Menghilang dalam pelukan
Malam itu, Wulan terbangun dengan tubuh terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya di tempat tidur. Dadanya naik turun dengan cepat, dan butiran keringat dingin masih membasahi pelipisnya. Cahaya remang dari lampu kamar tidak cukup untuk menghilangkan bayangan-bayangan yang masih tersisa dalam pikirannya.
Apa yang baru saja terjadi?
Bayangan perempuan berbaju hitam itu… tatapan kosong Indira… dan kotak hitam yang berisi pakaian dalamnya.
Pikiran Wulan masih berkecamuk, tetapi di balik ketakutannya, ada sesuatu yang lebih dalam—sebuah kemenangan kecil yang membuatnya merasa lebih kuat. Rendra telah menjauh dari Indira, dan semakin lama, semakin dekat dengannya.
Ketukan di jendela membuyarkan lamunannya.
Jantung Wulan berdebar. Perlahan, ia melangkah ke jendela dan menyingkap tirai.
Di luar, berdiri seseorang yang tidak ia duga.
Rendra.
Matanya dipenuhi keraguan dan ketegangan, tetapi di balik itu ada sesuatu yang lain—sebuah tarikan, sesuatu yang tak bisa ia lawan.
Wulan membuka jendela dengan cepat. "Rendra? Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku tidak bisa tidur," gumam Rendra, suaranya bergetar. "Aku merasa harus menemui kamu."
Perasaan puas menjalar dalam tubuh Wulan. Jampi-jampinya benar-benar telah bekerja.
"Kau ingin masuk?" bisiknya.
Rendra tidak menjawab. Ia hanya menatap Wulan dengan mata yang penuh kerinduan sebelum akhirnya mengangguk.
Begitu Rendra melangkah masuk, Wulan merasakan hawa tubuhnya yang masih hangat karena udara malam. Ia menutup jendela, lalu menatap lelaki itu dengan perasaan bercampur aduk.
"Kau terlihat lelah," ucapnya pelan.
Rendra mengusap wajahnya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, Wulan. Aku merasa… seolah ada sesuatu yang berubah dalam diriku."
Ia mengangkat wajahnya, dan Wulan bisa melihat kebingungan yang begitu dalam di matanya. Tetapi di balik itu, ada sesuatu yang lain.
Ketertarikan.
Tarikan yang semakin kuat.
Seakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka berdua.
Wulan melangkah lebih dekat, meletakkan jemarinya di pipi Rendra. Sentuhannya begitu lembut, begitu pelan, seperti sebuah mantra yang baru saja ia ucapkan tanpa kata-kata.
"Kau tidak perlu berpikir terlalu banyak," bisiknya. "Yang perlu kau lakukan hanyalah merasakan."
Rendra menatapnya, dan dalam hitungan detik, Wulan bisa melihat pertahanan lelaki itu mulai runtuh.
Tanpa peringatan, Rendra menarik Wulan ke dalam pelukannya. Tubuh mereka saling bertaut, dan di antara ketegangan yang selama ini mengisi ruang di antara mereka, akhirnya pecah dalam gelombang yang tak terbendung.
Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang panas, penuh keinginan yang selama ini mereka pendam. Jari-jari Rendra menelusuri kulit Wulan dengan rasa haus, seolah mencari jawaban dalam setiap sentuhan.
Wulan menyerah dalam pelukan itu, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang selama ini ia impikan.
Ritualnya berhasil.
Rendra kini benar-benar miliknya.
Namun, di tengah semua itu, ada sesuatu yang mengintai dalam bayang-bayang kamar.
Sebuah kehadiran yang tak kasat mata.
Dan ia sedang menunggu.
**
Wulan terbangun dengan tubuh masih terasa hangat dalam dekapan Rendra. Malam telah berlalu, dan matahari mulai mengintip dari balik tirai jendela.
Rendra masih tertidur di sampingnya, dadanya bergerak naik turun dengan napas yang tenang.
Sebuah senyum tipis terukir di wajah Wulan.
Ia mengulurkan tangan, menyentuh rambut Rendra dengan lembut. Kini, lelaki itu miliknya, sepenuhnya.
Namun, kebahagiaannya tidak bertahan lama.
Ketika ia mencoba bangkit dari tempat tidur, tubuhnya terasa begitu dingin. Sebuah perasaan aneh menyelimutinya, seolah ada sesuatu yang hilang dalam dirinya.
Kemudian, ia melihatnya.
Bayangan di sudut kamar.
Perempuan berbaju hitam itu berdiri di sana, menatapnya dengan mata yang gelap dan kosong.
Wulan merasakan tenggorokannya mengering.
"Apa yang kau inginkan?" bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.
Sosok itu tidak menjawab. Namun, perlahan-lahan, ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Rendra.
Wulan menggeleng cepat. "Tidak. Kau tidak bisa mengambilnya."
Perempuan itu tersenyum, tetapi kali ini, senyuman itu penuh dengan ancaman.
"Setiap ritual memiliki harganya, Wulan. Dan sekarang, kau harus membayar."
Wulan ingin berteriak, tetapi tubuhnya membeku.
Tiba-tiba, Rendra menggeliat dalam tidurnya, lalu wajahnya berubah.
Matanya terbuka—tetapi yang menatap Wulan bukan lagi mata Rendra yang selama ini ia kenal.
Matanya kini hitam pekat, kosong, tanpa cahaya.
Sebuah suara asing keluar dari bibirnya.
"Aku sudah menunggumu, Wulan."
Jantung Wulan nyaris berhenti berdetak.
Rendra bangkit dari tempat tidur, tetapi gerakannya bukan seperti manusia. Ia bergerak perlahan, kaku, seperti boneka yang ditarik dengan tali tak kasat mata.
Sementara itu, sosok perempuan berbaju hitam di sudut kamar semakin memudar, menghilang dalam udara.
Barulah Wulan menyadari sesuatu.
Rendra memang kini menjadi miliknya.
Tapi bukan Rendra yang ia kenal.
Dan kini, ia telah kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar.
Sebuah nyawa.
Dan mungkin, jiwanya sendiri.
**
Wulan tidak bisa bergerak. Tubuhnya terasa kaku, dan napasnya tersengal di tenggorokan.
Rendra masih duduk di tempat tidur, tetapi ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Matanya hitam pekat, kosong seperti lubang tanpa dasar. Bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang tidak wajar, seperti seseorang yang sedang menikmati kemenangan.
“Rendra…?” suara Wulan bergetar.
Lelaki itu tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—antara godaan dan ancaman.
Kemudian, sesuatu terjadi.
Rendra mengangkat tangannya dan menyentuh pipinya sendiri, seolah mencoba memahami tubuhnya. Ia mengerutkan kening, lalu tersenyum lagi.
Namun, kali ini, senyum itu bukan milik Rendra.
"Apa yang sudah kau lakukan?" Suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya, dengan nada yang tidak asing bagi Wulan.
Itu bukan suara Rendra.
Jantung Wulan berdegup semakin cepat. Ia mundur selangkah, tetapi tubuhnya masih terasa berat. Seolah ada sesuatu yang mengikatnya, menahannya di tempat.
"Kau seharusnya tahu bahwa tidak ada ritual tanpa konsekuensi, Wulan."
Sosok di depannya kini benar-benar bukan lagi Rendra. Gerakannya terlalu halus, terlalu berbeda. Bahkan tatapan matanya bukan lagi milik lelaki yang selama ini ia dambakan.
Wulan menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. "Siapa kau?"
Rendra—atau apa pun yang kini bersemayam dalam tubuhnya—menyeringai. "Kau sudah memanggilku. Dan sekarang, aku di sini."
Wulan menggeleng cepat. "Tidak mungkin… Tidak mungkin!"
Sosok itu tertawa pelan, lalu bangkit dari tempat tidur. Gerakannya begitu anggun, tetapi ada sesuatu yang mengerikan di dalamnya.
"Kau ingin Rendra menjadi milikmu, bukan?" Bisiknya. "Kau sudah mendapatkan keinginanmu. Tapi kau lupa satu hal."
"Apa… apa yang kulupakan?"
Rendra mendekat, hingga wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajah Wulan. Nafasnya terasa dingin, menusuk hingga ke tulangnya.
"Kau tidak pernah bertanya apa harga yang harus kau bayar."
Wulan menggigit bibirnya, mencoba mencari jalan keluar dari situasi ini. Kepalanya berputar-putar, mengingat kembali setiap langkah ritual yang ia lakukan.
Benar.
Ia telah memanggil sesuatu.
Dan kini, makhluk itu telah mengambil tempatnya.
Di dalam tubuh Rendra. Wulan mencoba tetap tenang. Mungkin ada cara untuk membatalkan semua ini.
"Kembalikan Rendra," katanya, suaranya lebih tegas daripada yang ia rasakan.
Sosok itu memiringkan kepalanya, seolah menilai Wulan. "Mengapa? Bukankah kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan?"
"Tidak seperti ini."
Senyuman Rendra menghilang. "Terlambat."
Seketika, udara di dalam kamar berubah. Suhu ruangan menurun drastis, dan lilin-lilin yang masih menyala tiba-tiba padam bersamaan.
Wulan bisa merasakan sesuatu bergerak di sekitar mereka, sesuatu yang tidak terlihat, tetapi begitu kuat.
Ia tahu bahwa jika ia tidak melakukan sesuatu sekarang, ia akan kehilangan Rendra selamanya.
"Aku akan membatalkan ritualnya," katanya tegas.
Sosok dalam tubuh Rendra tertawa pelan. "Kau tidak bisa."
"Aku bisa," balas Wulan. Ia mengingat setiap mantra, setiap langkah yang telah ia lakukan. Jika ada cara untuk memanggilnya, pasti ada cara untuk mengusirnya.
Ia berlari menuju meja tempat ia menyimpan barang-barang ritualnya. Namun, sebelum ia bisa mengambil sesuatu, Rendra sudah berada di belakangnya.
Dengan satu tarikan, Rendra menariknya ke dalam pelukannya, menahannya erat.
"Dengar, Wulan," bisiknya di telinganya. "Kau tidak akan bisa membatalkan ini. Kau sudah memilih jalur ini. Dan sekarang, kita akan menyelesaikannya bersama-sama."
Jantung Wulan berdetak semakin cepat.
"Apa maksudmu?"
Rendra tersenyum kecil, lalu membelai rambutnya dengan lembut.
"Kita akan menjadi satu, selamanya."
Wulan berusaha melepaskan diri, tetapi genggaman Rendra terlalu kuat. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatnya merasa lemah, seolah-olah tubuhnya mulai menyerah.
Dan saat itu, ia menyadari sesuatu.
Makhluk ini tidak hanya mengambil tubuh Rendra.
Ia juga sedang mengincarnya.
**
Wulan menutup matanya sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian.
Ia tahu satu hal—makhluk ini bermain dengan pikirannya. Jika ia bisa menemukan celah, mungkin ia masih bisa melawan.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka matanya. "Aku tidak takut padamu."
Sosok dalam tubuh Rendra menyeringai. "Oh, sungguh?"
"Tidak," Wulan berbohong. Ia takut, tetapi ia tidak akan menunjukkannya.
Ia mengingat mantra yang pernah diajarkan oleh seorang dukun tua kepadanya dulu—sebuah mantra untuk mengusir roh yang masuk ke dalam tubuh manusia.
Dengan cepat, ia mengucapkannya dalam hati, lalu berbisik, "Pergilah dari tubuh Rendra."
Makhluk itu berhenti sejenak.
Lalu, ia tertawa.
"Kau pikir itu cukup?"
Namun, saat itu juga, sesuatu mulai berubah.
Rendra menggeliat, matanya berkedip beberapa kali. Cahaya kecil mulai kembali ke dalam matanya.
"Aku… Wulan…?" Suaranya serak, tetapi itu benar-benar suara Rendra.
Wulan melihat kesempatannya.
Ia meletakkan tangannya di dada Rendra dan mulai mengucapkan mantra dengan lebih keras. Udara di sekeliling mereka bergetar, dan sosok hitam di dalam tubuh Rendra mulai berteriak.
"TIDAK!"
Rendra jatuh ke lantai, tubuhnya bergetar hebat. Bayangan hitam keluar dari tubuhnya, melayang di udara sebelum akhirnya menghilang dalam jeritan panjang yang menusuk telinga.
Lilin-lilin di kamar kembali menyala dengan sendirinya.
Dan akhirnya, semuanya kembali tenang.Wulan jatuh berlutut di samping Rendra. Lelaki itu masih bernapas, tetapi tubuhnya lemah.
Ia membelai rambutnya dengan lembut. "Rendra… kau baik-baik saja?"
Rendra membuka matanya, dan kali ini, yang menatapnya adalah lelaki yang ia kenal.
"Wulan… apa yang terjadi?"
Air mata menggenang di mata Wulan. "Semua sudah berakhir."
Rendra mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Wulan. "Aku… aku merasa seperti berada dalam mimpi buruk."
"Kau sudah kembali," bisik Wulan, suaranya penuh kelegaan.
Mereka saling menatap, dan di antara ketakutan yang masih tersisa, ada sesuatu yang lain.
Cinta.
Tanpa ragu, Wulan mendekat dan mencium bibir Rendra dengan penuh perasaan. Kali ini, tidak ada sihir, tidak ada mantra—hanya dua hati yang saling menemukan satu sama lain.
Namun, di balik kebahagiaan itu, sebuah bayangan berdiri di luar jendela, mengawasi mereka dalam diam.
Perempuan berbaju hitam itu belum sepenuhnya pergi.
Dan ini belum benar-benar berakhir.
**
