JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU
Ringkasan
Sepasang pengantin baru yang diganggu rumah tangganya oleh jin. Dinda (sang istri) tak menyadari bahwa suatu malam saat suami lembur atau kerja sif malam, ia bercinta dengan jin yang menyerupai suaminya. Bagaimana kisahnya? Apakah keberadaan jin ini disadari oleh Dinda dan suaminya?
Bab 1 MALAM LEBIH DARI SERIBU BULAN
“Mas, aku loyo banget. Tidur duluan, ya.”
“Iya, Sayang. Mas mau buru-buru balik kerja,” ucap Gito kepada sang istri sambil mengecup kening wanita yang tampak pucat pasi di pembaringan.
“Kamu malam ini benar-benar dahsyat, Mas. Tenagaku habis-habisan. Kamu minum obat kuat?”
“Enggak, Sayang. Mas, pergi dulu, ya.”
“Kiss bibir, dong!”
Gito pun menuruti kemauan Dinda. Sesaat kemudian, sang istri telah tertidur pulas dengan bibir tersungging manis.
▪▪▪¤○°○¤▪▪▪
Jam 07.30 WIB
“Assalammu'alaikum!” Suara Gito membangunkan isterinya. Pria ini merasa keheranan, lampu teras masih hidup dan korden rumah masih tertutup.
‘Tok tok tok!’
“Assalammu'alaikum, Sayaaaang!”
Gito berjalan memutar ke samping rumah lalu mengetuk jendela kamar yang masih tertutup.
‘Tok tok tok!’
“Assalammu'alaikum, Sayaaaang!”
Beberapa saat menunggu, terdengar daun jendela dibuka.
“Wa'alaikumussalam, Mas?”
“Sayang, kok baru bangun? Tumben kesiangan. Sakit?”
“Badanku meriang. Mas bawa kunci, kan?”
“Ketinggalan di rumah Ibu, saat antar jamu sebelum berangkat kerja.”
Bukannya semalam Mas Gito masuk rumah dengan kunci itu? Ah, pasti mau godain aku ini, pikir Dinda dengan muka berseri.
“Ayo ke depan, Mas. Aku bukain pintunya,” ucap Dinda dengan senyum simpul mengingat percintaan mereka semalam yang menggelora.
Gito merasa keheranan dengan gelagat Dinda. Selain dilihat wajahnya pucat pasi, cara berjalan sang istri mengakang membuat Gito bertanya-tanya. Ada apa dengan istrinya?
Gito gegas menuju depan, Dinda bersandar di salah satu sisi kusen. Pria berseragam satpam ini menghampiri sang istri lalu meraba kening Dinda.
“Panas sekali,” ucap Gito lalu merangkul sang istri untuk diajak masuk.
“Gak apa, Mas. Aku senang, kok.”
“Sakit kok senang. Mas mandi dulu, habis itu kita ke dokter.”
“Aku kesiangan belum masak. Aku bikinin mie instan, ya?”
“Boleh kalo badan kamu masih kuat. Atau mampir ke warung sebelum ke dokter.”
“Ya, deh.”
“Sana, cuci muka dulu! Mas mau bikin kopi dulu, ngantuk.”
Dinda segera melangkah masuk kamar mandi, sedangkan Gito ke dapur menjerang air.
“Gak usah lama-lama di kamar mandi. Tambah sakit entar.”
“Iya, Mas. Cuci muka doang ini.”
Tak lama kemudian, Dinda telah keluar dari toilet. Gito sedang mengaduk kopi saat sang istri memeluknya dari belakang. Tubuh Gito ikut menghangat tertempel badan Dinda yang panas.
“Badan kamu panas banget, Sayang,” ujar Gito sembari berbalik dan memeluk tubuh Dinda. Sang istri merapatkan kepala ke dada Gito.
Bau keringatnya kok lain, ya? tanya Dinda dalam hati sambil membuka kancing baju Gito lalu menciuminya kulit tubuh suaminya.
Kok aneh? Yang semalam bau kasturi gitu, ya, pikir Dinda masih terbayang permainan mereka semalam yang begitu menggairahkan.
Hingga berapa kali mereka melakukan, Dinda tak mampu mengingatnya.Tenaga terkuras dalam semalam. Permainan sang suami lain dari malam biasanya. Dinda tersenyum bahagia.
“Mas, mau minum kopi dulu. Habis itu mandi. Tuh, Mas udah bikinin teh hangat untuk kamu.”
“Makasih, ya, Mas.”
Mereka mengurai pelukan. Dinda duduk di kursi, sedangkan Gito berdiri. Mereka menikmati minuman hangat masing-masing. Kopi masih separo gelas, Gito segera beranjak ke kamar mandi. Ia tak ingin sang istri bertambah parah sakitnya.
Tak lama kemudian terdengar bunyi guyuran air dari dalam kamar mandi. Dinda beranjak pelan ke kamar untuk mengambil baju sang suami. Area pangkal paha terasa nyeri buat berdiri apalagi berjalan.
Akhirnya, dengan langkah tertatih-tatih bisa mencapai kamar dan berhasil membawa sebuah kemeja lengan pendek dan celana jeans. Sesampai depan pintu toilet, ia mengetuk pintu toilet.
“Mas, ini gantinya.”
Pintu toilet terbuka sedikit, Dinda segera mengulurkan baju itu. Ia lalu kembali duduk melanjutkan meminum tehnya. Sekitar sepuluh menit kemudian, Gito telah keluar dengan badan lebih fresh. Bau sabun mandi menguar dari tubuh pria ini.
“Kok belum ganti baju, Sayang?” tanya Gito sambil duduk di samping sang istri. Ia lalu menyesap habis kopinya.
“Habisin teh dulu. Mumpung masih hangat. Aku ganti baju sekarang.”
Dinda segera bangkit dengan berpegangan pinggir kursi. Tampak ia meringis. Gito yang tak tega melihat istrinya kesakitan lalu menggendong Dinda. Sesampai kamar tubuh sang istri dibaringkan di atas pembaringan.
Nafsu kelakian Gito mendadak tersulut melihat ekspresi sang istriyang terlihat sangat menggairahkan, tetapi nurani melarang. Istrinya dalam keadaan sakit dan perlu segera diobatkan.
“Biar Mas yang ambilin baju. Pake yang mana?”
“Baju terusan motif bunga mawar, Mas.”
“Siap, Cantik.”
Gito segera menuju lemari pakaian lalu membuka pintunya. Tangan kekar pria ini sibuk memilah di antara tumpukan baju. Akhirnya menemukan baju yang diinginkan oleh sang istri. Sebuah sweater diambilnya juga dari gantungan baju. Gito melangkah ke arah Dinda lalu meletakkan kedua pakaian di kasur.
“Mas tinggal ke toilet bentar.”
“Iya, Mas.”
Gito keluar kamar lalu menuju toilet. Dinda pelan-pelan bangun lalu turun dari pembaringan dan segera berganti pakaian. Kini, ia berjalan keluar kamar menuju ruang tengah dan duduk menunggu suaminya. Gito keluar dari toilet dan menghampiri sang istri.
“Mau digendong Mas?”
“Enggak. Kayak bayi.”
“Ya, gak papa. Mumpung Mas masih kuat ini.”
Dinda hanya tersenyum lalu berusaha berdiri dan dibantu oleh Gito. Dengan dipapah oleh Gito, akhirnya Dinda berhasil sampai di teras. Dinda mengulurkan kunci rumah kepada suaminya. Gito segera beranjak mengunci pintu. Mereka pun berangkat ke dokter dengan berboncengan. Sementara itu dari celah pintu rumah kosong yang keropos tampak bola mata besar mengintai pasangan barusan.
“Aaahhh!” Ada desah penuh amarah dari dalam.
Praakk!’
‘Pyaaaarrr!’
Tiba-tiba kaca jendela depan rumah kosong itu pecah berkeping-keping. Puing-puing kaca berserakan di lantai teras.
Dua anak sekolah yang melintas di depan rumah itu seketika menoleh ke arah suara. Mereka melihat sosok tinggi besar di balik jendela yang pecah.
“Ha-hantuuu!”
Mereka segera lari terbirit-birit hingga menarik perhatian beberapa ibu yang sedang berbelanja di warung, tak jauh dari rumah kosong. Hari sudah siang, mana mungkin ada hantu, kata ibu-ibu saling bersahutan. Namun, kedua anak tersebut sudah lari ketakutan tak mendengar lagi ocehan para ibu.
“Mari Bu Am kita liat ke sana,” kata ibu pemilik warung kepada Bu Aminah yang kebetulan rumahnya berada di sebelah rumah kosong.
“Ayo, Bu. Aneh! Mana ada hantu. Matahari aja udah terbit,” balas Bu Aminah kepada Bu Hesti, pemilik warung.
Kemudian kedua ibu itu berjalan gegas menuju rumah kosong. Akhirnya, ibu-ibu yang lain mengikuti mereka. Setelah langkah mereka sampai di depan rumah kosong, tampak jendela depan bolong dengan pecahan kaca berserakan diteras.
“Halah, bisa jadi anak-anak itu yang lempar batu ke kaca jendela.Memang berniat menakut-nakuti kita,” ucap Bu Hesti sembari menyebik.
“Iya, Bu. Dasar anak-anak,” balas Bu Aminah sambil mengamati rumah kosong sesaat. Kedua wanita ini pun berniat kembali ke warung. Mereka berpapasan dengan para ibu lain yang penasaran juga.
“Gak ada hantu. Kelakuan anak-anak, Bu. Mereka yang pecahin kaca, teriak-teriak hantu. Biar kita pada jantungan,” ucap Bu Hesti sambil mengajak para pelanggan warungnya kembali.
▪▪▪¤•°•¤▪••