Ringkasan
Seminggu setelah ayah Katherine Brown menghembuskan napas terakhir. Tepat di depan matanya, suami, mama tiri dan adik tirinya membunuh bayinya yang baru saja melihat dunia. Semakin hancur lagi hati Katherine, tatkala dalam keadaan sekarat menyaksikan Karl dan Lea bercumbu mesra, hendak melawan. Namun, tak mampu. Perdarahan hebat yang dialami membuat pandangannya mulai buram. "Biadap! Apa kalian sudah gila?!" "Berisik! Kau menganggu kegiatanku." Karl Grafton "Ah, Karl, ini sangatlah enak, jangan berhenti!" Lea Brown Kedua manusia menjijikkan itu mengabaikannya, lantas melakukan hubungan tak lazim di hadapan Katherine. Pemilik mata abu-abu itu bersumpah akan membalaskan dendam. Akan tetapi, tepat di bibir lautan, pandangan Katherine tiba-tiba menggelap. Ia pun tewas lalu dibuang ke laut bersama bayinya. Keesokan paginya Katherine tiba-tiba terbangun di pesisir laut. Katherine ingat bila pernah terjatuh dari kapal pesiar dan ditolong Pangeran Frederick Abraham Edmund, sebulan sebelum pernikahannya berlangsung. Pangeran malang yang ditinggal mati sang tunangan, memiliki kekuasaan hanya dengan menjentikkan jari-jemarinya saja. Diberi kesempatan untuk hidup kembali, Katherine berencana melakukan aksi balas dendamnya melalui Pangeran Frederick, putra mahkota yang akan menjadi raja di negara Denmark. "Pangeran maaf menganggu waktumu, mau kah kau menikah denganku?" Tanpa ragu Katherine berkata. "Aku akan menikahimu tapi hanya sebagai istri kontrak saja, cintaku hanya untuk Victoria." Frederick Abraham Edmund Akankah rencana Katherine berhasil? Bagaimanakah cara Katherine membalaskan dendam? Penasaran, yuk dibaca.
Bab 1
Kopenhagen, Denmark.
Zaman modern
***
"Sabarlah Karl."
"Tapi, aku sudah tidak tahan lagi," kata Karl sembari menarik pinggang Lea seketika.
"Astaga, lihatlah istrimu masih ada di sini."
Karl malah tertawa rendah, tak mempedulikan sosok wanita yang tengah berusaha mendekati mereka sekarang.
"Biadap kalian!" Dengan sekuat tenaga Katherine Brown merangkak di atas pasir, mencoba mengapai bayinya yang terbujur kaku, berjarak tiga meter darinya.
Malam ini debur ombak di bibir lautan mengalun-alun lembut di telinga Katherine. Udara pun begitu dingin hingga menusuk-nusuk kulit pori-porinya.
Katherine sedikit mengigil, menyeret kedua kakinya yang dipenuhi darah. Dia baru saja melahirkan tanpa bantuan siapa pun mengakibatkan perdarahan hebat.
"Abaikan saja dia." Karl meraih tengkuk Lea dengan cepat kemudian melumat liar bibir kekasih gelapnya itu.
"Mengapa kalian melakukan ini padaku?" tanya Katherine, mendekap tubuh anaknya yang masih merah sambil melabuhkan kecupan demi kecupan di pipi dengan penuh kasih sayang.
Rasa sakit di bagian bawah perut, tak sebanding dengan rasa sakit tatkala melihat buah hatinya menghembuskan napas terakhir tepat di depan matanya tadi.
Bayi mungil tak berdosa tewas mengenaskan di tangan suami, mama tiri dan adik tirinya. Dengan tega mereka menjatuhkan anak Katherine sampai tangisnya tak lagi terdengar di sekitar.
"Kau masih bertanya?" Lea Brown mendorong pelan dada Karl. Dengan mata melotot tajam ia menghampiri Katherine.
Katherine mendongak, menatap tajam pemilik bola mata hitam itu.
"Aku benar-benar tidak tahu, cepat katakan apa salahku?" tanya Katherine kembali, cairan bening tak berhenti mengalir sejak tadi.
Lea tertawa terbahak-bahak. Tak ada rasa iba sedikit pun yang terpancar dari bola matanya. Wanita bersurai hitam itu seakan-akan menikmati keadaan Katherine saat ini.
Tawa Lea tiba-tiba berhenti, matanya pun mendadak melebar kembali. "Bodoh sekali Kakakku ini, semua itu karena ulah papamu yang tidak mau membagikan warisannya untukku dan Mamaku!"
Netra kelabu Katherine lantas terbelalak hendak membalas namun Karl tiba-tiba menyela.
"Sudahlah Lea, wanita ini sangatlah bodoh, jangan buang-buang tenagamu untuk meladeni dia. Mari kita ke situ sebentar, aku sudah tidak tahan lagi."
Dalam satu kali hentakan Karl berhasil menarik tangan Lea. Ia kembali mencumbu kekasih gelapnya di hadapan sang istri.
Semakin pecah tangis Katherine. Lingkar matanya tampak merah, pandangannya pun mulai buram. Dadanya terasa sangat nyilu.
Betapa hancur hati Katherine. Melihat Karl memasukkan kejantanan ke inti tubuh Lea dari belakang sekarang. Pakaian keduanya masih melekat di tubuh, hanya pakaian bagian bawahnya saja yang turun.
Katherine mencoba menerka-nerka. Sejak kapan Karl dan Lea menjalin hubungan. Apa dia melewatkan sesuatu?
Entahlah, namun yang jelas malam ini, semua kepalsuan yang ditampilkan, Zara, Karl dan Lea menyadarkan Katherine, bahwa ia adalah orang paling dungu selama ini.
Kini Katherine mulai berspekulasi bila kematian mendadak papanya pasti ada sangkut pautnya dengan ketiga iblis tersebut.
Karl dan Lea saling mendesah nikmat di dekat bebatuan besar, seolah-olah tak ada orang di sekitar dan mengabaikan jerit tangis Katherine semakin terdengar nyaring.
"Ah, Karl, ini sangatlah enak, jangan berhenti!" Racau Lea bagai orang sakau.
"Sesuai permintaanmu!" Karl menghentak-hentakkan pinggul sambil melirik Katherine yang saat ini mencoba merangkak, mendekati mereka.
"Biadap! Apa kalian sudah gila?!" pekik Katherine sudah tak mampu lagi menahan sesak. Ini terlampau sakit, pria dan adik tirinya, yang sangat ia sayangi begitu tega mengkhianatinya.
"Berisik, kau mengganggu kegiatanku!" Karl semakin cepat memacu permainan hingga Lea mendesah penuh syahdu seraya mengeluarkan tawa keras.
Katherine mulai lemah. Sekarang rasa sakit di bawah sana semakin menjadi-jadi, membuat ia tak mampu lagi menahan sakit. Sedetik kemudian matanya menutup perlahan-lahan.
"Lea, Karl, astaga, apa yang kalian lakukan?" Dari jarak empat meter, Zara Brown melangkah cepat, mendekati pasangan gila itu. Ia baru saja turun dari kapal.
Mata hitamnya sedikit melebar, saat melihat menantu dan putri kandungnya bercinta di tempat terbuka.
Buru-buru Karl menarik kejantanan kemudian menutup retsleting.
"Maaf Ma, biasalah Karl, dia sudah tidak mampu lagi," balas Lea dengan napas terengah-engah.
Zara menggeleng samar-samar. Pandangannya langsung beralih pada Katherine, di mana anak tirinya tergolek tak berdaya sambil memeluk bayi. Seringai tajam pun membentang di wajah Zara.
"Naiklah ke kapal, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan, buanglah mayat istri dan bayimu, Karl. Jangan sampai orang tahu!" titah Zara kemudian.
Karl mengangguk.
Setelah itu Zara berjalan cepat, menuju kapal pesiar yang terombang-ambing di bibir lautan akibat terkena terpaan angin kencang.
"Menyebalkan sekali Mama, padahal sedikit lagi." Usai melihat Zara telah menaiki kapal, Lea langsung memberi komentar. Wajahnya terlihat sebal karena kesenangannya diganggu barusan.
Karl tiba-tiba mendekat kemudian melabuhkan kecupan singkat di pipi kanan Lea.
"Nanti kita main di kapal ya. Kita buang dulu mayat Katherine dan anaknya."
Lea mengulum senyum lalu mengalungkan tangan di leher Karl. "Baiklah, puaskan aku sampai pagi, sekarang tidak ada lagi penganggu," sahutnya sembari melirik Katherine sekilas.
"Sesuai permintaanmu." Karl mengulas senyum lalu mencium bibir Lea lagi. Ia pun menyuruh sang kekasih untuk naik ke kapal terlebih dahulu.
Sepeninggalan Lea, Karl menatap datar mayat Katherine. Tanpa menunjukkan ekspresi sama sekali ia menyeret Katherine dan anaknya, mendekati bibir pantai.
"Argh!" Karl tersentak ketika dari atas langit petir bersahut-sahut, menciptakan percikan kilatan cahaya yang bersiap-siap untuk menyambar seisi bumi.
Sedikit takut dan memekik sesaat ia, sebab cuaca hari ini tak dapat diprediksi. Padahal tadi pagi panas terik menderik.
Tak mau berlama-lama di luar, Karl mendorong kuat Katherine ke lautan hingga tak terlihat lagi mayat istrinya.
Karl tidak tahu bila Katherine belum sepenuhnya menghembuskan napas terakhir. Wanita itu hanya menutup matanya saja tadi.
"Selamat tinggal Sayang, titipkan salam pada papamu," ucap Zara dari atas kapal, melihat Katherine hanyut dalam pusaran air laut.
Senyum lebar terlukis di wajahnya seketika, sangat lebar, seolah-olah puas dengan kematian anak tirinya itu.
Tak berselang lama, kapal yang ditumpangi Zara, Lea dan Karl mulai menjauh. Hujan turun pun dengan sangat lebat. Angin juga bergemuruh di sekitar, pun bersamaan kilatan petir terdengar menggelegar.
Jedar!
Di tengah lautan ombak bergulung-gulung dan berkumpul menjadi satu. Menghantam tubuh Katherine, yang saat ini tengah berusaha menyelamatkan diri.
Dengan sisa-sisa tenaga Katherine mengayunkan kaki. Namun, usahanya sia-sia. Sebab energinya sudah terkuras dan membuat napasnya mulai tersendat-sendat sekarang, karena air masuk dengan cepat memenuhi seluruh paru-parunya.
Katherine sangat tersiksa, mencoba berenang. Akan tetapi, kakinya mendadak kaku.
'Papa, Mama ....' Dalam keadaan sekarat Katherine memeluk tubuh anaknya erat-erat. Hingga pada akhirnya kakinya berhenti bergerak dan tubuhnya masuk ke dalam lautan lepas.
*
*
*
"Hei, bangun Nona Brown!"
Katherine melenguh saat seseorang menepuk kuat kedua pipinya saat ini. Matanya masih menutup sempurna. Samar-samar gendang telinganya dapat mendengar suara debur ombak di sekitar.
"Katherine!" panggil seseorang.
'Apa aku berada di surga sekarang?' Katherine bermonolog di dalam hati saat mendengar suara Wiliam, siapa lagi kalau bukan papanya yang sudah berpulang seminggu yang lalu.
"Katherine, Nak! Ya ampun Pangeran, maaf putriku membuat Pangeran basah kuyup."
Kali ini, dahi Katherine berkerut amat kuat. Apa dia tidak salah mendengar barusan. Perkataan William sama persis dengan kejadian setahun lalu, di mana dia terjatuh dari atas kapal sebelum pernikahannya dan Karl berlangsung, apa benar dia berada di surga sekarang.
Tak mau menerka-nerka, Katherine terpaksa membuka mata. Cahaya mentari langsung masuk ke pupil mata dan membuat pandangannya silau.
Sepasang manik abu-abu itu mengerjap-erjap sesaat. Dalam sepersekian detik, mata Katherine membola kala melihat sosok tak asing di hadapannya.
"Pangeran Frederick," kata Katherine pelan.