang tampan, bahkan sangat tampan dilihat dari jauh atau dekat sama saja selalu tampan. Anjani menyulai hidung mancung Pandhu dan bibirnya yang sering manyun kalau tidak dapat apa yang suaminya inginkan dari Anjani.
“Hemh.” Pandhu hanya bergumam mengiyakan, kalau bukan permintaan Isterinya tidak bakalan Pandhu menurut. Apapun untuk Isterinya, karena telah bersedia menikah dengannya dan menjadi bagian dari hidupnya yang terasa hampa.
“Adik senang dengarnya, kalau begitu mas mandi dulu dan adik mau siapkan pakaian kantor untuk mas” Anjani setelah itu mengambilkan handuk milik suaminya dan berikan kepadanya.
Pandhu segera mandi membersihkan diri di dalam kamar mandi. Anjani lantas menyetrika kemeja dan celana kantoran suaminya yang akan di kenakan, setelah selesai menyetrika dan secara kebetulan suaminya juga sudah selesai mandi. Anjani membantu mengeringkan rambutnya yang basah menggunakan handuk, sekalian mengelap tubuh suaminya dan setelah itu memberikan pakaian yang sudah Anjani setrikaan.
“Mas bakalan pulang cepat, kamu benaran di rumah saja?” nada Pandhu terdengar takut kalau isterinya keluar tanpa seizin-nya dan apalagi mendekati lelaki lain. Pandhu tidak suka, dan sudah menyinggung hal itu di kontrak mereka, semisal Anjani melanggar. Pandhu tidak segan bermain kasar.
Anjani tersenyum sambil memasangkan dasi hitam di kerah kemeja suaminya. “Inggih, mas. Adik tidak akan melanggar aturan mas, sudah selesai,” mereka berdua melihat kearah cermin dan lihatlah, betapa gagahnya suaminya mengenakan pakaian kantoran serta rambut gondrong bergelombangnya di ikat satu di belakang.
“Mas tampan.” Anjani memuji ketampanan suaminya dan kalau sudah seperti ini, suaminya tidak kelihatan seperti apa yang dilakukannya selama ini melainkan seperti lelaki normal kebanyakan.
“Mas sendiri tidak tahu itu.” Pandhu bertampang datar dan dari perkataannya itu mengundang gelak Anjani, suaminya bahkan tidak menyadari bahwa dirinya mempunyai ukiran wajah tampan seperti keturunan Inggris. Tetapi setelah itu Anjani tersenyum lembut serta menggengam tangan suaminya.
“Ya sudah, ayo keluar adik melayani makan.” Anjani menyeru, dan mereka keluar dari dalam kamar menuju ruang makan.
Pandhu bersama Anjani menghampiri meja makan dan meja makan berukuran besar tersebut sudah terisi keluarga suaminya, mereka sepertinya datang terlambat tetapi di sambut dengan baik.
“Gusti!, tampan sekali dan sepertinya sudah siap kembali bekerja, nak?” Bilkah menyapa Pandhu serta memberikan pujian kepada anak tertuanya itu sudah rapi berpakaian kantoran serta harum parfum maskulin.
“Hemh.” sahut Pandhu memang tidak banyak bicara kepada keluarga tetapi kepada Anjani. Pandhu kadang berbicara juga mendiamkannya tanpa sebab, kalau sudah begitu Anjani sudah paham bahwa suaminya itu harus di sayang-sayang dulu baru meluluh.
Anjani mengambilkan makanan untuk Pandhu dan tidak lupa segelas susu dalam kotak untuknya. Pandhu makan dengan tenang tanpa mengatakan apapun, di hadapan mereka ada Laina dan suaminya Bagas.
Anjani tersenyum menyapa adik iparnya itu tetapi nyatanya Laina malah menatapnya sinis tanpa pernah mau membalas senyumannya, sedangkan suaminya Bagas selalu ramah kepada Anjani dan ternyata Bagas bekerja sebagai Pengacara. Anjani baru mengetahui setelah seminggu tinggal serumah bersama mereka, itu pun Anjani tahu dari pembantu yang bekerja setengah hari.
“Anjani, kenapa diam tidak kamu makan makananmu, ndu?. Apa kamu sakit?” Bilkah menegur Anjani yang terdiam dan langsung terkejut, dia menyengir ketahuan termenung.
“Ah!, aku tidak sedang sakit, bu.” kata Anjani sopan menyakinkan Ibu mertuanya yang terus menatapnya.
“Syukurlah kalau begitu, nikmati makanannya.” Bilkah tersenyum lalu kembali melanjutkan makan.
Pandhu melirik Isterinya yang kembali makan dan dengan begitu dirinya juga kembali makan bersama isterinya, setelah selesai isterinya itu dengan telaten mengambil semua piring kotor sehabis makan bersama gelas di atas meja makan.
Anjani datang menghampiri Pandhu, berdiri di depan teras memperhatikan isterinya yang sedang merapikan kemeja serta dasinya. Pandhu hanya diam menatap saksama wajah cantik Isterinya, tangan lentik nan halus itu bergerak begitu telaten dan bibir merah alami itu juga sering menampilkan senyuman yang membuat Pandhu semakin betah berlama-lama menatap kecantikan natural dari isterinya.
“Mas, nanti disana kalau istirahat mas juga ikutan istirahat makan siang ya…ini adik ada bekalkan sandwish kesukaan mas dan telur setengah matang, di habiskan.” kata Anjani memberitahukan suaminya yang mengangguk menerima kotak bekal yang sudah di sediakan isterinya.
“Jangan kemana-kemana.” penekanan Pandhu mengingatkan sekali lagi, matanya menajam tidak menyukai jikalau Anjani melanggar atau membantahnya yang sudah menjadi suaminya.
“Inggih, hati-hati bekerjanya.” Anjani menyalami punggung tangan Pandhu dengan rasa hormat dan sayangnya untuk suaminya.
Pandhu sendiri hanya mengangguk setelah itu melangkah meninggalkan Isterinya tanpa pernah berperilaku manis, mengecup kening atau mengatakan kata-kata yang manis. Anjani tidak mengharapkan hal itu sebenarnya, dirinya hanya ingin suaminya berubah menjadi suami yang mempunyai kepribadian lebih baik.
Anjani tersenyum sembari melambaikan tangan melihat suaminya melambaikan tangan di dalam mobil duduk di belakang. Mobil sedan milik Ayah mertua berjalan keluar dari halaman dan Anjani masih menunggu sampai mobil tersebut hilang dari pandangannya.
“Apa tingkahmu itu hanya rekayasa semata?”
Anjani mengeryit mendapati suara dari belakang tubuhnya, membalikkan badan mendapati Laina yang menatapnya merendah. Laina sampai membuka kaca mata hitam miliknya dan menatap dengan tampang tidak suka.
“Ah!, ternyata benar dugaan aku bahwa kamu itu berlagak perduli dengan kangmas melainkan hanya mengincar hartanya, kampungan sekali caramu itu” Laina menghina Anjani dan sempat tersenyum tipis, kedua lengannya bersedekap dihadapan Anjani yang tidak mengerti maksud dari perkataannya.
“Laina, mbak sungguhan tidak mengerti kamu bicarakan apa?, mbak sungguhan menerima kangmas kamu untuk menjadi suami dan imam rumah tangga mbak” sanggah Anjani berkata halus supaya tidak menyinggung Laina yang sekarang malah tertawa meledek.
“Duh, sudahlah jangan banyak bermain drama antara kita berdua, karena aku tidak sudi punya mbak ipar yang matre seperti kamu yang tidak sadar bahwa miskin. Aku peringatkan sekali lagi, jangan mencari muka disini.” kata peringatan tegas Laina kepada Anjani sampai menunjuk kearah wajahnya. Anjani bahkan termundur kebelakang dan hanya bisa bersabar akan tuduhan tidak benar yang di katakan Laina barusan. “Mbak sungguhan tidak mencari muka, Laina.” Anjani berkata lirih mengatakan kenyataannya bahwa dirinya ini sungguhan tulus dan tidak pernah terlintas dalam pikirannya ingin menguasai kekayaan suaminya.
Laina melangkah meninggalkan Anjani karena sudah memuakkan meladeni Anjani, saat melangkah dengan sengaja menabrak keras bahu Anjani yang hampir terjatuh. Anjani menoleh kebelakang melihat Laina masuk kedalam mobil dan sempat meliriknya sinis, setelah itu mengendarakan mobilnya keluar dari halaman.
Anjani memejamkan mata merasa sedih akan tuduhan dari Laina, memang sampai saat ini Laina masih tidak menyukainya dan sering terang-terangan mengatakan ketidak sukaannya akan kehadirannya di keluarga Rachmanu.
Anjani hanya bisa bersabar menghadapi tuduhan maupun cobaan dalam kehidupannya, bahkan dirinya baru menikah seminggu sudah mengeluh dan itu membuat Anjani malu dengan diri sendiri sebab inilah keputusannya sendiri secara ikhlas menjadi isteri suaminya.