Ringkasan
Kehidupannya Nessa yang harmonis dan tenang di panti asuhan tempatnya dibesarkan, tiba-tiba berubah drastis. Seorang rentenir tua malah meminta dirinya sebagai ganti dari hutang panti. Melarikan diri, adalah salah satu cara agar dirinya bisa lepas dari ketakutan itu. Ia bertemu dengan Angga, yang malah mengatakan ingin menikah dengannya. Apalagi dengan semua hal yang ditawarkan Angga padanya. Ia yang seolah hidup sebatang kara, tentu saja tak berpikir panjang lagi. Yang jelas, dirinya bisa lanjut sekolah dan ini hanya sebuah pernikahan di atas kertas.Lagi, ketenangannya justru diusik oleh sahabatnya sendiri.
BAB : 1
Nessa segera berlalu pergi dari panti asuhan tempatnya dibesarkan dengan langkah cepat. Tak hanya itu, sebuah tas besar berada dalam jinjingannya dan juga ransel di punggungnya. Berat? Jangan ditanya lagi. Semua pasti mengira kalau saat ini ia sedang otewe pergi liburan atau pergi camping. Salah besar. Justru, sebaliknya, ia bukan mau bersenang-senang, tapi sedang kabur dari kejaran seseorang.
Jantungnya berdegup kencang seiring laju langkahnya yang juga semakin cepat. Tak tahu kemana, yang penting ia jalan terus.
Saat hendak menyebrang jalan, tak melihat situasi kiri kanan, tiba-tiba sebuah mobil nyaris menabrak tubuhnya kalau saja si pengemudi tak mengerem dengan cepat.
Ia berteriak histeris saat merasa nyawanya seolah sudah berada di ujung tanduk. Tapi, keberuntungan dan kehidupan masih berpihak padanya.
Pemilik mobil keluar dan segera menghampiri Nessa yang masih berada dalam rasa kagetnya yang masih belum pudar.
"Heii ... kalau jalan lihat-lihat dong. Coba tadi kamu ketabrak, bisa-bisa saya yang disalahin," ocehnya.
Nessa membuka kedua telapak tangan yang menutupi wajahnya yang kaget karena nyaris tertabrak.
"Maaf, Om ...," ucapnya merasa bersalah sambil mengumbar senyum manis. Toh, ini memang salahnya. Siapa tahu senyumannya bisa menjadi penawar kemarahan cowok yang ada dihadapannya ini.
Benar sekali, dia sedikit tertegun memandangi wajah Nessa. Tapi semua kembali sirna saat mengingat panggilan gadis itu padanya barusan. Dahinya berkerut.
"Om?" Pertanyaannya tertuju pada Nessa yang berdiri di hadapannya.
Nessa mengangguk. Ia kemudian berdiri mendekat ke arah cowok itu dan mensejajarkan tinggi badannya.
"Nah, lihat, kan? Tinggiku cuman sebahunya, Om," ungkap Nessa sambil cengengesan.
Merasa dipermainkan oleh anak kecil, ah, bukan, maksudnya seorang gadis kecil, ia mengepalkan tinjunya karena gregetan.
Nessa mengambil tas dan ranselnya, berniat untuk segera pergi. Kelamaan ngobrol nggak jelas dengan om-om bisa-bisa ia malah tertangkap oleh mereka yang sedang mengejarnya.
"Heii ... berhenti!!!" teriaknya kesal karena Nessa pergi begitu saja.
"Maaf, Om ... lain kali kita ketemuan lagi," balas Nessa berteriak sambil terus melangkah cepat.
"Dasar bocah sialan!" Umpatnya kembali masuk mobil.
---000---
Nessa segera menuju kosan. Apalagi yang akan ia lakukan sekarang selain kembali pulang. Dan yang mesti ia pikirkan selanjutnya adalah bagaimana caranya menyambung hidup, apalagi untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya? Ia benar-benar merasa menjadi orang yang sangat tak beruntung.
Terus berjalan menuju kosan, karena kesal, ia dengan sengaja menendang sebuah batu kecil ke sembarang arah. Tapi sialnya, bukan batu itu yang terbang, justru malah sepatunyalah yang melayang dan endingnya itu loh.
"Waduh, mampus," gumam Nessa bergidik ngeri. Pasalnya, sepatunya itu malah terbang dan mendarat ke dalam sebuah mobil.
Si pemilik mobil menghentikan laju mobilnya. Merasa bersalah, Nessa sudah memasang wajah takut. Ya ... ia akui kalau ini memang salahnya. Segera ia menghampiri si pemilik mobil yang baru saja turun dan langsung meminta maaf atas kelakuannya.
"Maaf, saya nggak sengaja," ucapnya tanpa memandang wajah si pemilik mobil sekaligus korban lemparan sepatunya.
"Oo ... jadi kamu lagi. Gadis nakal," ujarnya sambil menyentil kepala Nessa dengan sengaja.
Sontak, mendapat perlakuan menyebalkan seperti itu, tentu saja membuat Nessa langsung menoleh kearah laki-laki yang saat ini ada di hadapannya. Dan ya ... raut wajahnya yang tadinya menunjukkan rasa bersalah, langsung berubah ke mode kesal akut. Tanpa aba-aba, ia menyambar sepatu miliknya yang ada di pegangan laki-laki itu.
"Tadinya saya merasa bersalah, banget malah. Tapi, setelah tahu kalau Om lah orangnya, saya malah merasa bersyukur kalau sepatu ini terbang ke kepala Anda," ceracau Nessa dengan wajah kesal. Bagaimana tidak, orang yang ada dihadapannya saat ini adalah Angga. Dialah makhluk Tuhan yang membuat dirinya dipecat dari pekerjaannya.
Ia kembali mengenakan sepatunya dan berlalu pergi begitu saja tanpa pamit. Tentu saja tingkah Nessa itu membuat Angga mengumpat kesal.
---000---
Sampai di kos'an, ia hempaskan badannya di atas kasur. Kali ini ia benar-benar merasa bingung. Kemana lagi akan ia gantungkan hidupnya. Pekerjaan tak punya, orangtua tak punya, hidup ngekos, ditambah lagi tunggakan uang sekolah juga sudah mengancam dirinya di sekolah. Penderitaan apa lagi yang ia dustakan.
Hingga jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, tak ada tanda-tanda kalau otaknya yang lumayan cerdas itu mendapatkan sebuah solusi. Rasanya ia ingin bunuh diri saja, tapi kembali lagi ia berpikir kalau niatnya itu sangatlah tak baik. Masih mending hidupnya, di luaran sana masih banyak kehidupan yang lebih parah dari dirinya.
Ia langsung bangkit dari tempat tidur dan kembali mengenakan sepatu. "Gue nggak boleh kayak gini. Mumpung masih sore, bisa gue pake buat nyari kerjaan," gumamnya berpikir.
Nessa segera berlalu pergi meninggalkan kos'an, tentunya dengan tujuan yang tak pasti. Tapi dengan niat untuk mencari pekerjaan.
Satu toko, dua toko, satu cafe, dua cafe, sudah ia datangi. Siapa tahu mereka membutuhkan karyawan. Tapi nihil, tak satupun ada yang mau menerima dengan alasan dirinya masih berstatus anak sekolah yang pastinya cuman bisa kerja sambilan. Kebanyakan dari mereka menerima yang mau kerja full day.
Saat ia lirik waktu di pergelangan tangannya, jarum jam sudah tepat berada di angka 9. Itu berarti sudah 4 jam penuh ia berjalan, berharap ada yang mau menerimanya. Kedua kakinya juga sudah pada lecet, karena berjalan jauh, mau naik kendaraan sayang duitnya. Apalagi perutnya yang sudah berteriak-teriak minta diisi. Tak tahukah kalau pemiliknya sedang tak punya uang.
"Udah nyari kerjaan kemana-mana tetap aja nggak dapat," lirihnya menarik napas lelah sambil terus melanjutkan langkah menuju arah kos'an.
Ia lelah, apalagi perutnya yang lapar banget. Berniat untuk menyeberang jalan, tapi karena tak fokus, baru dua melangkah, tiba-tiba sebuah mobil datang dengan cepat. Untungnya ia bisa cepat menghindar, hingga tabrakan itu tak terjadi. Tapi, karena itu dirinya malah terpental ke pembatas jalan.
"Arghhh ..." Ia meringis menahan sakit. Bagaimana tidak, kedua lutut dan sikunya terluka. Memang bukan luka yang parah, tapi rasanya lumayan perih dan sakit.
Mobil yang nyaris menabrak dirinya, berhenti. Seorang cowok keluar dari dalamnya dan menghampiri Nessa.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya dia pada Nessa yang masih terduduk di pinggiran jalan sambil meniup-niup lukanya.
"Nggak lihat, saya sam ..."
Perkataan Nessa terhenti saat ia mengarahkan pandangan pada cowok yang ada di hadapannya. "Ih, kok, Om lagi, sih?" Nessa langsung bereaksi tak suka saat mengetahui siapa yang ada dihadapannya saat itu. Siapa lagi orang yang membuatnya kesal, dan dipecat dari pekerjaan kalau bukan, Angga.
"Kamu, kan ..."
"Iya, saya yang udah Om buat dipecat," timpal Nessa geram. Rasanya ingin sekali ia menendang tulang kering cowok yang ada dihadapannya saat ini. "Oo ... apa sekarang Om berniat mau bunuh saya?"
"Eh, kalau ngomong yang bener dong. Kan kamu yang jalan nggak lihat kiri kanan dulu, malah nyalahin saya," balas Angga tak terima atas tuduhan Nessa.
"Om kira saya mau bunuh diri?"
"Yakali aja, kan baru dipecat," ujar Angga sedikit melambatkan suaranya sambil sedikit tersenyum. Tapi tetap saja Nessa bisa mendengar itu semua. Buktinya dirinya langsung mendapat pukulan di lengannya oleh gadis kecil itu.
"Apaan, sih, main pukul-pukul," komentar Angga sambil beranjak dari posisi jongkoknya dan hendak berlalu pergi.
"Om! Kok jahat banget, sih ... kok tega banget, sih! Saya lagi terluka loh ini, apa nggak ada niat baik mau bantuin saya, gitu?" Nessa langsung heboh.
Angga diam saja tak berkomentar. Ia tetap saja melanjutkan langkahnya menuju mobil.
"Astaga! Itu manusia atau bukan, sih? Udah mau bunuh gue, sekarang malah nggak berniat ngebantuin sedikipun." Nessa langsung mengeluarkan kata-kata umpatannya. Ingin rasanya ia meninju wajah Angga, tapi sayangnya luka di kedua lututnya lumayan perih.
Sambil mewek-mewek gaje, Nessa mencoba untuk berdiri dari posisi duduknya. Tapi, saat hendak melangkah, tiba-tiba saja pergelangan kakinya bagian kiri malah berasa sangat ngilu. Hingga ia tak bisa menahan tubuhnya yang nyaris ambruk. Tapi, semua itu tak terjadi karena Angga keburu menangkapnya.
Kedua tatapan itu saling bertemu, sejenak menciptakan sebuah keheningan sesaat.
"Apakah dengan terus menatapku seperti itu bisa membuatmu senang?"
Pertanyaan Angga membuyarkan lamunan Nessa. Gila saja, kenapa dirinya malah seolah terpesona dengan kedua mata itu. Hingga waktunya dibuat seolah terhenti.
Nessa spontan melepas pegangannya di lengan Angga. Kemudian, kembali dengan tampang juteknya.
"Nggak mau ngucapin terima kasih, gitu?"
"Nggak akan," jawab Nessa ketus.
Angga menarik napas. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak. Nessa hanya bisa menatap penuh selidik. Tak butuh waktu lama, karena iapun tahu kalau itu adalah kotak obat.
Tanpa berkata apa-apa, Angga mengambil sebuah kapas dan mengolesinya dengan anti septik sebelum membersihkan luka di lutut dan siku Nessa.
"Aduh, Om ... pelan-pelan dong ... sakit tahu," oceh Nessa sambil memukul lengan Angga. Yang pernah mengalami luka di lutut atau siku, pasti tahulah seperti apa rasa sakitnya itu. Meskipun dengan luka yang tak terlalu lebar, tetap saja rasanya lumayan.
"Kamu bisa diem nggak, sih!?" tanya Angga menghentikan tangannya yang tadinya sedang mengobati luka di lutut Nessa.
Nessa langsung mengangguk begitu saja. Nyalinya seolah langsung jadi ciut mendapat bentakan Angga.
Mendapat jawaban itu, Angga kembali melanjutkan untuk mengobati luka di siku dan lutut gadis itu hingga berakhir dengan tempelan beberapa plester.
"Nah, sudah selesai," ujar Angga.
"Makasih," ucap Nessa. Sedikit berat mengucapkan kalimat itu, tapi mau gimana lagi, toh memang Angga sudah membantunya.
Angga terdiam. Ia menatap ke arah Nessa dari ujung kaki sampai ujung kepala, seolah sedang memikirkan sesuatu. Bahkan, gadis itupun bisa merasakan tatapan aneh itu.
"Kenapa Om ngeliatinnya gitu amat? Jangan berniat yang macam-macam loh," ujar Nessa sedikit menjauh dari posisinya yang tadinya berada dekat dengan Angga. Bagaimana ia tak berpikir seperti itu, kalau tatapan seorang cowok padanya mencurigakan begitu. Seperti singa yang sedang kelapaan saja.
Nessa menjauh, Angga malah mendekat.
"Aku sudah membantumu ... sekarang, giliran kamu yang harus membalasnya," ujar Angga.
Fiks, setan yang terkutuk langsung merasuki otak dan pemikiran Nessa. Apa yang dikatakan Angga barusan, membalasnya? Apa artinya itu?
"Om, jangan bertindak yang tidak sopan, ya. Dasar! Om-om mesum! Pedofil!"