Ringkasan
Icha dulu suka Bara. Naksir berat. Icha bahkan rela menyimpan harga diri di gudang Louvre hanya untuk mengejar-ngejar tetangga kontrakannya yang baru itu. Tapi Bara tidak pernah merespon. Tanggapannya pun sangat dingin. Selalu menerima brownis kukus yang Icha berikan tiap pagi, tapi tidak pernah menerima hati Icha.Sampai suatu hari sebuah kenyataan terbuka. Icha berusaha melupakan Bara.Tapi kenapa sekarang ... malah Gio yang mengejarnya?Ini tidak beres!
One
"Nggak tahu."
"Enteng banget ngomongnya lo, anjir!"
"Ya kan emang nggak tahu, Zev."
"Elo tuh ya! Untung nggak lagi di deket gue. Kalau iya, abis lo!"
"Kok gitu sih, Zevania?" Aku cemberut. "Ini aku minta tolong, lho. Katanya gabut? Nggak tahu mau ngapain, tapi terlanjur cuti? Ya udah kan, aku kasih kesibukan."
"Nggak gitu juga keles!" Di layar ponselku, Zeva memutar bola mata dengan kesal. "Masa lo ngilang sebulan, dan ninggalin toko ke gue? Nggak berperikesahabatan banget lo!"
"Kan friend with benefit, Zev.'
"FWB apaan?!" Zeva mengumpat karena menumpahkan minuman miliknya. "Gue masih normal, ya! Gila lo!"
Aku terkikik. "Emang bener, kan? Kamu bantuin aku ngurus toko, aku kasih kesempatan kamu PDKT sama Arya. Berterima kasih kamu harusnya sama aku."
"Istilahnya nggak FWB banget, kali!" Dia mendelik. "Minta gua bully atau gimana?!"
Nah kan, keluar macannya. "Kamu emang tega bully aku lagi? Bukannya dulu aku udah melewati masa percobaan, terus diangkat jadi teman kontrak, terus naik pangkat jadi sahabat tetap? Masa sekarang mau turun jabatan?"
"NAH!" Dia berteriak, membuat Riska yang lewat di belakangnya, terlonjak, lalu menunduk untuk akhirnya berlalu. "Makin-makin gue mau pecat lo!"
"Jahat."
"Elo yang jahat!" Dia berteriak lagi, kawan! "Elo yang buka toko, kenapa gue yang harus repot ngurusin?"
"Kan aku gaji kamu."
"Dan kapan gue ambil gaji seupil yang bahkan nggak ada sepersepuluh dari uang jajan gue?"
"Ya itu karena kamu nggak mau ambil. Bukan salahku-"
"Salah gue, gitu? Elo yang jadi kaum lemah, gue yang salah? Elo yang sok polos tapi demen manipulasi otak pembully-nya sendiri, gue yang salah? Elo yang betah banget ngumpet dan kumpul ke-"
"Aku nggak kumpul kebo, Zev."
"-bo sama cowok, gue yang salah? Elo yang sibuk ngehindar dari polisi bangsat, gue lagi yang salah? Sekalian aja lo umumin kalau di balik tragedi pengecilan otak lo itu, ada campur tangan gue!"
"Zeva!"
"Wow." Dia bersiul. "Udah berani bentak gue? Diajarin siapa? Tetangga Alan ada yang kasih pengaruh jelek gitu? Kurang ajar si Alan! Bisa-bisanya bikin lo berani bentak gue."
Aduh. Pusing. Maunya sih, aku bilang kalau yang mengajariku berani melawan adalah dia. Yang suka mengumpat dan berkata kasar juga dia. Apalagi yang emosian? Jelas dia! Tapi mana bisa aku menjabarkan itu semua? Aku ngeri kalau level emosinya naik satu nomor saja. Bisa habis nanti Louvre diratakan sama pemegang sabuk hitam ini. Mana aku belum bisa datang ke sana untuk waktu yang tidak bisa ditentukan, lagi!
"Habisnya kamu ngatain kumpul kebo." Suaraku kembali lemah lembut seperti biasa, setidaknya menurutku.
"Lah, sebutan apa yang cocok buat cowok dan cewek tinggal di rumah kontrakan yang sama dalam waktu hampir sebulan?"
"Aku sama Alan-"
"Bisa nggak sih lo sekaliii aja nggak bantah omongan gue? Sejalan gitu sama otak gue walaupun ukurannya nggak sama. Nggak bisa banget?"
"Bisa, kok, bisa. Okay?" Sudah deh nurut saja biar cepat.
"Nah, kan bagus kalau begitu."
Tetap saja aku tidak bisa menerimanya. Masa aku dan Alan dikatai kumpul kebo? Dilihat dari sisi mana pun, itu jelas super duper sangat salah sekali. Bahkan kalau Alan dengar ini, dia tetap tidak akan terima. Tapi ya sudah. Zeva akan makin galak kalau tidak kuiyakan. Dan potensi aku dipecat olehnya, akan semakin besar. Jelas itu sangat kuhindari, mengingat gadis yang dulu tiap hari membully-ku di SD dan SMP itu sangat kubutuhkan kehadirannya sama seperti kehadiran Alan.
"Tapi Zeva." Yang satu ini, aku masih ingin protes. "Kok kamu bawa-bawa Pak Gio segala, sih. Itu sama sekali nggak asyik, lho."
"Lo kira, gue yang tiap hari diteror dengan pertanyaan 'mana Icha?', 'Danisha nggak datang?', 'kamu ngumpetin Icha?', 'kamu pengaruhin Icha buat ngilang dari saya?', itu asyik? Sama sekali enggak, Icha Sayangku!"
Aku refleks mengerucutkan bibir. "Ya kamu larang aja Pak Gio biar nggak datang lagi."
"Anjir ngomongnya guampang banget bocah ini!" Zeva tertawa sarkas. Aku mengkeret. "Lo pikir gue nggak nyoba? Berkali-kali, woy! Tapiii ... lo pikir dia bakalan nyerah gitu aja? Semakin gue larang, semakin dia nyebelin dengan datang tiap hari. Bahkan tadi siang aja dia bawa banyak temennya masuk ke Louvre. Nggak gila gimana itu gebetan lo?"
"Bukan gebetanku, ya. Aku kan naksirnya sama Mas Bara."
"Sama aja, dodol!"
"Bagiku enggak."
"Terserah, deh. Ngomong sama lo cuma bikin energi gue abis." Dia berdecak. "Inti dari video call ini, gue mau kasih tahu kalau Louvre didatangin istri pejabat."
"Wah, serius? Keren banget! Bisa seterkenal itu ternyata ya. Bangga ih sama diriku sendiri. Ada untungnya juga aku paksa Alan buat jadi tukang foto. Efek sosmed emang sedahsyat itu, ya!"
"Diem dulu, bisa?"
"Okay." Aku membuat gerakan mengunci bibir, lalu membetulkan posisi gawai yang sedikit miring hingga muka Zeva jadi ikut miring.
"Jadi si ibu ini mau kerja sama."
"KERJA SAMA?!" Aku spontan berdiri. "WO-okay, diem."
Zeva memutar bola mata saat aku kembali duduk manis. "Gue udah kasih sampel yang di etalase, terus gue kasih daftar semua pastry kita. Dan lo harus berterima kasih sama kepintaran marketing gue, karena beliau nggak perlu pikir panjang buat pemesanan pertama."
"WOW. Makasih, Zeva Sayang. I love you I love you!"
Dia mengernyit jijik. "I hate you."
Kukedipkan sebelah mata. "I still love you."
Zeva berakting ingin muntah. Aku terkikik geli. Tahu kok, dia itu gengsian. Dia sebenarnya sangat-sangat sayang aku. Langka banget kan pembully bersahabat dengan yang dibully?
"Jangan seneng dulu lo!"
Keningku berkerut. "Kenapa?"
"Menurut lo, kalau ada pesanan gini, lo bisa leha-leha di kontrakan kecil yang bahkan nggak ada seperempatnya sama rumah dua M gue itu?"
"Hah?"
"Muka bloon lo dikondisikan, tolong." Dia memasang muka mencemooh. "Makanya gue sering bilang, otak lo diupgrade. Udah lemot itu!"
Aku mencebikkan bibir. Tadi kan dia bilang ada pesanan. Terus aku senang. Tapi apa hubungannya dengan keberlangsungan hidupku di rumah kontrakan Alan?
"Dasar bocah ini!" Zeva berdecak gemas. "Lo pikir Santi sendiri bisa nyiapin lima ratus pastry berbagai macam jenis itu sendirian? SENDIRIAN? Ya Allah ... ampuni hamba-Mu ini yang maunya berkata kasar terus!"
Aku mengerjapkan mata. "Emang aku harus ke sana, ya?"
"Ya terus Santi harus kerjain tanpa elo, gitu? Mau matiin pegawai sendiri? Lo pikir dia kerja di zaman romusha?"
Aku tidak tahu mau tertawa geli karena kalimat Zeva, atau sedih karena kenyataan bahwa aku memang harus keluar dari kepompong. "Tapi Zeva, kalau nanti ketemu sama Pak Gio, gimana?"
"Terserah lo! Pikir aja sendiri. Kalau perlu, minta solusi sama itu belahan jiwa lo yang katanya jenius. Udah ya, tensi gue udah naik ini. Bye!"
Panggilan video terputus begitu saja. Aku menunduk lesu, sampai daguku jatuh di permukaan meja belajar Alan. Aduh. Bagaimana ini? Aku belum siap ketemu pak polisi yang baru kusadari kalau dia sangat om-om itu!
***