Pustaka
Bahasa Indonesia

Grandes High School (Leslie and Sean)

108.0K · Tamat
Ellakor
57
Bab
249
View
9.0
Rating

Ringkasan

Leslie dan Sean sudah dinyatakan lulus dari Grandes High School. Kini mereka tengah menuntut ilmu di sebuah universitas. Awalnya, kehidupan mereka berjalan dengan lancar, hingga beberapa masalah yang berhubungan dengan hantu kembali menimpa Leslie. Leslie sangat menyadari kemampuannya itu akan membuatnya selalu terlibat dengan para hantu.Namun, benarkah hanya masalah hantu yang akan dihadapi Leslie dan Sean? Sepertinya beberapa masalah besar yang akan menguji percintaan mereka akan muncul di cerita ini. Daripada penasaran lebih baik kalian ikuti saja ya ceritanya.NB: CERITA INI MERUPAKAN CERITA KETIGA DARI SERI GRANDES HIGH SCHOOL. SANGAT DISARANKAN UNTUK MEMBACA CERITA PERTAMANYA : GRANDES HIGH SCHOOL (LESLIE), DAN CERITA KEDUANYA: GRANDES HIGH SCHOOL (ANGIE) TERLEBIH DAHULU. SUPAYA KALIAN MENGERTI TOKOH DAN ALUR CERITANYA.

RomansaTeenfictionPengembara WaktuThrillerSuspenseTuan Muda

Eric Part 1

Siang ini langit tampak cerah. Awan-awan putih berkejaran di atas sana. Burung-burung mengeluarkan suara riang mereka, membuat siang ini semakin cerah. Teriknya sinar matahari membuat suasana siang ini pun terasa panas. Meskipun semilir angin yang berhembus membuat udara panas sedikit tertutupi, membuat rasa gerah dan pengap bisa sejenak teralihkan.

Hal lain yang membuat suasana panas ini teralihkan di tempat yang bisa dikatakan ramai ini, karena kini semua orang tengah asyik menyaksikan aksi kejar-kejaran di area lapangan. Sepuluh orang tepatnya para pria itu berkejaran merebut bola hanya dengan satu tujuan yang tidak lain untuk memasukkan bola itu ke dalam keranjang. Ya, sedang berlangsung pertandingan basket yang cukup sengit saat ini. Tim basket dari fakultas hukum sedang berhadapan dengan tim basket dari fakultas ekonomi.

Sorak sorai dari penonton terdengar riuh ketika seorang pemain bernomor punggung 11 dari fakultas hukum berhasil merebut bola dari lawannya. Dia berlari dengan cepat sambil mendribel bola. Tak ada satu pun pemain yang bisa menahan ataupun merebut bola darinya. Sesaat kemudian, dia telah berhasil berada di bawah keranjang dan dengan lompatannya yang tinggi, dia berhasil memasukkan bola itu ke dalam keranjang.

Priiit!

Terdengar peluit dari wasit yang menandakan bahwa bola telah dinyatakan masuk dan tim basket dari fakultas hukum mendapatkan tambahan poin.

“Aaaaa! Kereeen!”

Terdengar teriakan dari penonton yang didominasi oleh wanita. Mereka mengelu-elukan nama pemain bernomor punggung 11 itu. Pria yang dielu-elukan namanya itu mengangkat tangan kanan tinggi ke atas dengan telapak tangan yang terkepal, seakan-akan menunjukkan rasa puas yang dia rasakan saat ini karena berhasil melakukan slam dunk dengan sempurna. Rambutnya yang basah karena keringat dan mengalir di wajah tampannya membuat dia terlihat semakin keren, tentu saja hal itu semakin mengundang teriakan antusias dari para wanita yang melihatnya.

Priiit ... Priiit ...

Peluit panjang dari wasit menandakan berakhirnya pertandingan itu. Skor akhir di layar memperlihatkan angka 152-108 dengan kemenangan tim fakultas hukum. Penonton semakin bersorak dan bertepuk tangan terutama ketika melihat raut kegembiraan yang terpancar di wajah para pemain dari tim fakultas hukum.

Tak lama setelah itu, banyak penonton wanita yang berlarian menghampiri sesuatu. Aku mengikuti langkah para wanita itu dan memasang wajah cemberut ketika kulihat mereka tengah mengerumuni pria yang memang sejak awal pertandingan menjadi pusat perhatian. Ya, pria itu tidak lain adalah pria dengan nomor punggung 11. Memang pemandangan seperti ini bukan hal yang baru aku lihat, setiap pria itu menyelesaikan pertandingan yang dia ikuti memang selalu berakhir seperti ini. Dia dikerumuni banyak wanita yang berteriak histeris meneriakkan namanya layaknya fansgirl. Setiap kali melihat pemandangan ini membuat hatiku memanas dan meskipun aku tak melihatnya di cermin, aku yakin kini aku sedang memasang wajah cemberut.

Aku masih berdiri menatap seorang pria yang masih dikerumuni fansgirl-nya, dia berusaha menghindari mereka meskipun terlihat jelas dia cukup kesulitan karena wanita-wanita itu benar-benar mengerumuninya tanpa memberinya celah untuk kabur.

Kedua mata pria itu menatap ke arahku, akhirnya dia menyadari kehadiranku. Dia menyunggingkan seulas senyum penuh penyesalan padaku, aku hanya membalasnya dengan sebuah dengusan yang tentu saja tak mungkin dia dengar. Aku tak tahan lagi melihat pemandangan itu, sehingga aku memutuskan untuk pergi.

Aku baru saja melangkahkan kaki ketika sebuah panggilan membuatku berhenti.

“Leslie, tunggu!”

Aku mendengarnya ... mendengarnya sangat jelas tapi rasa kesal ini membuatku tetap melangkahkan kaki.

“Hei, aku bilang tunggu, kan? Haah ... Haah ...” ucap orang lebih tepatnya pria itu dengan napas yang terdengar kelelahan. Ya, wajar saja dia merasa lelah, dia baru saja menyelesaikan sebuah pertandingan basket yang pastinya menguras tenaga, dia pun kupastikan baru saja berlari demi mengejarku yang berjalan meninggalkannya.

“Kau marah, Leslie?” katanya ketika napasnya sudah mulai terdengar teratur.

“Tidak. Kenapa aku harus marah?” jawabku bohong. Sebenarnya aku memang sangat kesal dan marah padanya. Atau mungkin kata cemburu lebih tepat untuk menggambarkan suasana hatiku saat ini.

“Maaf, aku sudah berusaha melarikan diri tadi.”

“Tapi sepertinya kau menikmatinya tadi. Dikerumuni banyak wanita cantik,” kataku dengan nada datar.

“Hahahaha ... sudah kuduga kau cemburu.”

Malu? Tentu saja aku malu sekarang karena sepertinya aku tertangkap basah karena merasa cemburu padanya.

Aku rasa wajar saja jika aku cemburu ketika melihat pacarku dikerumuni banyak wanita cantik yang terus meneriakkan namanya seperti seorang fans yang baru saja bertemu dengan artis idola. Mereka juga sangat agresif hingga tak membiarkannya melarikan diri. Tapi aku sadar ini resiko karena memiliki pacar yang populer.

“Sudahlah, jangan cemberut terus. Wajahmu jelek kalau sedang cemberut,” katanya berusaha menggodaku. Tapi sungguh perkataannya itu semakin membuatku kesal.

“Maaf ya kalau aku jelek,” jawabku kembali dengan nada datar pada suaraku.

“Maaf, maaf, aku hanya bercanda. Sudah jangan marah lagi.” Dia kembali menenangkanku sambil mengelus lembut rambut panjangku. Dia mendekatkan tubuh ingin memelukku tapi aku segera mencegahnya.

“Tubuhmu basah oleh keringat. Bersihkan dulu tubuhmu,” tegurku yang ditanggapi dengan sebuah cengiran olehnya.

“Haha ... iya, maaf. Kau sudah tidak marah, kan?” Aku menggelengkan kepala sambil menyunggingkan senyuman sebagai tanda bahwa aku sudah tak marah padanya.

“Huffttt ... syukurlah,” katanya sambil menghembuskan napas dengan perlahan.

“Aku pergi dulu ke asrama, ya. Jangan lupa nanti sore temani aku ke perpustakaan, ya, Leslie.”

“OK,” ucapku, lalu dia pun beranjak pergi meninggalkanku.

Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh, menatap punggung pria yang sudah menjadi pacarku sejak kami masih sekolah di Grandes High School. Namanya Sean Maxwel, dan sama seperti ketika kami masih SMA, hingga kini dia tetap populer. Banyak wanita yang mengidolakannya meskipun kini kami sudah menjadi mahasiswa. Ya, aku rasa itu hal yang wajar karena dia memang tampan dan keren. Apakah aku senang memiliki pacar sepertinya? Tentu saja aku sangat senang, aku bahkan merasa bangga ketika wanita-wanita itu menatap iri padaku ketika melihatku berjalan sambil bergandengan tangan dengan Sean. Aku selalu tersenyum sendiri jika mengingat raut kesal di wajah para fansgirl Sean itu.

Dulu aku sempat putus dengan Sean tapi kami memutuskan untuk kembali berpacaran ketika menyadari bahwa kami masih saling mencintai. Kini aku dan Sean sudah menjadi mahasiswa. Grandes University ... itulah nama kampus kami. Aku mengambil jurusan Ekonomi sedangkan Sean mengambil jurusan hukum. Alasan Sean mengambil jurusan hukum karena dia ingin seperti ayahnya yang merupakan seorang pengacara. Ya, karena aku pacarnya, aku pikir harus selalu mendukung keputusannya.

Di kampus ini terdapat sebuah peraturan di mana semua mahasiswa tingkat satu harus tinggal di Asrama kampus. Sebenarnya rumahku tidak terlalu jauh dari kampus tapi tidak ada pilihan bagiku selain menerima aturan kampus ini. Jika hari libur tiba aku sering pulang ke rumah begitu pun dengan mahasiswa yang lain.

Inilah kehidupan baruku sebagai seorang mahasiswa. Tiga bulan tepatnya aku telah menuntut ilmu di sini dan sejauh ini semuanya berjalan dengan lancar, tidak ada masalah yang berurusan dengan hantu. Aku lega karena kampus ini sangat jauh berbeda dengan Grandes High School yang dulu angker. Meskipun sekarang sekolah itu sudah kembali normal layaknya sebuah sekolah. Jika mengingat tentang Grandes High School, aku selalu teringat pada sahabatku Angie. Dia sudah bahagia sekarang, dia telah menikah dengan pria yang dia cintai sejak dulu. Meskipun sekarang aku jarang bertemu dengannya tapi aku sering berkomunikasi dengannya melalui handphone.

Aku berharap hari-hari yang kulalui di kampus ini akan selalu lancar dan damai.