1. Kontrak Cerai
“Kita harus cerai,” ucap seorang lelaki dengan postur tubuh tegap pada perempuan yang duduk di seberang mejanya. Kalimat itu masih terdengar menggantung dan belum ia selesaikan sepenuhnya.
“Jika dalam dua tahun tidak juga ada cinta di antara kita dan tidak ada sesuatu yang menghalangi,” imbuhnya, sembari menyodorkan ke hadapan perempuan itu, beberapa lembar kertas di dalam sebuah map.
Perempuan muda berusia dua puluh tahun itu mengernyit. Ini hal yang tergolong baru baginya, menjalani pernikahan atas hasil perjodohan dan calon mempelai prianya justru meminta dirinya untuk menanda tangani sebuah kontrak.
Semacam perjanjian pranikah.
“Bisa Bapak sebutkan contoh dari kalimat ‘sesuatu yang menghalangi’ itu?” todong perempuan bernama Cassandra yang biasa dipanggil Cassie.
Ingatannya menerawang kembali pada dua hari lalu, di mana dirinya diminta untuk berdandan rapi oleh sang mama, yang rupanya merupakan awal dari keabsurdan hidupnya. Sejak saat ini, ia telah menjadi calon istri bagi Bisma Pramadipta, yang juga merupakan bos besar di kantor di mana Cassie magang.
Ia tak menyangka, dunia yang sesempit daun kelor ini akan ia rasakan juga. Bisma merupakan putra dari sepupu jauh yang sekaligus sahabat kedua orang tua Cassie. Dan menjodohkan dirinya dengan Bisma mereka anggap sebagai cara yang tepat untuk mempererat tali silaturahmi yang sudah terjalin lama.
Padahal tidak juga.
Andai mereka tahu kalau bos galaknya ini justru memberi syarat-syarat tak masuk akal untuk menjadi istrinya, mungkin kedua orang tua Cassie akan membatalkan perjodohan ini.
“Ya ... semisal kamu hamil. Tapi itu kemungkinan yang sangat kecil, karena saya gak mungkin menyentuh kamu.”
Cassie tak perlu lagi bertanya apa alasan Bisma tidak akan menyentuhnya, karena jawabannya pasti karena tidak ada cinta.
Itu jelas.
“Saya boleh tambahkan pasalnya, Pak?” tanya Cassie. Bisma memberi isyarat bahwa ia dipersilakan untuk memberi masukan atau tambahan apa pun.
Namun, tetap harus melalui persetujuan dari Bisma.
“Saya mau kamar terpisah.” Cassie tak peduli lagi dengan pernikahan macam apa yang akan mereka bangun kali ini. Bukan dia yang memulai hubungan aneh seperti ini, kan?
“Boleh. Itu malah bagus. Jadi saya gak perlu repot-repot memberi batas untuk ranjang saya.”
Luar biasa sekali!
Memangnya lelaki ini tidak membutuhkan pemuasan secara biologis? Atau ... kalau dia ingin, ke mana dia akan pergi?
Oh, bisa jadi dia masih berhubungan dengan mantan istrinya. Itu sebabnya dia tidak butuh apa pun dari Cassie selain hanya status.
“Kamu bisa tambahkan langsung aja di sana. Kamu tulis sendiri, langsung kita tanda tangani sama-sama. Makin cepat selesai, makin bagus,” ujar Bisma, sembari mempersiapkan meterai dan mesin fotokopi yang ada di ruangannya.
Bisma kemudian menggandakan surat kontrak tersebut, menempelkan meterai, lalu menyodorkan kembali ke arah Cassie.
“Jangan lupa, sepulang kerja pergi dengan saya untuk membeli keperluan acara kita. Saya mau kamu siap tepat waktu, karena saya gak suka sama orang yang lelet!” tegasnya, yang membuat Cassie memberengut seketika.
Terlebih saat melihat lembaran kertas di hadapannya, Cassie tak tahu harus berbuat apa selain menerima sesuatu yang mungkin memang telah ditakdirkan untuknya.
Dengan yakin, ia mulai menggoreskan pena di atas kertas tersebut, dan menyambut kehidupan barunya yang tak akan lagi sama seperti sebelumnya.
***
Cassie tergopoh-gopoh sembari membenarkan tas juga sepatu hak tinggi yang ia kenakan. Berlari-lari dengan kondisi seperti ini tentu saja menyulitkan baginya.
Sebenarnya bukan salah sepatunya, tetapi mengapa ketika di kantor Cassie terlalu banyak melamun hingga agak sedikit molor saat menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh si bos.
Cassie membuka pintu mobil dan menemukan bos—yang sebentar lagi akan menjadi suaminya—sudah bersiap untuk tancap gas. Namun, bukan itu yang membuat Cassie menggerutu dalam hati, melainkan wajah ganteng Bisma yang kini sudah ditekuk seperti baju kusut.
“Lama sekali, sih! Ngapain aja kamu dari tadi? Saya nunggu hampir setengah jam, kamu tahu?!”
“Iya, Pak, maaf. Ini saya lihat baru pukul lima lewat sepuluh menit, Pak. Berarti gak sampai tiga puluh menit Pak Bisma nunggunya, kan?”
Bisma tampak gelagapan mendengar sanggahan yang dilontarkan oleh Cassie. Namun, seperti maling yang tertangkap basah, ia hanya bungkam tanpa memberi balasan sama sekali.
“Oh, iya. Jangan panggil bapak kalau kita Cuma berdua,” ucapnya, terdengar kaku.
“Tapi kan saya memang bawahan Bapak.”
“Bisa, nggak, kamu gak nyanggah terus kalau dikasih tahu? Kalau saya bilang jangan panggil bapak, langsung nurut gitu gak bisa, ya? Nanti saya jadi kelihatan seperti laki-laki hidung belang kalau kamu panggil seperti itu.”
Cassie mengangguk-angguk sembari bibirnya membentuk huruf o.
“Terus kalau gak boleh panggil bapak, saya harus panggil apa? Abang?”
“Memangnya saya kakak kamu?”
“Lah, habisnya apa, donk? Kan Pak Bisma yang minta gak dipanggil bapak, jadi saya tanya, maunya dipanggil apa?” Ucap Cassie, masih dalam proses tawar menawar layaknya berbelanja di pasar.
Bisma tak segera menjawab, selain karena tengah fokus dengan jalanan yang cukup padat di hadapannya, juga memikirkan panggilan apa yang cocok untuknya.
Berhubung Bisma tidak juga memberi jawaban, Cassie juga tidak memaksa. Nanti kalau sudah menemukan panggilan yang pas, dia pasti akan bicara. Jadi, untuk sementara, Cassie akan tetap memanggilnya ‘Pak Bisma’.
Keduanya masuk ke pusat perbelanjaan dan mampir ke sebuah toko perhiasan yang menjual berbagai macam model cincin yang akan digunakan sebagai mas kawin pernikahan mereka nanti.
“Pak, memangnya kita nikahnya kapan, sih?” tanya Cassie, setengah berbisik.
Bisma yang sejak tadi dipanggil bapak, merasa risih juga. Ia kemudian mendekat pada Cassie dan membisiki sesuatu di telinganya.
“Saya kan sudah bilang, jangan panggil bapak kalau kita hanya berdua. Kamu lihat, semua orang menatap kita seperti itu,” bisiknya, dengan penekanan yang membuat Cassie terkekeh.
“Pak, Pak Bisma emang gak capek ya ketus-ketus terus? Dari tadi saya juga tanya, Bapak mau dipanggil apa, tapi bapak gak jawab pertanyaan saya, kan?” ujar Cassie, santai. “Sekarang jawab, Pak Bisma maunya dipanggil apa?”
Bisma yang terus ditodong pertanyaan oleh Cassie, sekaligus terimpit keadaan, akhirnya mau tidak mau memberi jawaban pada gadis cantik berambut panjang berombak yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu.
Sayangnya, ia tidak menginginkan pernikahan itu. Lalu mengapa ia repot-repot berputar-putar demi menyiapkan pernikahan mereka?
“Ya, udah kalau Pak Bisma lagi-lagi gak mau jawab. Jangan marah kalau saya tetap manggil dengan sebutan bapak di mana pun berada,” ancamnya yang membuat Bisma akhirnya mulai bersuara.
“P–panggil saya ‘mas’,” lirihnya, seolah gengsi karena meminta panggilan semesra itu.
Cassie nyengir saja melihat raut muka Bisma yang masam dan mulai bersemu merah.
“Oke, deh, Mas Bisma ... sekarang kita pulang, yuk! Sudah selesai, kan?” ajak Cassie.
Bisma hanya mengangguk, dan ketika keduanya berbalik, seseorang sudah ada di hadapan mereka dan terhenyak kala melihat Cassie dan Bisma keluar dari toko perhiasan.
“Cassie? Sedang apa di sini?” tanya lelaki itu, spontan.
“K–kamu?”
*
*
*NB:
Pada bab berkunci, mungkin readers akan menemukan jumlah koin yang relatif tinggi/mahal. Itu dikarenakan satu bab berisi padat seperti membaca dua bab, tapi jika dihitung akan lebih hemat karena pembaca bisa membaca bisa lebih lama setara membaca dua bab.
Terima kasih