BAB 4 Membuat Tombak
"Hmm.. saat bangun tadi, tiba-tiba aku bisa mengingat beberapa jenis tanaman herbal," jawab Li Mei berbohong. Ya, jelas saja dia berbohong. Kakeknya adalah seorang dokter pengobatan tradisional tiongkok, jadi meskipun dia dulu hanyalah seorang pengusaha, tapi dia mengerti tanaman herbal karena sudah berkutat dengan mereka semenjak kecil.
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya Bai Changyi menyetujui permintaan Li Mei.
"Bahan apa yang kita punya untuk makan malam?" tanya Li Mei.
"Ah, itu.." Bai Changyi terlihat malu ketika mendengar pertanyaan Li Mei.
"Maaf, aku tidak pergi berburu selama beberapa hari, jadi.."
"Apakah kita memiliki kebun?" tanya Li Mei.
"Ya, kita memiliki sepetak kecil kebun di halaman belakang," jawab Bai Changyi. "Tapi hanya ada kubis dan lobak di sana."
"Apa ada sungai di dekat sini?" tanya Li Mei lagi.
"Ada, tapi cuaca terlalu dingin untuk pergi ke sana," jawab Bai Changyi.
"Tidak apa-apa, kita pergi sebentar saja," jawab Li Mei.
"Bisa bawakan aku kayu yang panjang dan pisau?"
"Ya, tunggu sebentar," meskipun bingung dengan apa yang ingin dilakukan istrinya, dia tetap menuruti permintaannya dan pergi ke belakang rumah. Tidak lama kemudian, dia sudah kembali dengan kayu yang panjang dan sebilah pisau.
Li Mei menerima kayu dan pisau itu, lalu ia hendak meruncingkan salah satu ujungnya ketika Bai Changyi tiba-tiba menghentikan gerakannya.
"Biar aku saja," kata Bai Changyi, "hanya meruncingkannya bukan?"
"Ya, terima kasih," jawab Li Mei seraya tersenyum tulus.
Melihat senyuman di bibir Li Mei, Bai Changyi tiba-tiba bersumpah di dalam hatinya, dia akan melakukan apa saja demi bisa melihat senyum bahagia Li Mei setiap hari. Beberapa saat kemudian, kayu runcing yang diinginkan Li Mei sudah jadi.
"Apa kamu hendak menombak ikan dengan ini?" tebak Bai Changyi.
"Suamiku memang pintar!" puji Li Mei.
Wajah Bai Changyi kembali merona ketika mendengar pujian dari Li Mei. Dia sedikit menunduk untuk menghindari tatapan Li Mei.
"Tunggu sebentar, aku akan membuat satu lagi untukku," kata Bai Changyi seraya berjalan keluar kamar.
Setelah beberapa saat, dia terlihat kembali dengan dua tombak kayu di tangannya.
"Ayo, lebih baik kita pergi sekarang, aku takut kita akan pulang terlalu malam nanti," ajak Bai Changyi.
Mereka berdua berjalan menuju belakang rumah. Dengan melalui halaman belakang rumah mereka, mereka dapat menemukan jalan setapak menuju ke gunung dan juga sungai. Jalan ini bukan jalan utama, jadi jarang ada yang melaluinya, orang-orang di desa mereka lebih suka melalui jalan utama yang lebih besar. Meskipun begitu, mereka juga beberapa kali berpapasan dengan beberapa orang desa mereka.
Mereka semua terlihat sangat terkejut ketika melihat sosok Li Mei yang berjalan dan mengobrol ringan dengan Bai Changyi. Sejak kapan mereka berdua jadi begitu mesra? Bagaimanapun, sudah bukan rahasia umum kalau Li Mei sangat membenci Bai Changyi dan ingin bercerai dengannya sampai hampir bunuh diri. Jadi pemandangan ini tentu saja mengejutkannya mereka.
Beberapa bahkan berhenti untuk sekedar berbasa-basi sejenak menanyakan kondisi Li Mei. Setelah itu mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka. Tidak lama kemudian mereka melihat sesosok wanita tua yang berjalan sendirian menuju ke desa sambil membawa kayu bakar di punggungnya.
"Itu adalah Nenek Yu," jelas Bai Changyi seraya berbisik.
"Dia hidup sebatang kara. Dulu, suaminya meninggal saat berburu. Tiga tahun yang lalu, anak laki-laki satu-satunya juga mengalami nasib yang sama," desah Bai Changyi penuh sesal.
"Tapi dia merupakan satu-satunya warga desa yang sangat tulus kepada kita. Rumahnya tidak jauh dari rumah kita dan sering datang berkunjung dan memberi telur ayam untuk kita."
Bai Changyi menoleh kepada Li Mei dan menatapnya lembut, "Dia hanya punya dua ekor ayam, tapi hampir setiap hari memberikan telur ayamnya kepada kita. Dulu kamu selalu ketus dan sering mengusirnya, tapi aku harap sekarang kamu bisa bersikap lebih baik kepadanya. Dia selalu menganggap kita sebagai keluarganya."
Li Mei merasa hatinya sangat sakit saat mendengar perkataan Bai Changyi.
Li Mei!
Dia benar-benar merasa sangat kesal dengan pemilik asli tubuh ini karena hanya selalu menuruti emosinya sendiri.
Nenek Yu tiba-tiba berlari mendekat saat melihat Li Mei.
"Li Mei, Li Mei, kamu sudah sadar?" tanyanya cemas. Dia melihat Li Mei dari atas hingga ke bawah dengan tatapan khawatir.
"Aih, kenapa kamu sudah keluar rumah?" tanyanya cemas. Dia lalu menoleh dan menatap Bai Changyi dengan tatapan menyalahkan, "Changyi, kenapa kamu membawa Li Mei keluar? Biarkanlah dia beristirahat lebih banyak."
"Nenek Yu, jangan salahkan Bai Changyi, aku yang memaksanya untuk membawaku ke sungai," jelas Li Mei seraya tersenyum lembut kepada Nenek Yu.
Nenek Yu tertegun saat mendengar Li Mei membela Bai Changyi, dan bahkan saat ini sedang tersenyum kepadanya. Apa dia sedang bermimpi?
"Nenek Yu, biarkan suamiku membawakan kayu bakarmu ke rumah," kata Li Mei lagi.
"Ah, tidak, tidak!" Nenek Yu menolak seraya mendorong Bai Changyi menjauh. "Aku masih kuat, masih bisa sendiri. Kalian mau ke sungai? Cepatlah, takutnya keburu gelap."
"Ah.. tapi.. sungai…" Nenek Yu melihat Bai Changyi dengan ragu.
"Tenang saja Nek, aku akan membawanya ke daerah yang dangkal," kata Bai Changyi. Dia tahu kekhawatiran apa yang sedang dipikirkan Nenek Yu.
"Baiklah, baiklah. Kalian memang keras kepala. Berangkatlah sekarang, sebelum hari keburu gelap. Aku akan pulang sekarang," katanya seraya berlalu. Setelah melangkah cukup jauh dia menoleh dan menatap sepasang suami istri yang berjalan semakin menjauh itu. Hatinya dipenuhi dengan perasaan bahagia. Ternyata masih ada hal baik yang terjadi setelah kejadian buruk itu.
Dari percakapannya dengan Bai Changyi, Li Mei dapat menyimpulkan beberapa hal.
Pertama, penduduk desa rata-rata mencari nafkah sebagai petani dan juga pemburu. Sangat jarang warga desa mereka pergi bekerja ke kota.
Kedua, Bai Changyi adalah anak semata wayang kedua orang tuanya. Ayahnya meninggal setelah berburu ketika dia berusia sepuluh tahun. Ayahnya diserang dua ekor harimau dan terluka saat mempertahankan diri. Lukanya sangat parah dan meninggal tidak lama setelah dia dibawa ke rumah.
Ibunya meninggal karena sakit saat ketika dia berusia delapan tahun. Semenjak itu, dia hidup sendiri di dalam rumah ini sampai akhirnya bertemu dengan Li Mei. Saat ini dia sudah berusia sembilan belas tahun.
"Sayang sekali kita tidak tahu usiamu," desah Bai Changyi.
"Tujuh belas tahun," jawab Li Mei santai.
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Bai Changyi terkejut.
"Entahlah, hanya tiba-tiba tahu saja," jawab Li Mei lagi.
Ketiga, keluarga Bai Changyi hanya tersisa pamannya yang bernama Bai Chengxi. Dia tidak ikut direkrut kerajaan sebagai prajurit untuk berperang karena tubuhnya lemah. Paman Bai menikah dengan Bibi Xia Jianli dan memiliki dua orang anak laki-laki bernama Bai Mulin yang baru saja berusia dua belas tahun, dan juga Bai Fengang yang baru berusia enam tahun. Mereka ikut merawat Bai Changyi semenjak dia kecil. Namun sayang, mereka tidak begitu menyukai Li Mei karena sikapnya yang kasar dan selalu menyakiti Bai Changyi selama ini.
"Sepertinya aku memiliki hutang maaf kepada banyak orang," desah Li Mei.
"Tenanglah, selama mereka melihatmu dan menyadari bahwa kamu ternyata seorang wanita yang sangat baik, semua akan ikut baik-baik saja seiring berjalannya waktu," kata Bai Changyi mencoba menenangkan istrinya.