Bab 3 Pengakuan Dirga
Pagi merayap masuk lewat celah tirai, menciptakan semburat cahaya hangat yang menari di atas seprai kusut. Udara kamar masih mengandung sisa malam—panas, padat, dan diam-diam menggoda.
Vira membuka mata perlahan, tubuhnya masih terasa berat dalam pelukan Dirga yang belum melepaskan. Napas pria itu teratur, tenang, seperti seseorang yang akhirnya menemukan tempat untuk beristirahat dari dunia yang selalu menuntutnya menjadi keras.
Dengan pelan, Vira membalik tubuhnya menghadapnya. Dirga masih terlelap, tapi rahangnya yang tegas, alis yang sedikit berkerut, dan napas yang menyentuh pipinya membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Tanpa sadar, tangan Vira terangkat. Ujung jarinya menyusuri dada bidang Dirga, turun perlahan melewati garis otot yang tertata sempurna—keras, kuat, dan terlalu nyata untuk tidak disentuh. Sentuhan itu ringan, tapi cukup membuat tubuh Dirga bergerak sedikit.
Masih dengan mata terpejam, Dirga bergumam rendah, suaranya berat. “Kalau kau teruskan, aku tidak bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi.”
Vira tersenyum kecil. “Kau tidak tidur?”
“Aku pria. Mana mungkin bisa tidur tenang dengan tanganmu menyusuri tubuhku seperti itu?”
“Aku hanya mengagumi kerja kerasmu,” bisik Vira, tangannya kini berhenti tepat di atas perut sixpack Dirga, menekan pelan.
Dirga membuka mata, lalu menggenggam tangan Vira, membawanya ke bibirnya dan mengecup jemarinya satu per satu. “Kalau kau terus mengagumi, aku akan terpaksa menunjukkan lebih banyak hal yang patut dikagumi.”
“Tapi ini pagi,” sahut Vira, menahan senyum.
“Dan pagi tak pernah melarang apa pun.” Dirga berguling, tubuhnya kini menindih Vira, tangan bertumpu di kedua sisi wajahnya.
“Berhenti sebelum kau membuatku kecanduan,” bisik Vira dengan nada hampir putus asa.
Tapi Dirga hanya menatap matanya dalam. “Terlambat. Aku sudah kecanduan lebih dulu.”
Lalu ia mencium Vira sekali lagi, dengan rasa yang lebih pelan tapi lebih dalam, seolah ingin menghafal setiap inci rasa yang hanya bisa ia temukan dari satu perempuan: dia yang katanya cuma simpanan, tapi perlahan menjadi satu-satunya yang membuat dunia berhenti berputar.
Hari itu langit cerah, seolah tahu betapa dunia Vira sedang diguncang dalam diam. Setelah pagi yang hangat di ranjang Dirga, realitas kembali datang tanpa mengetuk. Ponselnya berdering sejak ia meninggalkan kamar mandi, tapi bukan dari Rizal, bukan dari rekan kerja—melainkan dari seseorang yang tak seharusnya tahu di mana dia berada.
"Maya."
Nama itu muncul di layar. Vira menatapnya sesaat, lalu menggeser tombol hijau. Suaranya berusaha tenang.
“Halo.”
“Vira,” suara di seberang terdengar tergesa. “Kau di mana? Kau belum baca berita?”
“Ada apa?”
“Aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi foto-fotomu—dengan Dirga—beredar.”
Jantung Vira mencelos. “Foto apa maksudmu?”
“Di lobi hotel kemarin. Kau berdiri di sebelahnya, ada juga waktu kalian masuk lift bersama. Paparazzi. Media gosip kelas dua, tapi cukup buat bikin heboh. Semua nyari tahu siapa kamu.”
Langkah Vira goyah. Ia terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong. Ia tahu ini akan terjadi. Cepat atau lambat. Tapi kenyataannya tetap menyesakkan.
Belum sempat menjawab, pintu kamar terbuka. Dirga muncul, kini sudah rapi dengan jas dan dasi, rambutnya masih basah. Tatapannya langsung tajam melihat wajah Vira yang pucat.
“Ada apa?” tanyanya cepat.
Vira tak menjawab, hanya menyodorkan ponselnya. Dirga mengambilnya, membaca layar, lalu mendesah pendek. “Sial.”
“Kenapa bisa bocor?” Vira bertanya pelan.
“Entah. Tapi aku akan cari tahu.”
“Apa kau akan menyangkalnya di media?”
Dirga diam.
“Jawab, Dirga.”
“Apa kamu ingin aku akui?”
Vira menatapnya tajam. “Bukan itu yang aku tanya. Aku ingin tahu, kalau semua orang menyerangku karena ini, kau akan melindungiku atau membiarkanku sendirian sambil tetap bersembunyi di balik status tuan besar?”
Dirga menarik napas panjang. “Kalau aku akui kamu sekarang, dunia akan menyerbu. Mereka akan menyeret masa lalumu, mencabik citramu, menuduhmu macam-macam. Apa kau siap?”
Vira berdiri, mendekatinya. “Aku tidak pernah siap. Tapi aku juga bukan perempuan yang bisa disimpan diam-diam hanya demi egomu tetap utuh.”
Mereka saling menatap. Tegang. Hening.
“Aku akan urus semuanya,” ucap Dirga akhirnya. “Tapi izinkan aku melindungimu dengan caraku.”
“Dengan caramu,” Vira mengulang, sinis. “Yang selalu berarti: aku diam, dan kau tetap terlihat sempurna.”
Vira mengambil tasnya, berjalan menuju pintu.
“Vira,” panggil Dirga, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya. “Jangan pergi.”
“Aku tidak pergi,” balas Vira tanpa menoleh. “Aku hanya memberimu waktu. Untuk memilih—aku, atau reputasi yang selama ini kau jaga seperti dewa.”
Pintu tertutup.
Dan untuk pertama kalinya, Dirga dibiarkan berdiri sendirian di kamarnya sendiri. Tanpa jawaban. Tanpa kendali. Tanpa Vira.
Vira turun dari penthouse dengan langkah cepat, menyembunyikan gemetar di ujung jemarinya. Hatinya sesak, kepalanya berdenyut. Suara-suara wartawan di luar hotel masih samar terdengar meski dari lantai bawah. Begitu ia keluar dari lift, seorang staf hotel yang mengenalnya langsung menyodorkan topi dan kacamata hitam—tanpa bicara, hanya lirikan penuh simpati.
Vira mengenakannya. Tak butuh waktu lama untuk menembus lobi. Beberapa orang sudah menoleh, bisik-bisik, dan saat satu kamera diangkat, ia mempercepat langkah keluar, menumpang taksi tanpa banyak bicara.
Ia tak pulang ke apartemennya. Ia tak siap menghadapi dunia nyata. Ia menuju tempat paling asing sekaligus paling aman: studio tua milik Maya yang jarang dipakai. Di sana, ia duduk di antara rak buku dan alat fotografi yang berdebu.
Ponsel bergetar. Lagi. Dari Dirga. Ia abaikan.
Beberapa menit kemudian, pesan masuk.
> “Kau memintaku memilih. Hari ini, aku akan memilih. Tapi aku tidak akan biarkan kamu menghadapi ini sendirian.”
Vira menatap layar lama. Sinar mataharinya menyusup dari celah jendela studio, menyinari wajahnya yang mulai lelah. Di dalam hatinya, ia ingin percaya. Tapi luka perempuan yang pernah merasa tak dianggap tak mudah disembuhkan dengan janji.
Tak lama kemudian, layar ponselnya menampilkan notifikasi berita.
> Dirga Atmadja Akui Sosok Perempuan yang Bersamanya: "Dia Bukan Simpanan, Dia Perempuan yang Saya Cintai."
Vira membeku.
Nafasnya tercekat, matanya membelalak. Tangannya gemetar saat membuka isi berita. Di dalamnya, pernyataan Dirga dikutip jelas, lengkap dengan foto mereka berdua dan potongan video wawancara singkat yang dilakukan di parkiran kantornya.
"Saya tidak akan menyangkalnya. Perempuan itu bernama Vira. Dia bukan bagian dari gosip. Dia bagian dari hidup saya. Saya tidak akan sembunyi lagi."
Suara Dirga terdengar tegas, serius, dan di akhir video, wajahnya terlihat menahan emosi yang tak biasa.
Pintu studio diketuk.
Vira menoleh cepat. Jantungnya berdetak lebih keras saat bayangan tubuh tinggi itu masuk tanpa diminta.
“Bagaimana kau tahu aku di sini?” bisiknya.
“Aku mengenalmu,” jawab Dirga pelan.
Ia mendekat, lalu berlutut di depannya. Tak seperti tuan besar yang biasa mengatur segalanya. Tapi seperti seorang lelaki yang akhirnya berani menjatuhkan egonya di hadapan perempuan yang ia cintai.
“Aku tahu kau belum bisa percaya. Tapi biarkan aku membuktikan bahwa ini bukan sekadar pengakuan. Ini awal.”
Vira tak menjawab. Tapi matanya basah. Dan kali ini, tak ada air mata karena luka. Hanya rasa lega… dan mungkin, harapan.
