Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Aku Kesepian

Dua hari sebelumnya.

"Nay, kamu sibuk nggak?" suara Mas Arya—suamiku, setengah berteriak saat dia turun sambil menenteng dasi. Mas Arya menghampiriku yang sedang sibuk mencuci piring di dapur.

"Sini aku bantu pasangin dasinya, Mas," Mas Arya menundukkan sedikit kepalanya saat tanganku bergerak dengan cepat memakaikan dasi, "Nah, udah oke dan keren, Mas!" Aku membereskan lipatan kerah bajunya dan mengusapkan kemejanya sambil tersenyum.

"Terima kasih sayang, kamu memang yang terbaik." Satu kecupan mendarat di keningku. Seperti biasanya sebelum Mas Arya pamit untuk bekerja dia selalu melakukan rutinitas manisnya.

"Hati-hati dijalan ya sayang, hari ini kamu lembur lagi?" Aku bertanya dan sudah memasang wajah cemberut pada suamiku.

Mas Arya jarang banget pulang ke rumah tepat waktu. Tiap hari, dia sibuk bekerja dan bekerja. Aku bertanya karena nanti malam, malam jum'at. Ada hasrat yang ingin aku salurkan juga sebagai pasangan suami istri yang jarang sekali Mas Arya menyentuhku.

"Sepertinya begitu, kamu nggak usah tunggu aku. Kunci rumah dan langsung tidur saja. Aku bawa kunci cadangan seperti biasa. Kenapa Nay?" Mas Arya membuka pintu mobilnya dan menaruh tas kerjanya lebih dulu di kursi samping kemudinya.

Aku hanya menghela nafas. Meski ingin sekali aku meminta Mas Arya pulang lebih cepat. Kalau aku bahas sekarang sebelum dia berangkat kerja, yang ada dia akan kesal dan menyalahkan aku kalau harinya nanti akan bad mood.

Padahal itu permintaan kecilku, hanya ingin Mas Arya pulang lebih awal saja.

“Nggak apa—apa kok, Mas, aku hanya tanya, mungkin saja kamu bisa pulang lebih cepat!” dihatiku padahal sangat berharap Mas Arya lebih peka dengan keinginanku.

Hubungan harmonis bukan hanya tercipta dari suami yang giat bekerja, selalu memenuhi apa yang aku minta, tapi juga nafkah dan lahir harus terpenuhi. Dan nggak membuatku selalu kesepian di rumah.

Untungnya aku punya sedikit keahlian, bikin kue dan jajanan pasar. Bersyukurnya lagi, keahlianku ini lumayan disukai oleh tetangga dekat atau jauh. Mereka selalu saja memesan kue untuk acara ulang tahun anak, arisan atau selamatan. Aku menerima semua karena untuk mengisi waktu dirumah biar nggak terus melamun apalagi sudah tiga tahun kami menikah, aku belum juga mendapat momongan.

Kami sudah melakukan pemeriksaan, dokter mengatakan semua baik-baik saja. Tidak ada yang mandul dari kami, hanya saja memang kami kurang sekali berolahraga ranjang dengan kesibukan Mas Arya itu. Aku pun kadang bingung, hari libur pun Mas Arya sering banget mendapatkan panggilan kerja.

Sebagai istri yang selalu menurut apa kata suami. Aku mah hayo aja, apa yang suamiku bilang, aku percaya. Sebab itulah sumber keharmonisan rumah tangga kami. Saling percaya. Apalagi Mas Arya membatasi jam pertemuanku diluar bersama teman-teman. Padahal sesekali, ingin rasanya aku menghilangkan rasa jenuh dengan sekedar berkumpul atau hangout sebentar.

Mas Arya nggak suka itu. Dia sukanya, aku dirumah. Menjadi istri yang selalu menurut apa katanya dan hanya memenuhi semua kebutuhannya di rumah.

“Kalo kamu bête seharian di rumah kamu bisa panggil Dian dan Nada ke rumah, aku rasa jadwal kampus mereka bisa di sesuaikan untuk menemani kamu, Nay!” ucap Mas Arya, sepertinya dia menyadari wajah cembetut—ku.

Ya kira—kira itulah solusi yang dapat Mas Arya tawarkan, memanggil Dian dan Nada adik—adiknya ke rumah untuk menemaniku. Bukannya aku nggak suka Dian dan Nada ke rumah, tapi kalau ke rumah pasti saja ada omongan dari mertua yang membuat telinga—ku panas, kepala—ku pusing tujuh keliling dan yang pastinya hatiku sakit saat mendengar sindiran mereka tentang kehadiran anak di tengah—tengah keluarga kami.

Meski Mas Arya memenuhi semua kebutuhanku, tapi sesekali sebagai seorang istri aku pun ingin dianggap, disayang dan diperhatikan. Aku nggak perlu dikasih hadiah intan berlian, cukup Mas Arya bisa meluangkan waktunya sedikit saja untuk—ku dengan pulang kantor lebih cepat. Dia nggak pernah peka, kalau aku itu kesepian.

“Nggak usah Mas, hari ini aku pasti sibuk. Aku ada pesanan risol dan panada masing-masing seratus piece untuk acaran selamatan di rumah bu Mina. Nanti juga ada bu Lastri yang bantu aku dirumah kok.” Aku mencoba menghilangkan rasa kecewaku dengan menghibur diri seperti ini. Setiap kali Mas Arya meminta Dian atau Nada ke rumah, alasan ini adalah jurus terjitu untuk menghindari mereka.

“Okeh, ya sudah kalau begitu,” saat Mas Arya akan masuk ke dalam mobil, dia berbalik lagi, “Oya, kalau hari jum’at kamu ada pesanan nggak, Nay?” sepertinya Mas Arya teringat sesuatu.

“Belum sih Mas, kenapa?”

“Aku baru ingat, temanku ulang tahun dan aku pernah bilang kalau kamu bisa bikin kue ulang tahun, trus dia pesan satu untuk jum’at sebelum makan siang, kamu kira-kira bisa antar nggak?”

Hmmm … selalu saja seperti ini kelakuan Mas Arya, bertanya satu hal aku bisa atau tidak, tapi dia sendiri yang sudah memutuskan dan pastinya aku nggak mungkin bisa menolaknya. Ingin sekali aku menolaknya, tapi lagi—lagi kalau aku menolaknya, sudah barang tentu Mas Arya ngambek lagi.

Ngambeknya persis seperti anak kecil, setiap satu hal nggak sesuai dengan keinginannya, aku pasti dicuekin. Disenggol atau ditawari makan pun pasti nggak jawab. Tidur pun sudah pasti memunggungiku. Mas Arya selalu saja jago kalau masalah aksi tutup mulutnya.

“Aku coba buatkan Mas, tapi apa dia ada permintaan khusus untuk dekorasinya atau mungkin request tertentu?” dan pada akhirnya aku mengalah. Mau nggak mau menurut padanya. Meski pun nggak nyaman. Semua aku lakukan demi menjaga keharmonisan keluarga kami.

“Nggak ada. Kamu bikin yang kayak biasa aja, toh dia pasti nggak akan makan. Itu paling buat formalitas aja di kantornya. Alamat kantor dan uang transferan kuenya nanti aku transfer ke rekeningmu, ok?” aku hanya mengangguk. Nggak mau membantah. Mencoba bersikap biasa dan memberikan senyuman terindah untuk mengantar kepergiannya, meskipun hatiku gondok setengah mati.

Hah, bisa—bisanya pesan kue untuk formalitas. Dia nggak tau apa, aku buatnya nanti setengah mati. Trus dia nggak makan, ck, ck, ck, kelakuan anak orang kaya memang beda. Nggak pernah bisa menghargai apapun jerih payah seseorang. Bagi mereka, uang bisa menyelesaikan masalah.

***

Seharian ini aku hanya bisa duduk melamun. Entah kemana pikiranku. Sejak aku mengantar kue tadi siang, pulang ke rumah aku gelagapan dan lemas sendiri. Bahkan debaran jantungku masih terasa saat menyaksikan peristiwa menegangkan tadi siang.

Mengisi waktu dengan menonton tipi jadi hiburan satu-satunya untuk menghilangkan bayangan tadi siang. Aku masih belum bisa konsen dengan pikiranku.

Otakku tiba—tiba membayangkan dan suara desahan tadi siang benar—benar menggangguku.

“Hah, lupakan Nay, jangan gila. Masa ngebayangin punya orang sih … ah lebih tepatnya itu milik sahabat suami kamu sendiri, Nay. Please lupain!” gumamku sambil menikmati tipi channel luar yang sedang dalam tanyangan mendebarkan.

Aku tersedak hingga baju tidurku yang berwarna putih menerawang itu. tanpa aku kenakan penyangga di kedua gunung kembarku dan aku juga nggak menggunakan kain segitiga. Cairan soda berwarna merah tadi tepat tumpah di tengah—tengah hingga membuat ciplakan besar pada kedua gunungku.

Aku memang tidur tidak pernah menggunakan penyangga di kedua gunung dan kain segitigaku. Sebab aku ingin tidur bebas. Alasan lainnya karena aku ingin selalu menyambut Mas Arya pulang dengan keadaan seperti itu. Agar Mas Arya dengan mudah menjamah tubuhku, jika sewaktu-waktu dia menginginkan bercinta denganku.

Aku berani berbuat nekat seperti itu karena di rumah tak ada seorang pun. Aku hanya tinggal berdua dengan Mas Arya dan jujur kalau malam menjelang aku sangat merindukan semua sentuhan dari Mas Arya.

Aku terkejut saat mendengar bunyi bel rumah. Saat kulirik jam di dinding masih jam setengah tujuh malam. Sontak dengan penuh kegembiraan aku menyambutnya. Aku nggak sangka kalau malam ini Mas Arya pulang cepat.

Saking girangnya, karena memang Mas Arya jarang banget pulang cepat. Aku nggak mau melewatkan kesempatan ini. Aku akan merayunya habis—habisan di ranjang sebelum dia tidur nanti. Pikirku.

“Mas Arya, kamu pulang cepat? Aku senang banget!” saat kubuka pintu aku langsung melompat ke dalam pelukannya. Memeluk tubuhnya dengan erat. Aku seolah nggak sabar ingin menyalurkan semua gairah-ku malam ini dengan Mas Arya. Pokoknya, aku sudah bertekad nggak akan ngijinin dia tidur, sebelum malam ini aku puas. Aku ingin menghilangkan semua bayangan dan desahan kenikmatan yang tadi siang kusaksikan ….

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel