Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Pertemuan pertama

.

.

.

Seminggu yang lalu … cerita pertemuan petama.

"Astaghfirullah …!"

Teriakan seorang laki-laki ketika berusaha mengendalikan laju motornya di jalan menurun. Motor yang dia kendarai meluncur dengan cepat dan arahnya tidak beraturan. Pria yang diberi nama Jaka itu, terlihat kesulitan menghentikan kendaraan roda duanya. Dia mulai kalut ketika ada wanita yang sedang berjalan santai di depan dengan koper besar.

"Awas … Mbak! Minggir …!"

Wanita itu—Noura hanya berjarak lima puluh meter di depan. Karena panik, Noura berteriak dan berlari mundur meninggalkan barang bawaannya. Saat berbalik, tanpa sadar dia melangkah ke arah yang salah. Detik kemudian dia berakhir di kubangan lumpur. Badan bagian bawahnya telah menyatu dengan sawah.

Sementara Jalan dan motornya jatuh karena kehilangan keseimbangan. Akibat menghindari Noura yang hampir ditabrak. Gerobak baksonya ikut terguling di tanah, beserta isi yang habis berserakan. Matilah, dia akan dimarahi juragan gara-gara hal ini. Jaka tampak kebingungan, harus membereskan dagangan dulu atau menolong wanita yang jatuh karenanya. Tanpa berpikir lagi, dia pun bergegas menolong Noura dan turun ke sawah.

Dengan mata melebar dan mulut menganga melihat tubuhnya yang kotor, Noura  mengerang. "Arrgh … dasar Kang Bakso sial!" Dia memukul permukaan tempatnya terduduk. Hingga genangan air memercik ke sembarang arah.

"Mbak … Mbak tidak apa-apa?" tanya Jaka mengulurkan tangan, berdiri di pematang sawah.

"Nggak apa-apa dari Hongkong! Lihat, nih … berkubang kayak gini. Mata Mas-nya masih normal nggak, sih!" sembur Noura melotot.

"I–iya, Mbak … maaf. Mari saya bantu."

Tak terima dengan permintaan maaf itu, Noura pun berpikiran jahil. Uluran tangan itu disambut, tapi saat tangan mereka bertaut, dia malah menarik Jaka dengan kuat hingga kehilangan keseimbangan dan jatuh. Alhasil, pria itu ikut dalam kubangan, bahkan lebih parah dari dirinya. Seluruh tubuh serta wajah terkena lumpur.

Seketika itu, Noura tertawa puas. "Rasain, kamu," ucapnya sambil berusaha berdiri.

Beberapa warga yang melihat kejadian itu, berlari mendekat ke mereka. Ada yang datang dari arah tengah sawah, ada juga yang dari jalan. Dua orang pria membantu membenarkan motor serta gerobak bakso Jaka. Dua orang lagi melihat kondisi korban yang di sawah.

"Ya, Allah … Mas Jaka? Mas nggak apa-apa? Saya bantu Mas!" seru salah seorang bapak-bapak. Dia langsung turun membantu berdiri dari kubangan lumpur. Tubuhnya juga sudah kotor karena sedang mencangkul di sawahnya, maka tidak masalah baginya.

Jaka menerima uluran tangannya.

Sementara, Noura didatangi bapak-bapak yang lain. "Ini … Mbak Noura, kan? Anak Pak Lurah?

Noura pun menoleh. "Iya, Pak."

"Mari saya bantu naik, Mbak."

"Terima kasih."

Setelah berhasil naik, Noura mengalihkan pandangan pada pria yang hampir menabraknya. Keadaan pria itu lebih mengenaskan, lalu dia melihat gerobak bakso yang sudah dibenarkan posisinya. Mata Noura menyipit, ternyata dia tahu pemilik usaha bakso tersebut. Sedikit merasa bersalah, Noura menghela napas panjang. Pasti akhirnya si Tukang Bakso itu akan dimarahi sang juragan, yaitu ayahnya sendiri. Tetapi, Noura bukan menyesal karena kecelakaan ini, lagi pula juga bukan kesalahannya. Dia merasa, pasti banyak kerugian yang ayahnya dapat.

"Mbak Noura nggak apa-apa?" tanya bapak di sebelah Noura, kasihan.

Noura tersenyum dan berterima kasih sekali lagi. "Itu gerobak bakso Ayah saya, kan, Pak?" tanyanya.

"Iya, Mbak. Duhh, sampai peot gitu, kacanya pecah juga. Tapi, sepertinya ... baksonya udah habis," ujar si bapak setelah melihat keadaan gerobak tadi sekilas.

"Baru jam segini, udah habis?" Noura merasa terkejut. Baru sekitar jam empat sore, biasanya setelah magrib atau isya dagangan habis.

Sebuah motor bebek tiba-tiba berhenti di dekat Noura, setelah melihat apa yang terjadi. "Mbak, Noura?" sapa si pengemudi motor yang bernama, Udin.

"Mas, Udin."

"Mbak Noura kenapa? Kapan sampai dari Jakarta?" tanya Udin seraya melihat tubuh Noura yang kotor.

"Baru saja sampai Mas. Ehh, tiba-tiba kena sial begini," jawab Noura yang kembali merasa kesal. Mengingat tubuhnya kini berlumuran lumpur akibat seseorang.

"Saya anterin pulang, ya, Mbak?"

"Tapi, nanti motor Mas Udin jadi kotor."

"Nggak apa-apa kok, Mbak. Gampang bisa dicuci nanti."

Noura pun akhirnya mengiyakan. Setelah dia naik ke atas motor, satu orang pria lagi datang. Menanyakan ada kejadian apa? Lalu Noura menceritakan dan Udin meminta pria itu segera melapor pada Pak Lurah.

Sementara, Jaka dan dua orang pria yang membantu membenarkan dagangan dan motornya. Mereka masih sibuk dengan mangkok dan kaca pecah. Sekilas, Jaka yang berusaha menyalakan motor melihat kepergian Noura. Dia tadi mendengar jelas, identitas wanita itu.

"Nggak bisa nyala, Mas Jaka?" tanya bapak di sebelah Jaka.

"Iya, Pak. Sepertinya mesinnya bermasalah," jawab Jaka.

***

"Pak Lurah … Pak Lurah …!" Seorang pria berteriak sambil berlari memasuki kediaman Pak Sugiarto—Lurah Kampung Ciptoasih. Motor bebek reot-nya ditinggal di luar pagar.

Mendengar teriakan itu, Pak Sugiarto yang sedang khusuk menyirami tanaman pun menghentikan kegiatannya. Setengah marah dia melihat Kardiman—pegawainya mendekat. "Ada apa, Man? Kenapa kamu teriak-teriak?"

Karena tergesa-gesa, hampir saja dia jatuh ketika menabrak tepi pagar. Kardiman berhenti mendadak sedikit jauh dari Pak Sugiarto. Napasnya terengah-engah, tangannya menopang pada lutut, dan dia menunduk.

Melihat kelakuan bawahannya itu, Sugiarto berkacak pinggang. " Semprul … kenapa kamu, Man? Hati-hati!" Dia mengarahkan selang di tangan, dan menyiram pria yang lima belas tahun lebih muda darinya itu.

Seketika, si Kardiman basah, gelagapan menahan semburan air dari sang juragan. Lalu, dia pun berdiri tegak, menyeka wajah. Tanganya menunjuk pada jalan luar pagar. "Itu, Pak Lurah … itu … Non Noura … pulang!"

"Apa, Noura pulang? Mana, Man?" Pak Sugiarto menjatuhkan selang air, bergegas menghampiri Kardiman.

"Aduhh … Pak, saya basah nih!" ucap Kardiman mengubah topik, mengibaskan kaosnya.

"Alah … kamu juga belum mandi, kan? Semprul." Tangan Pak Sugiarto menggeplak lengan sang bawahan, hingga mengaduh. "Udah, jangan ganti topik, mana Noura?"

"Udah di depan, Pak … diantar Mas Udin," jawab Kardiman.

Saat pandangan Pak Sugiarto beralih ke luar pagar. Sebuah motor bebek hitam yang baru tiga bulan cicilan muncul. Langsung masuk melewati pagar dan berhenti sepuluh langkah di depannya. Pak Sugiarto terdiam, seorang wanita turun dari atas motor. Setengah badan wanita itu penuh lumpur. Tak dapat menahannya, Pak Sugiarto pun meledakkan tawa, hingga terbahak bahak. Perutnya terasa kencang, akibat tertawa melihat tampang lucu di depannya. Sementara Kardiman dan Mas Udin ikut terkekeh geli. Beberapa warga ada yang datang melihat kepulangan putri Lurah mereka.

"Ayah …! Kenapa ketawa, Sih!" Protes wanita itu akhirnya, dengan wajah masam dan mata melotot. Dialah Noura—putri semata wayang Pak Sugiarto. "Ayah …!" teriak Noura sekali lagi, lebih keras dari sebelumnya.

Melihat sang putri sudah berkacak pinggang dan kesal. Pak Sugiarto pun berhenti tertawa. "Maaf, Nak … habisnya, kamu lucu … kamu jatuh di mana toh?" tanya Pak Sugiarto terkekeh.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel