Bab 3 Ketegasan Nikolas
Sore itu, suara pintu dibuka terdengar dari arah koridor. Ella yang sedang duduk di sofa dekat jendela menoleh, melihat Nikolas masuk tanpa mengetuk, jas kerjanya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih yang lengannya digulung rapi.
“Bagaimana harimu?” tanyanya sambil berjalan mendekat.
Ella mengangkat bahu. “Kalau kamu tanya, ‘apa aku keluar kamar ini?’, jawabannya tidak. Sepertinya seluruh staf di rumah ini diam-diam memastikan aku tidak kemana-mana.”
Nikolas tersenyum tipis. “Bagus. Berarti mereka menjalankan tugasnya.”
Ella menghela napas, meletakkan buku yang sedari tadi ia baca. “Nikolas, kita perlu bicara. Aku nggak bisa hidup seperti ini—dikurung di rumah mewah, diperintah, dijaga ketat.”
Nikolas berdiri di hadapannya, menatap lurus ke matanya. “Ella, ini bukan penjara. Ini tempat paling aman yang bisa aku berikan. Kamu tidak paham, dunia luar bisa berbahaya, apalagi untukmu yang sedang hamil.”
“Aku paham bahayanya,” balas Ella cepat, “tapi aku juga paham bedanya perlindungan dan pengendalian.”
Nikolas menunduk sedikit, tatapannya mengeras. “Kamu menganggap ini pengendalian, aku menganggap ini memastikan kamu dan anak kita tetap hidup dan sehat. Dan itu prioritas utamaku, bukan perasaanmu.”
Ella menelan ludah, menahan emosi yang mulai menghangat di matanya. “Jadi perasaanku nggak penting sama sekali?”
“Hanya jika perasaan itu membahayakanmu,” jawabnya singkat, lalu menarik kursi dan duduk di depannya. “Aku tidak akan mundur dari keputusanku, Ella. Tapi aku bisa berjanji satu hal—selama kamu di sini, kamu akan mendapatkan semua yang kamu butuhkan. Bahkan hal-hal yang belum terpikirkan olehmu.”
Keheningan meregang di antara mereka. Di luar, langit benar-benar gelap, dan lampu gantung di langit-langit kamar mulai menyala, memantulkan cahaya hangat di wajah mereka.
Namun bagi Ella, hangat itu terasa seperti selimut yang menutupi rasa dingin di dalam hatinya.
Nikolas menggeser kursinya sedikit lebih dekat, menyandarkan satu siku di lutut sambil menatap Ella tanpa berkedip. “Mulai besok, aku akan menjadwalkan semua aktivitasmu. Dokter pribadi datang setiap minggu. Ahli gizi akan mengatur menu makanmu. Dan kamu akan punya pendamping setiap kali keluar dari mansion.”
Ella memandangnya tak percaya. “Pendamping? Maksudnya pengawal?”
“Kalau kamu mau menyebutnya begitu, silakan,” jawab Nikolas tenang. “Aku tidak mau ada satu pun risiko. Tidak sekarang.”
Ella menyandarkan tubuh ke sofa, mencoba menjauh sejauh yang ia bisa. “Kamu sadar kan, ini kedengarannya seperti aku akan kehilangan semua kebebasan?”
“Kamu tidak kehilangan apa pun, Ella,” ucap Nikolas, kali ini suaranya terdengar lebih lembut. “Kamu hanya… menyerahkan kendali padaku. Untuk sementara.”
Ella menggeleng pelan. “Kendali? Nikolas, aku bahkan nggak diminta persetujuan.”
Nikolas menghela napas, lalu berdiri. Ia melangkah mendekat sampai berdiri di depan sofa, memandang ke bawah, membuat Ella merasa terkepung. “Estella… kadang, keputusan yang benar bukan keputusan yang disukai. Dan aku tidak keberatan menjadi orang jahat di matamu, selama itu membuatmu dan anak kita aman.”
Kata-katanya bergema di kepala Ella. Ada nada pasti, tanpa keraguan sedikit pun.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu memecah ketegangan. Diana masuk dengan kepala sedikit menunduk. “Maaf mengganggu, Tuan. Makan malam sudah siap.”
Nikolas menoleh sebentar. “Kami akan turun.”
Begitu Diana pergi, Nikolas kembali menatap Ella. “Kita makan malam bersama. Aku ingin memastikan kamu makan dengan baik.”
Ella berdiri perlahan, menatapnya sejenak sebelum berjalan ke pintu. Tapi di hatinya, ia sadar—setiap langkah di mansion ini, entah disadari atau tidak, selalu berada di bawah bayang-bayang Nikolas.
Mereka berjalan menyusuri koridor panjang menuju ruang makan utama. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya ke dinding marmer, membuat ruangan itu terlihat seperti istana.
Ella tertegun sesaat ketika melihat meja makan yang begitu besar, dipenuhi lilin, piring porselen putih, dan hidangan yang tersusun rapi. Di sisi lain meja, beberapa pelayan berdiri siap melayani.
Nikolas menarik kursi untuknya. “Duduk.”
Ella menatap kursi itu sebentar sebelum akhirnya duduk, merasa seperti tamu penting dalam jamuan resmi—padahal ia hanya ingin makan malam sederhana.
Pelayan menuangkan sup hangat ke mangkuk Ella. “Mulailah,” ujar Nikolas, duduk di hadapannya.
Ella mengambil sendok, mencicipi sedikit. Rasanya enak, lembut, dan kaya rempah. “Kamu selalu makan seperti ini?” tanyanya, mencoba memecah keheningan.
“Tidak. Biasanya lebih sederhana. Tapi sejak kamu ada di sini, semuanya akan berbeda,” jawab Nikolas santai.
“Berbeda dalam arti… semua orang akan mengawasiku?”
Nikolas mengangkat alis. “Berbeda dalam arti semua orang akan memastikan kamu baik-baik saja.”
Ella menunduk, menyendok sup lagi. Ia merasa semua mata pelayan di ruangan itu mengawasinya, meski mereka berpura-pura sibuk.
Setelah beberapa suap, Nikolas meletakkan garpunya dan menatap Ella. “Besok pagi, kita akan bertemu pengacaraku. Aku ingin semua urusan legal selesai sebelum… terlalu banyak yang membicarakan kita.”
Ella berhenti mengunyah. “Pengacara? Maksudnya—”
“Kita akan menikah, Ella,” potong Nikolas, suaranya tegas. “Aku tidak mau anak ini lahir tanpa nama keluarga yang sah.”
Jantung Ella berdetak kencang. Ucapan itu bukan tawaran, tapi keputusan yang sudah bulat.
Di meja makan megah itu, di bawah cahaya lilin, Ella sadar—hidupnya kini bukan lagi miliknya sepenuhnya.
Udara di ruang makan terasa berat setelah ucapan Nikolas. Ella meletakkan sendoknya perlahan, menatap pria di depannya dengan mata yang setengah tak percaya, setengah marah.
“Nikolas, aku nggak siap,” ucapnya pelan, tapi nadanya tegas. “Aku bahkan belum memutuskan mau atau nggak menikah sama kamu.”
Nikolas tidak mengalihkan tatapannya. “Kamu nggak perlu memutuskan. Aku sudah memutuskan untuk kita berdua.”
Ella menghela napas tajam. “Begitu aja? Semua tentang kita… atau tentang aku… selalu kamu yang tentuin?”
“Kamu pikir aku akan menyerahkan masa depan anakku pada ketidakpastian?” suaranya tetap tenang, tapi nada di baliknya keras seperti baja. “Aku nggak akan membiarkan itu terjadi.”
Keheningan singkat menyusul. Hanya suara peralatan makan yang disentuh pelayan terdengar.
Akhirnya, Ella berdiri dari kursinya. “Aku butuh udara.”
Nikolas mengangkat dagunya sedikit. “Baik. Aku ikut.”
“Aku cuma mau sendirian sebentar,” balas Ella cepat.
“Tidak.” Nikolas sudah berdiri, meraih jasnya dari sandaran kursi. “Kalau kamu keluar, aku ikut. Atau kamu tidak pergi sama sekali.”
Mereka saling tatap selama beberapa detik, sampai Ella akhirnya menyerah. Ia berjalan keluar ruang makan dengan langkah cepat, dan Nikolas mengikutinya seperti bayangan.
Di teras belakang, udara malam yang dingin menyambut. Lampu taman menyinari jalur setapak menuju air mancur di tengah halaman.
Ella berhenti, menatap pantulan cahaya di permukaan air. “Kamu nggak akan pernah ngerti rasanya kehilangan kebebasan.”
Nikolas berdiri di sampingnya, tatapannya lurus ke depan. “Mungkin. Tapi aku tahu rasanya kehilangan sesuatu yang berharga. Dan aku nggak akan biarkan itu terjadi lagi—terutama pada anak kita.”
Suara air mancur menjadi latar hening mereka. Ella tak membalas, tapi di dalam hatinya, ia tahu pertempuran ini baru saja dimulai.
