Bab 3 bayangan di balik mahkota
Langkah Raka mantap menuruni lembah yang dulu menjadi batas antara hutan larangan dan dunia manusia. Namun dunia itu telah berubah. Desa-desa yang dulu damai kini sunyi, banyak rumah terbakar, dan wajah-wajah penduduk yang ia temui dipenuhi ketakutan. Mereka menghindari tatapan, menunduk dalam diam seperti budak yang baru saja dihukum.
Kerajaan Mandapala yang dulu dikenal adil, kini dikuasai tangan besi. Dan Mahendra—pengkhianat berdarah bangsawan itu—berdiri di puncaknya, memerintah dengan kekejaman terselubung senyum palsu.
Raka berjalan menyusuri jalanan yang ia kenal sejak kecil. Namun kini, ia bukan lagi Raka yang sama. Di balik jubah hitam yang menutupi sebagian wajahnya, matanya mengamati segalanya. Ia menyamar sebagai pengembara, membawa keranjang kayu dan pedang yang dibungkus kain lusuh. Aksiraga harus disembunyikan. Untuk saat ini.
Pasar yang dulunya ramai kini diawasi ketat oleh prajurit istana. Pedagang membayar pajak tak masuk akal, dan siapa pun yang membantah akan diseret paksa. Dari kejauhan, sebuah patung baru berdiri—berlapis emas, menggambarkan Mahendra dengan tangan terangkat, seolah menyambut rakyat.
“Pemimpin macam apa yang membuat patung dirinya lebih tinggi dari kuil leluhur?” gumam Raka geram.
Ia melangkah melewati kerumunan saat tiba-tiba sebuah suara memanggilnya dari gang sempit di antara dua bangunan.
“Hei, pengembara. Wajahmu asing. Kau bukan dari sini, bukan?”
Raka berhenti. Seorang gadis muda berdiri di balik tirai bayangan. Wajahnya separuh tertutup selendang merah, matanya tajam dan tenang. Ia tidak takut. Justru… ia tersenyum.
“Tenang. Aku bukan penjaga istana. Tapi aku tahu siapa kau sebenarnya.”
Raka memutar tubuh, tangan siap menggenggam Aksiraga jika diperlukan. “Apa maksudmu?”
Gadis itu mendekat, menatap Raka tanpa gentar. “Kau pewaris naga, bukan? Anak yang dulu disembunyikan saat malam keruntuhan. Anak dari raja terakhir yang dibunuh Mahendra dan sekutunya.”
Raka menegang. “Siapa kau?”
“Aku Kirana,” jawabnya pelan. “Putri dari penjaga kerajaan yang dibakar hidup-hidup karena mencoba menyelamatkan ayahmu. Ayahku mati demi melindungi rahasia... tentangmu.”
Raka terdiam. Dunia seolah berhenti. Sejak bangkit dari hutan, belum ada satu pun orang yang menyebutkan masa lalunya secara utuh. Tapi gadis ini… menyimpan potongan puzzle yang hilang.
Kirana melangkah ke arahnya dan menyodorkan secarik peta. “Di bawah istana lama, ada ruang penyimpanan warisan para raja. Mahendra menyegelnya, takut rahasia masa lalu bocor. Tapi... aku tahu jalannya.”
“Kenapa kau ingin membantuku?” tanya Raka curiga.
Kirana menunduk sesaat, lalu mengangkat wajahnya dengan sorot mata tajam. “Karena dendamku tak kalah dalam dari milikmu.”
---
Malam itu, mereka menyusup ke bawah reruntuhan istana tua—tempat sejarah dikubur bersama mayat-mayat pengkhianatan.
Lorong gelap dan lembap menyambut langkah mereka. Dinding-dindingnya penuh ukiran naga, mahkota, dan lambang-lambang kerajaan lama. Semuanya diselimuti debu dan dilupakan.
Namun di tengah lorong itu, mereka dihentikan oleh suara berat.
“Kau pikir bisa kembali begitu saja?”
Sosok berjubah gelap berdiri di ujung lorong. Di tangannya, cahaya merah membentuk tombak.
Raka maju, membuka kain penutup Aksiraga. “Aku tak tahu siapa kau, tapi jika kau berdiri di antara aku dan kebenaran, maka kau musuhku.”
“Namaku Baranitra. Aku penjaga ruang warisan. Aku tidak setia pada Mahendra. Tapi aku tidak akan membiarkan pewaris naga yang belum layak menyentuh tahta.”
Kirana mundur, memberi ruang.
Pertarungan dimulai. Tombak merah beradu dengan bilah Aksiraga. Percikan sihir berterbangan, dan setiap benturan menggema di lorong sempit. Baranitra jauh lebih cepat, jauh lebih kuat. Raka terdesak, dadanya robek, darah menetes ke lantai batu.
Namun saat ia hampir jatuh, segel ketiga dalam tubuhnya berdenyut. Api biru menyelimuti tangan kirinya, dan Aksiraga mulai bersinar lebih terang.
“Nyala Jiwa, Raga Ke-3!”
Serangan balik Raka menyayat udara, membentuk bayangan naga raksasa yang menerjang Baranitra.
Baranitra terlempar, tubuhnya menyentuh dinding, namun ia tertawa.
“Kau... mulai layak.”
Lalu ia menghilang dalam kabut hitam.
---
Di ujung lorong, Raka dan Kirana tiba di depan pintu besar dari logam hitam.
Di tengah pintu, terukir kalimat kuno:
> "Yang membuka ini, akan melepaskan kebenaran... dan pertempuran."
Raka menaruh tangan di atas lambang naga yang menyala. Pintu itu pun bergetar, terbuka perlahan, dan angin kuno menyapu wajah mereka.
Di dalam ruangan, peti-peti emas, surat tua, mahkota raja, dan lembaran perjanjian berdarah menanti. Semua bukti kebusukan Mahendra. Dan juga… benda-benda peninggalan ayah kandung Raka.
Di ujung ruangan, berdiri patung besar sang raja terakhir—berjubah merah, membawa pedang yang tertancap ke tanah.
Kirana berbisik, “Itu… ayahmu.”
Dan saat Raka mendekat, patung itu bergetar. Batu-batunya retak. Dari dalamnya, keluar pancaran cahaya. Sebuah roh perlahan muncul—berwujud pria tua berjanggut panjang, bermata tajam penuh kasih.
“Raka… anakku. Kau akhirnya kembali.”
Raka tak mampu berkata apa pun. Tubuhnya kaku. Hanya matanya yang basah.
Raka berdiri terpaku. Sosok cahaya itu menatapnya, wajahnya begitu mirip dengan bayangan samar yang dulu pernah muncul dalam mimpinya—mata teduh namun tegas, sorot penuh kebijaksanaan yang membuat lutut Raka lemas.
“Raka…” suara itu lembut, namun bergema, seperti datang dari segala arah. “Putraku. Daging dan darahku. Kau tumbuh... jauh dari takhta, namun kau tetap membawa warisan dalam jiwamu.”
Raka berlutut. Dadanya terasa sesak. “Ayah… benarkah ini…? Benarkah aku…”
Roh sang raja tersenyum. “Kau adalah harapan terakhir dari garis yang dihapus. Dunia mengira kita sudah punah, namun kau adalah bukti bahwa kebenaran tidak bisa dibunuh. Kau bertahan… dan kini, kau kembali.”
Kirana yang berdiri di belakang Raka, spontan menjatuhkan diri dalam posisi sujud. Selendangnya jatuh, rambut hitamnya terurai.
“Paduka… saya—saya mohon ampun atas kebodohan masa lalu. Ayah saya gagal melindungi paduka saat malam pengkhianatan…”
Roh itu menoleh padanya. “Putri dari Panglima Jana… Aku ingat ayahmu. Ia gugur dengan kehormatan. Dan kau… telah menunjukkan keberanian dengan membimbing putraku.”
Kirana menahan napas. Air matanya menetes diam-diam.
Lalu sang raja menatapnya dalam. Suaranya mengeras, membawa wibawa yang tidak bisa dibantah.
“Dengarkan aku, Kirana. Mulai saat ini, kau adalah penjaga pewaris naga. Jiwamu terikat pada tugas itu. Kau akan mendampinginya, melindunginya, mengingatkannya… sampai takhta kembali pada tangan yang benar.”
Kirana mengangguk dalam-dalam. “Dengan segenap jiwa dan raga saya, paduka.”
Raka menoleh padanya. Pandangan mereka bertemu sejenak, dan untuk pertama kalinya, ia melihat Kirana bukan hanya sebagai gadis pemberani… tapi sebagai rekan seperjalanan. Mungkin lebih dari itu suatu hari nanti.
Roh sang raja perlahan memudar, meninggalkan cahaya lembut yang menyelimuti Raka. Sebelum menghilang sepenuhnya, ia berbisik,
“Bangkitlah, Raka Aryasena. Bukan sebagai anak yang dibuang… tapi sebagai naga yang terbangun.”
setelah kepergian roh sang raja. Kirana langsung bangkit dan berkata " tuan raka, aku tahu kita harus membalaskan dendam ini, tapi aku ingin kita menyusun semua nya dari awal jika kita menyerang sekarang aku takut kita berdua... akan"
belum sempat Kirana berbicara, raka langsung memotong " aku tahu Kirana, ayo kita ke kampung sebelah dan menyusun rencana kita kembali". " kau harus ingat Kirana perjalanan ini akan sangat berbahaya jika kau ingin menyerah maka tinggal lah dan jangan ikut aku".
Kirana yang mendengar itu langsung berdiri dan berkata. " tidak tuanku, aku akan melindungi tuanku walu apapun d hadangan dan rintangan yang akan terjadi, walau pun diri ini akan mati hamba siap tuanku".
Raka tahu perjalanan ini masih akan sangat panjang dan berbahaya. ntah apa yang akan terjadi. tapi satu hal yang dia pegang tekad untuk membalaskan dendam
