Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Sandiwara Berbahaya

Dengarkan baik-baik, Alina," bisik Aldian, matanya menatap tajam, penuh perhitungan. 

"Proposal ini sangat sederhana. Saya ingin kamu menjadi pacar baru saya. Pacar yang jauh lebih baik dan pantas diperkenalkan kepada orang tua saya. Kita akan menjalin hubungan palsu, dan kamu harus memainkan peran ini dengan sempurna di depan semua orang. Sebagai imbalannya..."

Aldian mendekatkan wajahnya sedikit. "Saya jamin, kamu akan mendapatkan gelar sarjana dengan predikat terbaik. Bagaimana? Berani kamu menerima sandiwara berbahaya ini?"

Alina keluar dari ruang kerja Aldian dengan langkah gontai. Udara di luar terasa lebih pengap, seolah-olah beban keputusan yang baru saja ia ambil menimpanya.

Perkataan yang dilontarkan oleh Aldian, masih terngiang jelas di benaknya. 

"Bagaimana, kamu mampu menjalankan sandiwara berbahaya ini?"

"Em, sa-saya ... saya--"

"Kenapa? Kamu tidak siap? Kalau kamu tidak siap, tidak masalah Alina. Tapi, kamu telepon konsekuensinya atas skripsi kamu."

Alina menelan salivanya. "I-iya, Pak. Saya siap. Saya siap menerima yang Bapak tawarkan."

Seketika itu pula, dia mendengus pelan. Mengingat jawaban yang dia berikan kepada Aldian, si dosen killer itu. Karena ia baru saja menjual dirinya, bukan secara fisik, melainkan kebebasan dan harga dirinya, demi selembar ijazah.

Perjanjian itu nyata. Ia akan menjadi pacar pura-pura Aldian, umpan balas dendam bagi Kirana. Sebagai imbalannya, ia akan lulus dalam waktu dekat. Sebuah pertukaran yang konyol, tetapi menjadi satu-satunya pelarian dari neraka rumahnya.

*****

Beberapa hari setelah kesepakatan itu, Aldian memang mengubah bimbingan skripsinya. Jika sebelumnya ia mempersulit dengan menolak semua ide, kini ia justru memberikan tugas-tugas absurd yang semakin memusingkan.

Alina masih berputar-putar pada pemilihan judul, sementara teman-temannya sudah siap seminar proposal.

"Saya ingin kamu, mencari setidaknya sepuluh studi kasus yang menggunakan metode A, B, dan C, Alina," perintah Aldian suatu sore, sambil bersandar santai di kursinya. "Saya ingin lihat, apakah kamu serius dengan rencana kelulusan dalam waktu dekat ini."

Alina menggertakkan gigi. "Tapi Pak, sepuluh studi kasus itu tidak relevan dengan tema yang Bapak berikan."

"Apakah kamu sedang mengajari saya?" Aldian menaikkan alis, senyum mengejek tersungging. "Lakukan saja. Atau kamu lupa apa yang kita sepakati? Kelulusan kamu tergantung pada kepatuhan kamu, Alina."

Rasa kesal Alina memuncak. Ia tahu Aldian melakukan ini untuk menjaga sandiwara bahwa ia adalah dosen pembimbing yang sangat ketat. Tapi di sisi lain, ia juga tahu Aldian menikmati melihatnya kesulitan.

'Dasar, dosen gila,' batinnya.

Ia memutuskan untuk menemui Mentari di kafe langganan mereka.

*****

Mentari, yang baru saja menyelesaikan yudisiumnya, terlihat berseri-seri. Kontras dengan Alina yang wajahnya kusam dan mata panda.

"Ya Tuhan, Alin! Kau kenapa? Seperti habis dikejar hantu skripsi," sapa Mentari, menatap prihatin.

Alina menarik napas panjang. "Lebih buruk dari hantu, Tar. Aku dikejar Dosen Pembimbingku yang sinting."

Mentari tertawa, lalu menyadari keseriusan nada bicara Alina. "Aldian lagi? Apa lagi yang dia lakukan? Bukankah seharusnya sekarang dia mempercepat prosesmu?"

"Mempercepat? Dia justru membuatku gila!"

Alina menggebrak meja pelan. "Teman-teman seangkatanku, termasuk kamu, sudah mau seminar proposal. Aku? Masih disuruh ganti-ganti judul, cari studi kasus yang tidak masuk akal, dan dia selalu bilang proposal aku tidak kuat!"

"Kau sudah bilang padanya soal ancaman Mama Karin?"

Alina mengangguk. "Tentu saja. Dan dia hanya bilang, 'Itu bukan urusan saya. Skripsimu harus berkualitas.' Aku benci dia, Tar. Aku benar-benar benci pria arogan itu!"

"Tapi aneh," ujar Mentari sambil menyeruput kopinya. "Waktu aku bertemu Vino, dia bilang Aldian sedang sangat tertekan soal mantannya. Bukankah dia seharusnya fokus sama mantannya, atau mungkin dia udah putus. Terus melampiaskan kekesalannya itu kepada anak didiknya."

"Ya, mungkin. Tapi, masa iya dia melimpahkan kekesalannya ke aku aja.  sedangkan mahasiswa lainnya enggak," desis Alina pahit.

Ia ingin menceritakan soal kesepakatan pacar palsu itu, tetapi Aldian mengancamnya dengan DO jika rahasia ini bocor.

"Maksudmu, dia cuma bersikap seperti ini sama kamu aja?" tanya Mentari bingung.

"Tidak, lupakan," elak Alina cepat. "Intinya, aku merasa seperti boneka. Dia menjanjikan kelulusan, tapi dia juga menikmati saat aku menderita. Aku harus menuruti semua yang dia mau, atau jaminan kelulusan itu hilang."

Mentari menggenggam tangan Alina. "Sabar, Alin. Tinggal sedikit lagi. Kau harus cepat lulus. Ingat, ancaman Mama Karin itu bukan main-main. Kau tidak mau diusir dari rumah dan kehilangan warisan ayahmu, kan?"

Kata-kata Mentari menusuk. Alina tahu, tekanan dari rumah jauh lebih mendesak daripada rasa bencinya pada Aldian.

*****

Malam itu, suasana di rumah terasa dingin. Kirana duduk di sofa, fokus pada ponselnya, sementara Karin mondar-mandir dengan gelisah.

"Mama tidak mengerti kenapa Aldian jadi seperti ini," keluh Karin. "Padahal Mama sudah siapkan semuanya. Dan kau, Alina! Kau sudah dua tahun mengerjakan skripsi. Kenapa skripsimu belum juga beres?"

Alina yang sedang membersihkan meja makan terdiam.

"Dengar baik-baik," Karin mendekat, nadanya rendah dan mengancam.

"Jika sampai akhir tahun ini kau belum juga menyelesaikan skripsimu dan masih menjadi beban di rumah ini, jangan harap kau bisa tetap tinggal. Kami akan mengusirmu, dan kau tidak akan mendapat sepeser pun dari warisan Ayahmu yang seharusnya memang sudah menjadi milik kami."

Kirana mendongak sekilas, menyeringai puas melihat wajah tegang Alina.

Ancaman itu menghantam Alina seperti palu godam. Itu adalah motivasi terbesarnya.

'Bisa-bisanya, dia berbicara seperti itu. Padahal aku yakin,  seluruh warisan serta rumah ini itu atas namaku. Bukan mereka,' batinnya.

Ia tidak boleh kalah. Ia harus lulus. Ia harus menuruti Aldian, betapapun menyakitkan tuntutannya.

*****

Keesokan harinya, Alina sedang mencoba mencari relevansi antara sepuluh studi kasus yang diminta Aldian, ketika ponselnya berdering. Nama Aldian muncul di layar.

"Ya, Pak?" jawab Alina, berusaha terdengar profesional.

"Tinggalkan studi kasus sampah itu sebentar, Alina. Ada tugas yang lebih penting," suara Aldian terdengar serius, bukan lagi nada dosen pembimbing, melainkan nada seorang atasan yang berkuasa.

"Tugas apa, Pak? Apakah ini soal skripsi?"

Aldian tertawa pelan. "Tidak. Ini soal sandiwara kita. Saya sudah mengatur semuanya. Sabtu malam, kamu akan ikut saya makan malam. Kamu akan bertemu kedua orang tua saya."

Jantung Alina berdegup kencang. 'Secepat inikah?' batinnya. Ia belum siap menjadi umpan di hadapan calon mertua palsu.

"Tapi, Pak, bukankah ini terlalu cepat? Kita bahkan belum membuat cerita latar belakang yang meyakinkan."

"Kita tidak butuh cerita latar belakang yang rumit. Cukup menjadi diri kamu, tapi dalam versi yang jauh lebih baik dan lebih muda dari mantan saya, yang seumuran saya," tegas Aldian, suaranya kini kembali dingin dan penuh perhitungan.

"Saya sudah bilang, ini bukan permintaan. Ini perintah. Dan ingat, Alina, kesuksesan sandiwara ini adalah harga dari kelulusan kamu."

Alina menarik napas, rasa marah kembali membanjiri dirinya. Ia ingin membantah, mengatakan bahwa ia bukan boneka yang bisa diatur-atur. Tapi bayangan Karin yang mengusirnya dari rumah membuat suaranya tercekat.

"Baik, Pak. Apa yang harus saya persiapkan?" tanya Alina, menyerah. Ada nada keputusasaan yang tidak bisa ia sembunyikan.

Aldian tersenyum puas di ujung telepon. "Sederhana. Sabtu ini, saya akan menjemput kamu di depan rumahmu. Bersikaplah manis dan meyakinkan. Tunjukkan pada semua orang, bahwa kamu adalah pacar baru saya. Pacar yang akan saya nikahi, menggantikan posisi mantan saya."

Ancaman yang terselubung dalam perintah itu membuat tubuh Alina merinding. Ia harus berakting di depan kedua orang tua Aldian. Permainan ini baru saja dimulai, dan taruhannya adalah masa depannya.

"Apakah, setelah ini aku bisa memenangkan award?" monolognya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel