Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Dua Minggu dari Sekarang

“Jangan mancing-mancing, deh ....” Cassie menyuarakan protesnya saat Bryan mulai memberondongnya dengan pertanyaan yang tak mampu ia jawab. 

Mereka sedang berbincang melalui saluran jarak jauh. Kedua orang tua Cassie tak membolehkan gadis itu bertemu Bryan kemarin, dengan alasan ‘pamali’ karena Cassie sebentar lagi akan menikah. 

Jadi ceritanya dirinya harus mulai dipingit mulai beberapa minggu sebelum pernikahan. Dan tentu saja, hal itu menimbulkan pertanyaan di benak Cassie, memangnya kapan pernikahannya akan diadakan? 

“Aku serius, Cas. Aku pengen tahu, kalau kamu dijodohkannya sama aku, apa kamu akan nolak? Atau malah nerima dengan senang hati?” 

Pertanyaan itu ... haruskah Cassie jawab? 

Padahal mustahil Bryan tak tahu kalau selama beberapa lama persahabatan mereka telah berubah wujud menjadi sesuatu yang berbeda di hati Cassie. 

Ada yang berbeda, Cassie akui itu. Pastinya bukan lagi rasa sayang sebagai dua orang sahabat apa lagi antara kakak dan adik, karena mereka tak punyai ikatan darah. 

“Ya, kalau lo masih tetep jadi player cap kodok, gue mah ogah! Siapa juga yang mau dikadalin atau diduain sama buaya?!” jawab Cassie, kemudian merebahkan tubuh di kasur. “Kenapa tiba-tiba tanya kayak gitu?” 

“Gak apa-apa. Pengen tahu aja. Karena kelihatannya lo gak terbebani dinikahkan dengan om-om itu.” 

“Sok tahu! Atas dasar apa lo ngomong gitu?” 

Wajar Cassie tidak terima dengan asumsi yang dilontarkan oleh Bryan, karena bukan demikian kenyataannya. Ia bahkan sampai di tahap jijik pada lelaki itu. 

“Aku lihat sendiri kamu gak masalah bahkan kelihatan santai waktu kita ketemu di mall.” 

Andai saja Bryan tahu kalau apa yang dia katakan itu justru berbanding terbalik dengan yang Cassie rasakan saat ini. Andaikan Cassie tidak menyaksikan adegan mesum itu di depan matanya, mungkin dirinya tidak akan seperti ini. 

Meski tetap akan terbebani dengan kemungkinan diceraikan setelah dua tahun, tetapi ia masih bisa berharap pada keajaiban. 

“Hmm ... gimana ya, Bre. Gue gak tahu harus bilang apa, tapi apa yang sebenarnya terjadi gak seperti yang lo lihat. Kalau gue bilang gue gak mau, itulah kenyataannya.” 

“Kenapa kamu gak batalin?” 

“Karena gue gak bisa. Ada beberapa alasan yang gue juga gak bisa ceritain sama lo, Bre.” 

Masih asyik dengan percakapan intensnya dengan Bryan, suara panggilan sang mama membuyarkan momen antara dua sahabat yang sedang saling mencurahkan perasaan itu. 

“Cas ... ada Bisma, sayang.” 

Cassie mendesah keras, hingga Bryan bisa mendengarnya dari seberang. 

“Kenapa, Cas? Calon suami kamu datang?” 

“Hmm ... males banget gue. Ngapain, sih, dia jadi sering banget dateng ke sini? Katanya gak cinta ....” Cassie menggerutu tak sadar kalau Bryan masih menyimak setiap ucapannya. ”Eh, aduh! Udah dulu, ya, Bre. Kabari gue besok jadinya jam berapa. See you!” 

Cassie tidak mampu menunggu sang mama berteriak untuk ke sekian kalinya. Ia bergegas turun dan menemui lelaki ganteng yang sudah menunggu di ruang tamu. Sudah mirip seperti calon suami sungguhan yang menikah karena cinta. 

Padahal tidak seperti itu kenyataannya. 

Dan bisa jadi sikap Bisma yang sok gentleman ini yang membuat kedua orang tua Cassie begitu kesengsem pada lelaki itu. 

“Ngapain lagi Mas Bisma ke sini? Rajin banget, kayak orang mau nikah beneran,” komentar Cassie yang cukup pedas di telinga Bisma. Namun, lelaki itu tak mau menggubris. 

“Kita memang mau nikah sungguhan, kata siapa buat main-main? Tapi, saya ke sini bukan karena keinginan saya sendiri, melainkan mama yang suruh.” Bisma membenarkan duduknya, kemudian menepuk sisi sampingnya. “Duduk di sini!” 

“Gak mau, aku mau duduk sini aja. Deket-deket kamu banyak setannya!” Cassie mengambil tempat di depan Bisma, agak jauh, tetapi menghadap ke arah lelaki itu, jadi Cassie bisa memastikan ekspresi wajah lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu.

“Saya mau ajak kamu keluar. Boleh? Ada yang mau saya omongin.” 

 Bisma tampak sudah bersiap untuk bangkit, seolah tak mau menunggu jawaban atau persetujuan dari calon istrinya. 

Kalau seperti itu caranya, untuk apa dia bertanya boleh atau tidak? 

“Sekarang? Bukannya seharusnya aku dipingit, ya? Buktinya aku gak boleh ketemu sama Bryan, tapi kenapa ketemu kamu masih boleh?” Pertanyaan itu lebih terdengar seperti sebuah bentuk ungkapan protes terhadap sikap sang ibu yang tidak membolehkan Cassie bertemu Bryan. 

Padahal mereka bukan bertemu secara sembunyi-sembunyi melainkan Bryan yang datang berkunjung ke rumah, seperti biasa. 

Bisma tidak memberikan jawaban pasti. Ia tipe lelaki yang malas bicara jika tidak terlalu diperlukan. Mak, demi menjawab pertanyaan Cassie yang baginya terlalu membuang waktu, lelaki itu melirik jam tangannya berulang kali. 

“Lima menit dari sekarang!” ucapnya, lalu menoleh pada Cassie. 

*** 

Cassie membulatkan bola mata kala mobil Bisma berhenti di depan sebuah bangunan dengan hiasan bunga dan balon di bagian luar. Beberapa mosaik menghiasi dinding bangunan tersebut dengan manekin berbalut gaun berwarna putih yang cantik terpajang di jendela display. 

Di bagian depan terdapat palang besar bertuliskan ‘Beauty Bride and Wedding Organizer’. 

“Kita mau ngapain ke sini?” tanya Cassie, menoleh ke arah Bisma yang tengah mematikan mesin mobil. Lelaki itu masih enggan menjawab, melainkan bergegas turun dan menunggu Cassie melakukan hal yang sama. 

“Kamu tahu ini tempat apa? Kita akan mengurus untuk pernikahan kita di sini. Jadi, ayo cepetan dan jangan buang-buang waktu!” ketus Bisma yang kemudian melangkahkan kaki memasuki gedung tersebut diikuti oleh Cassie yang mengejar dan berusaha menyejajari langkahnya. 

Tiba di dalam, Bisma langsung duduk di depan seorang perempuan berpakaian rapi, yang langsung mempersiapkan sebuah katalog dan menyapa Bisma juga Cassie. 

“Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?” sapa pegawai tersebut dengan ramah. 

“Ya, kami sedang mempersiapkan pernikahan, kami mau melihat-lihat apa saja yang disediakan.” 

“Silakan dilihat dulu katalognya, kak. Kami menyediakan paket wedding lengkap dengan beberapa pilihan, termasuk venue dengan price sudah tertera di sana. Jika memesan paket spesial yang di sebelah sini, nanti akan kami beri free lima puluh lembar undangan.” 

Bisma menyimak penjelasan pegawai tersebut sembari menilik lembar demi lembar katalog di hadapannya, sementara Cassie sesekali ikut mengintip agar tidak terlihat seperti orang bodoh di sana. 

Bagaimana tidak, Bisma sama sekali tidak mengatakan apa pun, hanya menggeser katalog ke tengah agar Cassie bisa ikut melihat. Namun, gadis itu tampaknya kurang tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Bisma. 

“Silakan dilihat-lihat dulu, ya kak. Saya tinggal sebentar.” 

Pegawai itu kemudian beranjak dari sana dan memberi kesempatan Cassie untuk memberondong Bisma dengan pertanyaan yang sejak tadi berjejalan dalam pikirannya. 

Baru saja ia hendak bicara, Bisma memotong dengan bicara lebih dulu. 

“Kamu harus lihat ini juga dan pilih mana yang kamu suka. Saya gak mau terlalu mendominasi karena pernikahan ini antara saya dan kamu.” 

Cassie memutar bola matanya. Tumben si bapak ngomongnya bener. 

“Memangnya kapan kita nikah? Buru-buru banget nyiapin gini!” komentar gadis itu. 

“Saya sudah bilang, kan, kalau saya lebih suka kalau semua siap lebih cepat. Tapi, saya lupa kalau belum menyampaikan kamu mengenai kabar terbaru. Pernikahan kita dimajukan. Setidaknya dalam dua minggu ini kita akan naik ke pelaminan.” 

Mampus!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel