Misi terakhir
"Quenza, kita dapat data dari kamera pengintai. Viktor baru saja masuk ke gedung. Dia lebih dekat dari yang kita perkirakan." Suara salah satu anggota tim terdengar melalui earpiece.
"Baik, kita harus buka brankas itu sekarang!" perintah Quenza, sambil bergerak menuju dinding dengan gesit.
Saat dia mulai meretas sistem brankas, suara langkah kaki berat terdengar di lorong. Quenza berhenti sejenak, merasakan udara yang tiba-tiba menjadi lebih tegang. Sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan dia tahu itu.
“Cepat! Selesaikan ini!” desisnya pada timnya, sementara tangannya terus bekerja dengan cepat, mencoba mengabaikan ketakutan yang mulai merayap.
Namun, sebelum mereka bisa mendapatkan akses ke dalam brankas, pintu ruangan terbuka lebar, dan Viktor berdiri di ambang pintu, tersenyum dingin. Mata penuh kekejaman itu menatap langsung ke arah Quenza.
“Kukira kau bisa mengelabui kami? Selamat datang di akhir permainanmu, Letnan.”
Tanpa berpikir panjang, Quenza meraih pistol di balik jaketnya, bersiap untuk bertarung sampai titik darah penghabisan.
Suara tembakan menggelegar, menghantam dinding dan menembus udara di sekitar Quenza. "Bergerak!" serunya, suaranya tegas dan penuh kontrol meski keadaan di luar kendali. Rekannya di sampingnya jatuh dengan teriakan pendek, darah memercik ke pakaian Quenza, tapi dia tak goyah. Dia tak bisa goyah. Misinya terlalu penting untuk gagal.
Satu peluru menyasar dekat bahunya, mengoyak bagian kecil jaketnya, tapi Quenza hanya menyipitkan mata dan terus berjuang, menyelinap dari balik satu puing ke puing lainnya, mencari perlindungan. Tangannya masih kokoh menggenggam pistol. "Kita hampir sampai!" Quenza berteriak ke radio timnya, matanya menatap lurus ke depan, penuh tekad. Namun, suara tanggapan yang diharapkan tidak pernah datang. Hanya kesunyian yang menjawab- rekannya sudah tewas, satu demi satu.
Napasnya mulai pendek, tapi bukan karena takut. Bukan, Letnan Quenza tidak kenal rasa takut. Dia tahu ini misi bunuh diri sejak awal, tapi keadilan untuk pembunuhan Perdana Menteri lebih penting daripada nyawanya. Dia akan membawa kejahatan Black Mamba ke permukaan, meskipun harus membayarnya dengan hidupnya sendiri.
"Letnan, mereka menyergap dari belakang!" seru salah satu anggotanya di radio, tetapi terlambat. Quenza hanya bisa menyaksikan melalui celah sempit ketika timnya diserang dengan brutal. Suara jeritan dan tembakan semakin jelas, lalu-diam.
Mata Quenza berkaca-kaca, tapi bukan karena putus asa. "Tidak ... ini. belum selesai, desisnya, mengumpulkan sisa kekuatannya dan berdiri. Dia melangkah keluar dari perlindungan, pistol siap di tangan. Dia tidak akan lari. Dia bukan pengecut.
Saat itulah Viktor, pemimpin Black Mamba, muncul di balik asap, wajahnya penuh kemenangan seperti binatang yang baru saja menangkap mangsa. "Aku sudah menunggumu, Letnan." Suaranya rendah dan menakutkan, tapi Quenza tidak gentar.
"Viktor." Quenza menyapa dingin, matanya tak pernah lepas dari sosok pria itu. "Kau pikir ini berakhir hanya karena kau menyergap kami? Aku akan membawamu jatuh bersamaku, dan kau tahu itu."
Viktor tertawa, sebuah tawa yang penuh ejekan. "Kau terlalu percaya diri untuk seseorang yang terjebak di sarang. Lihat sekelilingmu, Letnan. Tak ada yang tersisa dari tim mu. Ini hanya soal waktu sebelum kau jatuh juga."
Quenza tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun. "Aku tak butuh tim untuk menghabisimu. Cukup aku saja."
Viktor mengerutkan kening, tangannya dengan tenang menarik pistol dari balik jaketnya. "Sayangnya, kamu tidak akan punya kesempatan untuk itu. Kau tahu, kau terlalu bagus untuk dibunuh dengan cepat. Aku akan menikmati ini."
Quenza berlari maju, menembak tanpa ragu, melepaskan beberapa tembakan ke arah Viktor. Beberapa anak buah Viktor tersungkur, tapi Viktor sendiri gesit menghindar.
Quenza tahu dia harus mendekat. Pertarungan jarak dekat adalah spesialisasinya. Namun, saat dia mendekat, Viktor berhasil menendang senjatanya keluar dari tangan Quenza. Dengan cepat, Viktor menyerangnya, menjatuhkan Quenza ke tanah dengan satu pukulan keras. Darah menetes dari sudut bibirnya, tetapi mata Quenza tetap terbakar amarah. "Kau pikir bisa menghentikanku begitu saja?!" geram Quenza, menendang balik dengan lutut, membuat Viktor terhuyung mundur.
Quenza bangkit dengan gerakan cepat, mengabaikan rasa sakit di seluruh tubuhnya. "Aku takkan jatuh semudah itu," katanya sambil melangkah maju, menatap Viktor tajam.
Tapi Viktor sudah menyiapkan langkah terakhirnya. Dengan satu gerakan cepat, dia mengeluarkan pisau dari ikat pinggangnya dan menikam perut Quenza. Rasa sakit itu tak terlukiskan, tapi Quenza hanya menggertakkan giginya, menahan teriakannya. "Kau kalah," bisik Viktor, suaranya penuh kebencian, menekan pisau itu lebih dalam.
Quenza terhuyung, tangannya mencoba menahan darah yang mengalir dari lukanya. Tapi bukan rasa sakit fisik yang menghantamnya saat itu melainkan bayangan putranya, Kelvin, dan suaminya, Kenzo. Mereka menari di pikirannya, wajah mereka tersenyum, memanggilnya pulang. Dia merasakan rasa bersalah yang mendalam. "Maafkan aku," desah Quenza, tapi ini bukan permintaan maaf kepada Viktor. Ini untuk keluarga yang ditinggalkan. Untuk janji-janji yang tak bisa ditepati. Meski tubuhnya hampir mati rasa.
Quenza menatap Viktor sekali lagi. "Kau mungkin bisa menghabisiku, Viktor... tapi aku akan kembali untuk menghancurkanmu. Kau tidak akan pernah tenang."
Viktor tertawa lagi, menarik pisau itu keluar, membiarkan darah mengalir deras dari tubuh Quenza. "Oh, aku pastikan kau tidak akan kembali, Letnan."
Saat dunia mulai menggelap, Quenza tersenyum tipis, meski rasa sakit terus mendera. Dia sudah siap menghadapi akhir ini, tetapi sesuatu di dalam dirinya tahu, ini belum benar-benar akhir. Saat nafas terakhirnya keluar dari bibirnya.
"Kelvin … Renzo ...."
Saat tubuhnya tak lagi merespons, nafasnya terhenti, dan detak jantungnya melemah, Quenza merasa seolah-olah waktunya di dunia sudah habis. Namun, alih-alih rasa damai atau kebebasan yang diharapkan di akhir, sesuatu yang ganjil terjadi. Ia tidak pergi ke tempat yang seharusnya menjadi tujuannya setelah kematian. Tidak ada surga. Tidak ada neraka. Hanya kekosongan, sunyi, hampa—ruang gelap tanpa ujung. Ia terombang-ambing di antara hidup dan mati, tak tahu apa yang sedang terjadi.
"Ini... bukan mati," pikirnya, ia mulai merasakan sesuatu yang kuat, dorongan yang menarik jiwanya. Ia tidak bisa mengendalikan arah geraknya. Daya tarik itu begitu kuat, seolah ada tangan tak terlihat yang menggenggam rohnya dan menyeretnya ke tempat yang tidak ia pahami.
Di dalam kegelapan itu, ia merasa seolah-olah jiwanya tengah melintasi batas-batas yang tak bisa dipahami oleh manusia. Ada sesuatu yang menariknya, lebih kuat daripada sekadar gravitasi dunia, lebih kuat daripada kematian itu sendiri.
Kemudian, dia melihat seberkas cahaya di kejauhan, cahaya yang semakin mendekat. Cahaya itu seolah memanggil, mengundang, mengisyaratkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar akhir hidup. Cahaya itu menyilaukan, semakin mendekat, hingga akhirnya, dalam sekejap, semuanya berubah.
Splaassshhh!
Sebuah cahaya terang yang tiba-tiba muncul, menyelimuti tubuh Quenza yang tak bernyawa. Dalam hitungan detik, cahaya itu menarik jiwanya, secepat kilat membawanya menjauh dari tempat gelap dan dingin itu. Rasa sakit yang mengoyak dadanya lenyap seketika. Tidak ada darah, tidak ada tawa kejam Victor, tidak ada penderitaan.
Cahaya itu tiba-tiba berubah. Ia merasa tubuhnya dipaksa memasuki ruang yang asing, menekan, seolah-olah jiwanya dipaksa masuk ke dalam sesuatu yang bukan miliknya.
Tiba-tiba, ia membuka mata.
"Dia... hidup?" salah satu perawat berbisik, matanya membelalak tak percaya.
“Ini kuasa Tuhan....” Dokter utama, yang sebelumnya memeriksa denyut nadi yang sudah tidak ada, menatap ke arah monitor. Mesin menunjukkan tanda-tanda kehidupan—denyut yang kembali muncul, meski pelan dan lemah. Mereka semua terpaku.
Sementara tubuh pasien bergerak perlahan, kesadarannya belum sepenuhnya kembali. Nafasnya berat dan tidak teratur, matanya masih kosong, seolah-olah jiwanya belum benar-benar kembali ke tubuhnya.
Seluruh tim medis dalam ruangan itu bergerak dengan kecepatan gila, meski kebingungan dan ketegangan merayapi mereka. Dokter kembali memeriksa organ vitalnya, sementara seorang perawat segera menyiapkan alat bantu pernapasan, dan yang lain memastikan bahwa tubuh pasien tidak mengalami kerusakan lebih lanjut.
"Apa yang terjadi ...?" pikirnya dalam kebingungan. Tapi suaranya tidak bisa terdengar. Ia merasakan dorongan yang kuat untuk bangkit, meski tubuhnya terasa sangat lemah. Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapas lagi.
"Di mana aku ...?" Suaranya lemah.
Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dan kurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadi padaku?"
"Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kau istirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kau rasakan, Nyonya?"
“Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut dengan pertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaan teraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata.
"Apa kau mengingat sesuatu, nyonya? Tanya Dokter lagi untuk memastikan.
"Aku tidak tahu.," katanya, bingung.