Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Promised

Chapter 6

Promised

Beck beberapa kali memukul kemudi mobilnya dan mencengkeram dengan kuat. Pikirannya kacau meninggalkan Vanilla bersama Nick, perasaannya tidak ikhlas, tetapi harus dilakukan. Sahabatnya itu pasti akan mengatainya tidak konsisten jika dirinya mengacaukan rencana Nick yang telah disusun dengan matang demi menjauhkan Vanilla darinya dan Sophie.

Saat Nick memasuki restoran, Beck segara menjauh dan memutuskan untuk pergi ke tempat tinggal Sophie. Semula niatnya ingin menikmati tubuh Sophie dan memuaskan dirinya. Tetapi, sayangnya bercinta dengan Sophie malam itu pikirannya sama sekali tidak bersama Sophie. Ia terus mengkhawatirkan Vanilla yang sedang bersama Nick.

Setelah menuntaskan gairahnya, Beck yang biasanya bergairah kembali setelah jeda beberapa saat. Ia sama sekali tidak menginginkan Sophie lagi, di otaknya hanya ada kekhawatiran tentang Vanilla yang mungkin saja masih bersama Nick dan tanpa mengatakan apa pun kepada Sophie, Beck mengenakan pakaiannya lalu bergegas pergi meninggalkan tempat tinggal kekasihnya.

Beck mengemudikan mobilnya menuju hotel tempat diadakan reuni, sayangnya acara telah selesai, tidak seorang pun berada di sana. Ia memeriksa ponselnya, tidak ada panggilan dari Vanilla padahal tadi telah berpesan kepada gadis itu untuk kembali bersamanya. Memang dirinya meninggalkan pesta tetapi bukankah Vanilla bisa mencarinya sebelum kembali? atau setidaknya meninggalkan pesan sebelum kembali ke rumahnya diantar sopirnya.

Di perjalanan menuju rumahnya ia beberapa kali memanggil Nick melalaui ponselnya. Tetapi, sahabatnya itu tidak menjawab panggilannya. Beck juga memanggil Vanilla, sayangnya Vanilla juga tidak menjawab panggilannya.

Pikiran Beck sangat kacau, ia ingin sekali mendatangi rumah Vanilla untuk memastikan keberadaan gadis itu. Ia benar-benar panik, khawatir jika Vanilla malam ini di seret oleh Nick ke atas ranjangnya. Beck benar-benar kacau, sayangnya ia tidak tahu kode keamanan tempat tinggal keluarga West. Tidak seperti Vanilla yang bebas keluar masuk ke dalam tempat tinggalnya, ia tidak pernah menginjakkan kakinya ke tempat tinggal Vanilla.

Empat tahun yang lalu ketika orang tuanya melamar Vanilla dan keesokan paginya Beck mendatangi kamar Vanilla untuk bernegosiasi dengan gadis itu. Itu adalah kali terakhir ia menginjakkan kakinya di rumah Vanilla.

"Kenapa kau menerima perjodohan ini?" Beck sangat emosi. Ia menekan suaranya agar tidak terdengar ke luar kamar Vanilla.

"Aku bisa apa?" Vanilla yang pagi itu masih berada di atas tempat tidur mengucek matanya beberapa kali sambil mengubah posisinya menjadi duduk.

"Kita tidak saling mencintai!" Beck menaikkan nada suaranya meski jelas suaranya tertahan.

"I see," gumam Vanilla.

"Vanilla, ayo batalkan pertunangan sinting ini!" Beck benar-benar tidak ingin bertunangan dengan Vanilla, apa lagi menikahi Vanilla. Itu tidak ada dalam rencana hidupnya. Tidak akan pernah ada.

"Kau saja yang mengatakannya pada ibumu," ujar Vanilla dengan nada malas.

"Kau pikir mamaku akan mendengarkanku?" Beck mengatakan yang sebenarnya, ibunya akan murka jika ia menggagalkan perjodohan karena tadi malam ia telah menyetujuinya tanpa paksaan.

"Kenapa?"

"Mama menginginkanmu menjadi putrinya. Oh, astaga! Kenapa kau tidak diadopsi saja oleh keluargaku?" geram Beck. Ia tidak mengerti mengapa Vanilla begitu diinginkan oleh kedua orang tuanya.

"Jika kau tidak berani bicara, lebih baik jangan melawan," ucap Vanilla sambil kembali merebahkan tubuhnya dan menutupi kepalanya menggunakan selimut.

"Vanilla, kita tidak mungkin menikah," ujar Beck sungguh-sungguh.

Vanilla menghela napasnya yang terasa berat, apa begitu buruk dirinya dimata Beck hingga pria itu begitu keras menolak bertunangan dengan dirinya? Gadis itu menyibak selimut yang menutupi tubuh hingga kepalanya. Ia mengubah posisinya kembali menjadi duduk.

"Beck...." Vanilla menjeda ucapannya sejenak, ia mengamati wajah pria di depannya yang begitu dalam mengerutkan keningnya seolah ia sedang menahan kekesalan di dalam hatinya. "Kita tidak akan nikah dalam waktu dekat, kau tenang saja."

Beck mendudukkan bokongnya di tepi ranjang. "Vanilla, kau tahu aku memiliki Sophie," ucapnya dengan nada kesal.

"Aku tahu," ujar Vanilla malas, sejak dua tahun yang lalu Beck telah berkencan dengan si sabun itu. Semua orang juga tahu.

"Aku sangat mencintai Sophie, dia itu bidadari di kampus kami," kata Beck dengan nada bangga menceritakan Sophie dengan pendar di matanya bahkan berkilat seperti bintang.

"Iya, aku tahu. Lagi pula mulai besok aku akan tinggal ke New York. Jadi, selama aku di New York, kau masih bebas mengencani sabunmu itu," kata Vanilla dengan jengah.

"Apa? Kau mau pindah ke New York?" kali ini Beck terkejut bukan main mendengar apa yang baru saja diucapkan Vanilla.

"Ya, aku kuliah di sana."

"Kau tidak bercerita kalau kau akan melanjutkan studi ke sana? Apa maksudmu? Kau meninggalkan aku?" Amarah Beck tiba-tiba membuncah mendengar Vanilla akan melanjutkan pendidikannya tanpa memberitahu dirinya terlebih dulu. Teoatnya tanpa meminta persetujuan darinya terlebih dahulu.

"Aku harus melanjutkan pendidikanku," ucap Vanilla dengan nada begitu tenang.

"Ada banyak kampus di sini, kau juga bisa melanjutkan pendidikan di Madrid. Tidak perlu jauh-jauh ke New York!" Nada suara Beck kali ini benar-benar meninggi hingga mungkin terdengar hingga keluar kamar Vanilla.

Vanilla mengamati wajah tampan Beck, sahabatnya, tetangganya, pria paling menyebalkan yang selalu marah jika ia dekat dengan pria lain. Vanilla diam-diam mendengus karena kesal, ia telah menebak reaksi Beck akan seperti itu. Pasti akan seperti itu.

"Beck, kau menolak perjodohan kita. Tapi, kau juga tidak mengizinkan aku pergi, apa maumu?" Vanilla bertanya dengan nada serius.

"Kau pilih bertunangan denganku atau kau kuliah di New York dan pertunangan kita batal?" Beck menatap tajam mata Vanilla.

Mendapatkan tatapan tajam dari Beck, Vanilla memalingkan wajahnya. Ia hafal betul semua tingkah laku pria di depannya, pria yang ia sukai, pria yang paling dekat dengannya. Pria yang selalu memberi pilihan sulit sepanjang hidupnya sejak mereka kecil, ketika mereka tumbuh remaja, hingga sekarang.

"Jika aku memilih di sini, apa kamu akan memutuskan sabunmu itu?" Vanilla bertanya tanpa menatap wajah Beck.

Seperti yang Vanilla duga, Beck hanya diam, Beck pasti tidak bisa memilih. Vanilla tahu itu. Hingga cukup lama keheningan menyeruak di antara keduanya seolah membentangkan jarak yang sangat jauh, mereka bergelung dalam pikiran masing-masing.

"Aku tahu, kau pasti akan memilih sabunmu itu, Beck," ucap Vanilla, suaranya terdengar parau.

"Vanilla, jangan pergi, jangan tinggalkan aku, oke!" Beck tiba-tiba mendekap tubuh Vanilla. "Jangan pergi, ingat janji kita. Kau ingat janji kita, 'kan?"

Kali ini Vanilla diam, tidak bergeming.

Kita akan selalu bersama sampai kapan pun.

Itu mungkin adalah janji konyol yang diucapkan dua anak kecil yang belum memiliki logika.

"Jangan pergi, kumohon jangan pergi. Oke, aku akan putuskan Sophie." Kali ini ucapan Beck bersungguh-sungguh.

Sayangnya, Vanilla tetap pergi meninggalkannya meski ia telah menjanjikan kepada gadis itu akan memutuskan Sophie.

***

Di tempat lain Nick hanya mengenakan handuk yang melingkar rendah di pinggangnya. Pria itu melirik seorang wanita yang meringkuk di atas tempat tidur. Wanita itu tidak mengenakan busana, kulit punggungnya terekspos karena selimut hanya menutupi bagian pinggang hingga kaki. Rambut panjangnya tergerai di atas bantal. Gadis itu bernapas pelan seolah begitu damai, terlelap setelah kelelah bercinta dengannya.

Nick mengecek ponselnya, Beck memanggilnya berulang kali dan ia sengaja tidak menggubrisnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel