Pustaka
Bahasa Indonesia

Istrinya Berselingkuh Dan Keguguran, Mantan Pacarku Ingin Aku Membayarnya Dengan Nyawaku

4.0K · Tamat
Olivia Erina Dulcie
6
Bab
84
View
9.0
Rating

Ringkasan

Aku punya sahabat yang hanya baik padaku sebatas di mulut saja. Dia bilang semua pria kaya bukanlah orang baik, jadi dia menikahi pacarku yang anak orang kaya, katanya untuk membantu menanggung deritaku. Dia menjual semua mas kawin miliknya dan memberi tahu suaminya kalau semua itu dia berikan padaku. Dia menghabiskan limit kartu kredit suaminya dan bilang itu untuk membayar utangku. Terakhir, dia main ranjang dengan adik suaminya saat hamil sehingga menyebabkan pendarahan hebat dan keguguran. Dia berbaring di ranjang rumah sakit dan menuduhku. Katanya dia didorong sampai jatuh saat menasihatiku untuk tidak berbuat nakal sembarangan. Pada akhirnya, aku dijual suaminya ke Myanmar Utara lalu dijadikan bank organ tubuh dan dimutilasi pacar gelapnya. Saat membuka mata lagi, aku sudah kembali ke hari ketika pertama kali memergoki sahabatku selingkuh.

RomansaPerselingkuhanRevengePengkhianatan

Bab 1

Setiap kali Clarisa akan melakukan hal tidak bermoral, dia akan selalu menarikku untuk dijadikan tameng.

Berkat usahanya, di mata suaminya Hugo Haris, aku adalah wanita jahat yang liar, suka berjudi, dan berselingkuh. Sedangkan dia adalah dewi suci baik hati yang menyelamatkanku dari dunia kotor.

Jadi, dia harus menemaniku saat aku putus cinta. Saat kalah judi, aku bukan hanya akan meminjam uangnya tapi juga butuh hiburannya. Aku bahkan harus aborsi setiap setengah tahun sekali.

Jika bukan karena Hugo yang mencaci makiku dan membongkar kesalahanku seperti seorang pahlawan sebelum aku mati, aku tidak akan tahu ternyata hidup seseorang bisa seberwarna ini. Saat ini, aku sedang dihujani serangan ganda dari pasangan Hugo dan Clarisa.

Clarisa mengirimkan foto dirinya yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit dengan wajah pucat dan meminta tolong bantuanku untuk menanggung kesalahannya demi bayi yang sudah meninggal.

Hugo sedang mengutukku.

"Alexa, kamu sendiri yang bermasalah, jangan bawa-bawa Clarisa, sudah jam berapa ini tapi kamu masih tidak membiarkannya pulang?"

"Jangan pikir semua orang serendah dirimu, jangan coba-coba menjerumuskan Clarisa."

"Aku beri tahu kamu, jangan pikir karena Clarisa polos dan baik hati jadi bisa terus kamu tindas."

"Kenapa sebelumnya aku tidak sadar kalau kamu terus mengisap darah Clarisa? Apakah kamu tidak sadar dirimu sangat menyebalkan dan menjijikkan? Jangan salahkan aku tidak memandang hubungan lama kita, kalau kamu tidak segera mengantar Clarisa pulang!"

Benar, kenapa aku tidak sadar dari dulu?

Baru setengah tahun bersama, Hugo dan Clarisa sudah menikah, seolah melupakan akulah orang yang sudah menemaninya selama tujuh tahun sementara Clarisa adalah sahabatku.

Meski sangat sakit, tapi aku sudah bisa merelakannya, mungkin memang kami tidak berjodoh.

Hanya saja aku masih merasa bingung saat menghadapi Hugo yang begitu kasar.

Bagaimanapun juga, saat bersamaku dia selalu lembut. Jangankan mengumpat kasar seperti ini, dulu dia bahkan jarang bicara dengan nada tinggi.

Di saat aku merasa beruntung karena berpikir telah menemukan pasangan yang baik, Clarisa selalu berpura-pura memperlihatkan sisi baiknya sebagai sahabat yang memikirkan kebaikanku, "Tidak ada pria yang benar-benar tulus, mereka hanya akan membuatmu menangis."

"Pria akan jadi jahat kalau ada uang, pria kaya memang selalu jahat dari lahir." Jadi perhatian dan kelembutan Hugo padaku dianggapnya sebagai bukti bahwa Hugo menyembunyikan sesuatu dariku.

Ketika aku emosi karena bertengkar dengan Hugo, Clarisa berperan menjadi penengah yang bolak-balik menyampaikan pesan di antara kami.

Pada akhirnya, Hugo menjadi pria berengsek di mataku dan aku menjadi wanita matre di mata Hugo.

Di saat hubunganku dengan Hugo retak, Clarisa menyelinap masuk.

Saat aku melihat sahabatku memasukkan kakinya yang memakai stoking ke dalam celana panjang Hugo, aku baru sadar betapa bodoh dan naifnya diriku. Enam bulan setelah putus dengan Hugo, aku menerima undangan pernikahannya dengan Clarisa.

Aku tulus mengucapkan selamat, juga sungguh-sungguh berniat menjauh dari pasangan ini.

Sayangnya, fakta bertentangan dengan harapan.

Mungkin Hugo sendiri pun tidak menyangka kalau frekuensi dia menghubungiku lebih tinggi daripada sebelum putus. Namun setiap kali dia menghubungiku hanya untuk menanyakan keberadaan Clarisa saja.

Sebenarnya, hubunganku dan Clarisa sudah tidak seakrab sebelumnya.

Dia selalu memintaku membantu dia menutupi keberadaannya sebelum Hugo mencariku. Aku malas mencari tahu apa yang terjadi, jadi setiap kali aku hanya mengikuti petunjuk Clarisa untuk mengelabui Hugo.

Sampai akhirnya setelah Hugo membawa tiga pria besar ke rumahku sambil marah-marah, aku baru tahu betapa berwarnanya kehidupan yang diciptakan Clarisa untukku.

Hanya saja, aku menyadari itu terlalu terlambat. Ketika aku membuka mata lagi, aku sudah dikirim ke Myanmar Utara.

Rasa sakit yang aku alami saat terikat di meja operasi yang kotor dan organ yang diambil seperti binatang dari kehidupan sebelumnya masih belum hilang.

Kali ini, saat mendengar omelan Hugo, semua dendam kebencian baru dan lama yang terkumpul membuatku merasa bersalah kalau masih tidak melawan.

Jadi aku pun pura-pura berkata dengan ragu, "Clarisa, dia, sedang asyik main ranjang. Lagi pula ini sudah malam, tidak aman kalau pulang sendirian. Dia berada di hotel yang sebelumnya dia katakan sering dikunjungi bersamaku."

Aku menutup telepon setelah mengatakannya, lalu mengirimkan pesan pada sahabat baikku, Clarisa.

"Clarisa, ada apa denganmu? Bagaimana kalau aku suruh Hugo pergi menjengukmu di rumah sakit?"

Tentu saja aku tahu ada apa dengannya. Dia hamil tiga bulan dan sudah tidak tahan kesepian, jadi dia menggoda adik kandung Hugo untuk bermain seks ekstrim di hotel, tidak diduga sampai mengalami keguguran di tempat. Aku kebetulan melihatnya saat ambulans membawanya keluar.

"Alexa, aku hanya tidak sengaja jatuh dari tangga, tidak ada yang serius. Tolong jangan beri tahu Hugo. Aku sudah sangat senang kalau kamu bisa datang menemaniku."

Jika aku pergi, bukankah itu justru menguatkan bahwa aku yang telah mendorongnya dari tangga seperti yang dikatakannya pada Hugo? Detik berikutnya, Hugo datang ke rumahku dengan beberapa pengawal dan menggeledah rumahku sampai berantakan.

Setelah memastikan hanya ada aku sendiri di rumah, Hugo mulai berteriak padaku.

"Kamu membawa Clarisa ke mana? Lampu rumahmu terus menyala, kamu tidak ada di hotel, tapi membohongiku dan berkata kalian ada di hotel."

Aku melihat wajahnya yang merah padam, kelembutan yang dulu hilang tak berbekas.

Aku melihatnya dengan polos, "Kapan aku bilang aku sedang bersama Clarisa?"

Dia menarik rambutku dengan keras, kulit kepala yang sakit membuatku mengernyitkan kening. "Bagus kalau kamu takut, cepat katakan, ke mana kamu membawa Clarisa?"

Aku menahan sakit dan lanjut berkata, "Aku sudah bilang, dia sedang main ranjang di hotel XX. Adikmu juga ada di sana, kamu bisa tanya dia."

Hugo melihatku yang tampak tidak bohong, lalu mendorongku dengan ekspresi jijik.