Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Lihat penampilanmu!

9

Pagi-pagi sekali Aira sudah bersiap. Selepas salat Subuh, dan menyusui Alister, wanita itu menyempatkan diri ke kamar Raka, yang juga tengah disusui dengan ASI yang ia perah semalam. 

Miris memang, bayi orang lain disusui langsung dengan dipeluk penuh kasih sayang, sedangkan bayi sendiri harus disusui dengan cara diperah. Bahkan bila masih kurang, terpaksa dibuatkan susu formula. Namun, lagi-lagi Aira meyakinkan dirinya kalau semua demi kebaikan Raka juga. 

"Mbak. Biar saya susui langsung Raka, sebentar. Mumpung Alister sudah kenyang dan tidur lagi." Aira meraih tubuh mungil Raka yang berbaring di box-nya, kemudian disusui sambil duduk. 

"Raka, Sayang. Anak ganteng Mama. Gimana tidurmu, Nak? Raka nggak rewel, kan?" Aira mengajak ngobrol Raka yang juga menatap dirinya sambil menyusu. 

Melihat sepasang bola mata bening milik sang anak, rasa bersalah kembali menyeruak. Apalagi membayangkan tadi malam Raka tidur tanpa pelukan dirinya seperti biasa. 

Dada yang tiba-tiba sesak mendorong air memenuhi pelupuk mata, dan berebut ingin keluar. Namun, sekuat tenaga Aira tahan agar tidak jatuh. Wanita itu menggigit bibir dengan kuat, agar tak ada tangis yang pecah. Ia sudah berjanji akan menjadi wanita kuat demi Raka. 

Toh, kalau mereka berada di luar sana, belum tentu hidup mereka lebih baik. Siapa tahu mereka berdua tengah menggigil kedinginan di bawah jembatan, atau di emperan toko orang lain dengan perut terus berbunyi minta diisi. Kalau sudah begitu, aira susunya pun pasti kering karena tidak ada nutrisi yang masuk. Pada akhirnya, Raka juga akan kelaparan. 

Aira segera menyeka sudut mata dengan punggung tangan, setelah Raka kembali tertidur. Ia menyerahkan tubuh bayi itu ke pangkuan sang suster. 

"Titip Raka ya, Mbak. Air mandinya jangan terlalu panas, suam kuku saja. Jangan dipakaikan bedak juga setelah mandi, apalagi bedaknya ditepuk-tepuk dulu, tidak baik untuk pernapasannya." Lagi, Aira menitip pesan untuk pengasuh sang anak. Pedih memang mempercayakan anak sendiri kepada orang lain, sedangkan ia sibuk mengurus anak orang lain. 

"Iya, Bu. Jangan khawatir, Raka anteng kok, sama saya. Ini sudah tugas saya. Ibu fokus saja sama Baby Alister. Biar Tuan tidak marah." Wanita muda bernama Dita tersenyum, kemudian membaringkan Raka di box-nya. 

"Jangan panggil saya Ibu, Mbak. Saya sama seperti Mbak. Pekerja di rumah ini. Mungkin umur kita juga tidak jauh. Panggil Aira saja," ucap Aira lagi dengan senyum dan tangan menepuk pundak Dita. 

"Sekali lagi, titip Raka, ya. Setiap ada kesempatan, saya akan ikut mengurusnya sendiri." Aira keluar kamar Raka setelah mengatakan itu. 

Tujuannya sekarang adalah ke kamar pribadinya. Letaknya persis di depan kamar bayi Alister. Hanya terhalang lorong. 

Aira membersihkan diri, memakai baju seadanya yang ia punya. Padahal wanita itu sangat tahu di dalam lemari ada banyak baju-baju bagus yang sudah disediakan untuknya. Rasanya lebih nyaman memakai baju sendiri. 

Dengan wajah polosan seperti kebiasaannya, lalu rambut yang dijepit ke belakang dengan asal, wanita itu menyambar berkas di atas meja, lalu menuju ruang kerja Alexander di lantai bawah. Sementara kamar tidur Alister, Raka, juga dirinya ada di lantai dua. 

Kamar Alexander?

Entahlah. Aira tidak tahu dan tidak mau tahu. Itu sama sekali bukan urusannya. 

Masih sambil mengingat-ngingat jalan menuju ruang kerja sang boss, Aira melangkah pasti. Rumah itu memang begitu luas. Entah ada berapa orang penghuni di sana. Namun, yang ia tahu boss-nya hanya Alexander si wajah es, dan bayinya, Alister. Tidak ada majikan lain. Orang-orang yang berada di sana kebanyakan pekerja, sama seperti dirinya. Pria yang dipanggil Jo, Hasna, dan masih banyak pelayan lainnya. 

Kadang Aira heran. Kenapa satu boss dengan satu bayi memiliki begitu banyak pekerja? Apa saja yang mereka lakukan? 

Ah, dasar orang kaya. Kenapa harus buang-buang uang membayar begitu banyak pelayan hanya untuk melayani satu boss dan satu bayi? 

Aira sampai di depan pintu bercat putih yang kemarin ia masuki. Mudah-mudahan dirinya tidak keliru ruangan. Karena semua pintu di sana terlihat serupa. 

Sebelum mengetuk pintu, wanita itu menarik napas sepanjang mungkin. Mengusir rasa gugup yang tiba-tiba hadir. 

"Masuk!" perintah suara bariton dari dalam. 

Aira segera membuka pintu dengan hati-hati, hingga benda persegi panjang itu terkuak, dan menampilkan wajah dingin tetapi terlihat segar di depan sana. 

"Maaf, Tuan. Saya ingin menyerahkan ini," ucap Aira di ambang pintu seraya menunjukkan kertas di tangannya. 

"Apa kau pikir kertas itu bisa berjalan sendiri?" tanya Alexander dengan gaya menyebalkan seperti biasa di mata Aira. 

Wanita itu masuk, kemudian menutup pintu, dan mulai berjalan mendekat ke meja Alexander di mana si empunya sibuk menatap layar komputer. 

Tinggal bilang masuk saja, apa susahnya? Pikir Aira. 

"Ini Tuan, saya sudah tanda tangan," ujar Aira lagi menaruh kertas kontrak di atas meja. 

Alexander menghentikan aktivitasnya. Melepaskan mouse di tangannya, kemudian mendongak. Menatap wajah Aira yang masih berdiri di depan mejanya. 

Kening lelaki berwajah dingin itu sedikit berkerut. Matanya memicing memperhatikan penampilan Aira. 

"Apa kau belum mandi?" tanyanya dengan wajah tidak suka. 

Aira terhenyak mendengar pertanyaan aneh sang boss. Kenapa Alexander menanyakan hal seperti itu? Apa mandi pun ia harus melapor? 

"Sudah, Tuan," jawab Aira singkat. Rasanya tak perlu menanyakan alasan Alexander bertanya aneh. 

"Sudah?" Kening itu semakin berkerut. Matanya masih memperhatikan penampilan Aira. Membuat wanita itu salah tingkah. 

Apa mataku masih ada beleknya? Batin Aira. 

Atau masih ada iler di pipiku?

Tangan wanita itu refleks meraba wajahnya. 

"Apa cermin di kamarmu kurang besar?" tanya Alex lagi dengan salah satu ujung bibirnya terangkat, sinis. "Lihat penampilanmu!"

Kening Aira ikut berkerut. Kemudian memperhatikan dirinya sendiri. Sweater yang tidak begitu tebal warna merah muda, celana kulot warna krem, juga jepit rambut harga lima ribu, menempel di tubuhnya. 

Apa ada yang salah? Sungguh Aira tidak mengerti. 

"Kenapa dengan penampilan saya, Tuan?" Akhirnya Aira beranikan bertanya. 

"Bukankah aku sudah bilang tidak suka melihatmu berkeliaran di rumahku dengan baju lusuh?" Suara Alexander meninggi. 

"Apa?"

Aira menatap tak percaya sang boss. 

Baju lusuh? Kembali Aira memperhatikan dirinya sendiri. 

Padahal ia memakai pakaian terbaik yang dimilikinya. Wanita itu hanya memakai sweater dan celana itu bila bepergian. Namun, ternyata bagi Alexander ….

"Kenapa wajahmu juga terlihat sangat kusam? Padahal aku sudah menyuruh pegawai khusus untuk menyiapkan pakaian dan mendandanimu?!"

Aira menggeleng heran. Apa seribet ini bekerja di rumah orang kaya? Bahkan penampilannya selalu dipermasalahkan sejak awal. Bukankah ia bekerja hanya mengurusi bayi? 

"Apa sebagai ibu susu, saya harus selalu ber-make up tebal dan memakai pakaian bagus, Tuan?" tanya Aira lemah. "Bukankah pekerjaan saya hanya berinteraksi dengan Tuan Muda Alister?"

"Setidaknya, agar dirimu tidak malu, Aira!"

"Saya tidak pernah malu dengan diri saya, Tuan. Saya merasa tidak memalukan. Saya bangga dengan diri sendiri. Dengan kealamian dan ke-apaadaan ini saya menjadi diri sendiri tanpa harus bersandiwara di depan orang lain. Kalau saya harus berdandan setiap saat di rumah ini, kenapa tidak mencantumkan poin itu di perjanjian kontrak?" Aira lepas kontrol. Ia bicara panjang dengan suara tinggi di depan Alexander yang terperangah. Lelaki itu sampai berdiri dari duduknya. Wajahnya memerah. 

Alexander menatap nyalang wanita yang baru saja meninggikan suara di hadapannya. Namun, Aira tidak gentar. Rasanya sudah terlanjur dirinya kesal. Bahkan bila lelaki arogan, aneh, urat-urat wajahnya kaku, dan entah julukan apa lagi yang yang pantas disematkan padanya, akan mengusirnya saat ini juga, ia sudah pasrah. 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel