BAB 7
BAB 7
***
Bibir Mince maju satu senti, memandang Arnold yang kini sudah mengurung di dalam apartemennya. Ia mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan. Ruangan di dominasi warna putih, ia melihat foto setinggi manusia bertahta di dinding. Seakan semua tahu bahwa ini lah daerah kekuasaanya. Ia hanya bisa menelan ludah, ada perasaan takut, cemas, lelah, menjadi satu. Ia tidak tahu akan berbuat apa selain pasrah dengan keadaan.
Oh Tuhan, sungguh mengenaskan sekali hidupnya seperti ini. Ia melihat Arnold masih mencengkaram pergelangan tangan dengan erat hingga akhirnya, tangan itu terlepas. Ketika berada di ruang tv, ia melihat sofa berwarna abu-abu. Tempat itu seakan memanggilnya untuk duduk karena memang lelah luar biasa setelah adegan kejar-kejaran tadi. Mince menghela nafas ia menggigit bibir bawah menghilangkan rasa takutnya menghadapi Arnold.
Sesungguhnya ia tidak mengenal laki-laki ini dari mana asalnya saja ia tidak tahu. Mereka baru mengenal beberapa jam yang lalu, itu pun hanya sebatas nama. Ia juga fans Arnold dan tidak ada satupun untuk kepoin instagramnya.
Ia tidak membayangkan bagaimana bertahun-tahun lamanya jika ia bersama Arnold. Di Tv dan dunia aslinya Arnold sama aja, sama-sama mengerikan. Jantung Mince maraton ketika sepasang mata tajam itu menatapnya. Oh Tuhan, kenapa ia bisa mengenal laki-laki kejam ini.
Mince mencengkram tas, agar menguatkan hatinya. Ponsel yang ia miliki sudah berpindah tangan kepada Arnold padahal itu adalah jalan satu-satunya ia keluar. Habis sudah harta bendanya. Ia kini sudah terkurung bersama sekawanan singa. Ia pastikan Putri sama seperti dirinya, bedanya hanya dia bersama Farhan. Dasar, mereka benar-benar berengsek, beraninya dengan cara intimidasi. Mince mundur teratur karena tubuh Arnold semakin mendekat. Hingga akhirnya tubuh menghantam dinding, dan ia tidak bisa menjauh lagi.
Arnold tersenyum penuh arti, ia menatap iris mata bening Mince. Ia mengurung tubuh ramping itu. Ia pandangi setiap inchi wajah pucat pasi dia. Sebenarnya ia ingin tertawa, tapi ia tahan, baginya Mince begitu mengemaskan,
"Kamu takut ?,"
"Hemmm," Mince menglihkan pandangannya ke samping, jantungnya seketika berdegup hebat.
"Jangan takut, aku enggak gigit kok. Kalau pun aku gigit, ya gigit bibir kamu,"
"Apaan sih,"
"Kamu pasti capek,"
"Makanya jangan ada adegan kabur-kaburan seperti itu lagi, kamu enggak bakalan sanggup,"
Arnold melepaskan kurungannya, dan melangkah menjauhi Mince, "Aku buatkan minuman segar untuk kamu," Arnold mengedipkan mata memandang Mince.
Mince bersyukur bahwa Arnold menjauh darinya, setidaknya ia bisa bernafas lega. Ia bisa gila jika berlama-lama dengan si brengsek ini. Dia sungguh kejam, tidak membiarkan dirinya lolos begitu saja. Ia melirik ke arah pintu utama. Itu adalah jalan satu-satunya ia bisa keluar dari kandang singa ini. Tapi sepertinya percuma saja ia sudah di daerah kekuasannya.
Mince melangkah menuju sofa, karena yang ia butuhkan saat ini adalah duduk dan bersandar. Ia melihat Arnold berada di meja Pantri, ia yakin stock makanan di kulkas laki-laki itu pasti lengkap. Ya iyalah, dia kan seorang juru masak profesional. Dia bekerja di dunia kuliner cukup lama.
Kemampuan memasak dia tidak bisa di ragukan lagi. Dia pasti melakukan tugasnya dengan sepenuh hati, terhadap kecintaan di dunia makanan. Teknik memasak dan teknik plating saat penyajian membuat dia terlihat sempurna. Kaum hawa semua mengaguminya. Mungkin kemampuan memasaknya dianggap masih amatiran. Ia tidak bisa menyaingi Arnold memasak. Ia tidak membayangkan menjadi salah satu peserta master chef. Mungkin saat itu juga ia akan menangis karena suasana dapur seperti neraka. Apalagi mendengar bentakan-bentakkan Arnold yang berapi-api.
Beberapa menit kemudian Arnold datang membawa es buah segar. Es buah itu sungguh menggiurkan. Ia menelan ludah karena saat ini kerongkongannya begitu kering.
"Aku tahu kamu haus," ucap Arnold, ia meletakan gelas itu di meja.
"Minumlah,"
Mince melirik Arnold, laki-laki itu duduk di sebelahnya. Ada perasaan ragu ketika ia menyicipi minuman itu, karena takut Arnold menaruh racun di sana. Tapi sudahlah, ia benar-benar sungguh haus, dari pada ia hidrasi, kekurangan cairan dalam tubuh. Terlebih cuaca di luar sana tadi sedang panas-panasnya, segelas es buah segar tentu merupakan suatu hal yang menyegarkan, rasanya pasti nikmat. Rasa manis menjalar dilidah dan tenggorokan, suhu tubuh yang panas kini berubah menjadi lebih dingin.
"Makasih," Mimin memasukan buah itu ke dalam mulutnya. Rasanya sedikit berbeda dari es buah yang ia beli di pasar, mungkin Arnold tidak memakai gula di sini, melainkan madu sebagai pemanis.
"Kamu asli mana ?," tanya Arnold penasaran, karena ia ingin mencairkan suasana.
"Padang,"
"Minang ?,"
"Iya,"
"Jadi ...,"
"Urang awak," Mince terkekeh.
"Asli dari sana,"
"Iya, emang asli sana, kedua orang tuaku emang di sana,"
"Iyo bana?," tanya Arnold lagi.
"Indak,"
"Adiak ndak duto kan ?,"
"Ngapain juga gue bohong, lo kok bisa bahasa minang sih," Mince semakin penasaran.
"Mantan aku dulu Minang juga sih di Padang Panjang, jadi tau lah dikit-dikit. Kayaknya jodoh aku memang orang Minang," Arnold terkekeh melirik Mince.
"Wah ... lo PD," Mince kembali menyumprut minumannya, karena rasa es buahnya memang enak.
"Buktinya sederet mantan aku rata-rata seperti kamu, gadis Minang," Arnold menyandarkan punggungnya di sofa.
"Lo ngomong kayak gitu seakan gue pacar lo,"
"Bentar lagi kamu juga bakalan jadi pacar aku,"
"Huh, siapa yang mau sama lo. Gila aja jadi pacar lo, bisa-bisa gue stroke," dengus Mince.
Arnold kembali tertawa, "Kalau enggak mau, ya gue paksa,"
"Enak aja !, yang naksir gue banyak. Kalau sama lo ya ogah, macam enggak ada cowok lain yang lebih oke aja,"
Arnold menarik nafas panjang, menatap Mince, "Kamu tahu Farhan ?,"
"Ya tau lah, si brengsek itu kan,"
"Aku sama dia sahabatan,"
"Udah gue duga !," timpal Mince, kemarin Putri mengatakan hal yang sama.
Ia mendekati Mince, otomatis tubuh Mince meringsut di sofa, "Putri dan kamu, sahabatan ?,"
Tubuhnya mendadak dingin, karena posisi ia dan Arnold begitu dekat. Lihatlah matanya begitu tajam, "Iya ...,"
"Farhan ingin bersama istrinya,,"
"Ya terus,"
"Dia ingin bersama,"
Mince mengerutkan dahi, "Ya status mereka kan emang masih suami istri,"
"Dan kamu harus, jadi pacar aku," ucap Arnold menyeringai nakal.
Mince mengerutkan dahi, "Ya aku enggak mau lah," Mince semakin tidak terima, pernyataan absurd apa yang Arnold bicarakan. Ia sama sekali tidak hubungannya dengan status Farhan sebagai suami Putri.
"Kamu tau enggak ?,"
"Apaan sih !,"
Arnold memberanikan diri menyentuh bahu Mince,
"Jangan pegang pegang deh ...," Mince memberontak.
Tapi Arnold tetap memegang tubuh Mince, walaupun dia memberontak, dan tersenyum licik, "Farhan merasa terganggu dengan adanya kamu di samping Putri,"
"Parah !,"
"Jadi kamu sama aku,"
Mince nyaris menganga, ia memberontak dan melepaskan diri dari hadapan Arnold. Ia bertolak pinggang menatap Arnold,
"Lo ! Gila !,"
"Denger ya, gue sama Putri itu sahabatan udah lama, udah lebih dari lima tahun. Jadi Farhan sebagai suami ya harus ngerti lah, kita ini frenship. Enggak ada yang bisa memisahkan persahabatan kita !,"
Arnold ikuran berdiri, "Tapi nyatanya Farhan merasa terganggu dengan adanya kamu. Karena kamu itu udah lebih dari suaminya, kemana-mana kalian berdua, tidur juga berdua. Aku otomatis macarin kamu dong, biar kamu enggak ganggu mereka lagi,"
"Hah ! Sumpah, kalian bener-bener gila,"
"Sekarang kita pacaran !," ucap Arnold penuh penekanan.
Mince ingin sekali membenturkan kepala Arnold ke dinding. Bisa-bisanya ia mengatakan bahwa Farhan merasa terganggu atas persahabatanya dan lalu dia memacari dirinya. Dengan alasan agar Farhan bisa kembali bersama Putri. Sumpah, lama-lama Arnold songong,
"Enggak !,"
Arnold mendekati Mince ia menarik tubuh ramping itu, "Kita pacaran, agar semua menjadi lebih baik !," ucap Arnold penuh penekanan.
Mince menelan ludah, "Enggak !,"
"Enggak ada pilihan lain, selain iya !,"
Oh Tuhan, kilatan mata tajam itu berapi-api, "Kalau gue enggak mau gimana," Mince mengecilkan volume suaranya, karena ia terlalu takut melihat tatapan tajam itu. Keringat dingin jatuh dipelipisnya, inginnya sih langsung pingsan saja jika seperti ini.
"Jadi lah pacar yang baik, maka semua akan baik-baik saja,"
"Aku enggak mau ...," Mince ingin menangis, melihat tatapan tajam itu.
"Sekarang kita pacaran ...,"
"Enggak ...,"
Entah sejak kapan bibir Arnold kini sudah melumat bibirnya dengan rakus. Ini merupakan salah satu tindakan kriminal seorang laki-laki yang telah menciumnya seenak jidatnya. Dia begitu menguasi bibirnya. Ia tidak tahu kini tubuhnya sudah berpindah di sofa. Ia bukan anak kemarin sore yang baru saja belajar ciuman. Ciuman itu sendiri merupakan bentuk ungkapkan kasih sayang terhadap pasangan. Menghisap dan menggigit bagian bibir adalah hal yang paling menyenangkan di lakukan terlebih sedang jatuh cinta. Dia benar-benar melakukan secara perlahan dan menggairahkan. Bagian favorit dalam sebuah hubungan dalam percintaan adalah saat ciuman seperti ini.
Tapi di sini mereka bukan sepasang kekasih, bisa dikatakan sebuah bentuk ancaman dan menginginkan. Tapi ia sudah terbuai dengan kecupan yang menggairahkan. Ia tidak bisa berpikir jernih dan malah membalas lumatan itu. Oh Tidak, ia bisa gila, penolakannya tadi seakan bertolak belakang atas apa yang ia lakukan.
"Lagi ?," ketika Arnold melepas pangutannya.
Mince hanya menelan ludah, memandang Arnold. Kata-kata itu seakan dialah menginginkan lagi. Ciuman yang Arnold lakukan begitu menguasi. Dia bahkan tau apa yang di sukai para wanita. Ia tidak bisa berpura-pura polos dan ia suka kecupan yang dia berikan. Yang ia tidak habis pikir kenapa semua itu terjadi padanya. Apa yang ia takutkan tadi berubah menjadi sebuah keinginan lebih.
"Aku tahu kamu masih mau lagi," Arnold mendekati wajah dan melumat bibir tipis itu lagi.
***