Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 06 - Masukin Kai

Napasnya yang hangat menyentuh telingaku, suaranya seperti alunan melodi yang langsung menyentuh naluriku. Aku tidak bisa berpikir jernih lagi. Saat itu, hanya ada dia, hanya ada kami.

Aku menunduk, bibirku menyentuh lehernya, mencium kulitnya yang halus. Aroma parfumnya bercampur dengan aroma tubuhnya, membuatku semakin tenggelam. Fiona mendesah pelan, tubuhnya bergetar di pangkuanku.

“Kai…” suaranya hampir tak terdengar, tetapi jelas penuh dorongan yang tak lagi bisa ditahan.

Tanganku bergerak perlahan di punggungnya, meluncur ke pinggangnya, merasakan setiap lekuk tubuhnya yang sempurna. Aku mencium lehernya lebih dalam, bibirku meninggalkan jejak-jejak kecil yang membuat tubuhnya semakin merespons. Fiona memiringkan kepalanya sedikit, memberikan lebih banyak ruang untukku.

Aku tidak bisa menahan diri lagi. Fiona adalah badai yang tak bisa dihentikan, dan aku? Aku adalah kapal yang sudah kehilangan kendali, terombang-ambing oleh kekuatan yang terlalu besar untuk kulawan.

“Fi… kamu yakin?” tanyaku di sela napas yang memburu, mencoba mencari kepastian meskipun aku tahu jawabannya.

Dia tidak menjawab dengan kata-kata. Sebaliknya, tangannya yang melingkar di leherku semakin kuat menarikku lebih dekat. Ciumannya kembali mendarat di bibirku, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Bibir kami bergerak dalam sinkronisasi yang sempurna, penuh dengan emosi dan gairah yang tidak lagi bisa dibendung.

Perlahan, aku membuka kancing blusnya satu per satu. Setiap kancing yang terlepas adalah sebuah rahasia yang terungkap, sebuah undangan ke dalam dunia gairah yang menggairahkan. Kulitnya yang putih bersih terlihat di bawah cahaya lampu ruangan, membuatku semakin tak mampu menahan diri. Aku menciumi lehernya lagi, bibirku menelusuri setiap lekuk kulitnya yang halus, turun ke dadanya yang naik turun mengikuti napasnya yang terengah-engah.

Tanganku mencari pengait bra Fiona, dan dengan sekali jentikan, bra Fiona berhasil kulepas. Payudaranya yang masih padat dan indah sekarang tanpa penghalang, begitu menggoda, sungguh sempurna. Putingnya mengeras, memerah, sebuah tanda yang tak bisa disembunyikan. Aku membungkuk, mencium lembut putingnya yang sensitif, merasakan kulitnya yang halus dan hangat di bawah bibirku. Fiona mendesah, sebuah suara yang lembut dan penuh gairah, yang membuatku semakin kehilangan kendali.

“Kai, ahhhh...”

Bibirku menghisap puting Fiona, menariknya dengan lembut, kemudian lebih keras, hingga aku mendengar lenguhannya yang semakin keras. Di saat yang sama jemari tangan kiriku meremas bukit kembarnya, meremas dan memijit dengan irama yang menggoda.

“Auhhh... Kai.... ahhh...” desah Fiona. Pinggulnya kini mulai bergerak lincah di pangkuanku, gerakan yang liar dan tak terkontrol, membuat kejantananku mengeras di balik celanaku, mendesak untuk dilepaskan. Aku merasakan aliran panas yang tak tertahankan.

Aku dapat mencium aroma tubuh Fiona yang semakin kuat, semakin memabukkan. Merasakan kehalusan kulitnya, setiap pori-porinya. Merasakan bukit kembar miliknya yang sangat kenyal, bergetar di bawah sentuhanku. Aku merasakan tubuhnya yang bergetar terhadap tubuhku, sebuah respon yang membuatku hampir kehilangan kendali sepenuhnya.

Aku terus mencium. Jemariku terus meremas, menarik, melepaskan, membuatnya merintih. Jemari tangan kananku kini bergerak ke bawah, membelai pahanya yang mulus, naik turun, lalu meraba bagian di antara kedua pahanya.

Aku dapat merasakan kehalusan celana dalamnya yang tipis, hampir tak terasa. Aku juga bisa merasakan kalau di areal itu mulai basah, lembab, menjanjikan. Aku tahu aku hampir sampai pada puncaknya. Aku menciumnya di perutnya, menjilati kulitnya yang rata, kemudian naik ke dadanya, mencium dan menghisap putingnya bergantian. Fiona kini semakin sering menggeliat, tubuhnya semakin basah, semakin panas.

Aku memeluknya dan mengangkatnya, menggendongnya, kedua kaki Fiona melingkar dan mengapitku. Ciumanku mencecar bibirnya, melewati lehernya, turun ke dadanya lagi, membuatnya mendesah tak tertahankan. Aku berjalan perlahan menuju sofa kulit yang ada di ruanganku dan merebahkan Fiona terlentang, kedua kakinya menjuntai.

Aku membungkuk dan menyingkap roknya yang pendek. Bibirku kini beraksi di bagian pahanya, mencium, menjilati, memanjakannya dengan sentuhan-sentuhan liar. Sementara jemari kedua tanganku masih terus meremas sepasang bukit kembarnya, memainkan putingnya dengan jempol dan telunjukku.

“Kai... ahhh kaiii..aku ingin lebihhh..” Aku mendengar Fiona memohon, suaranya terputus-putus karena nafasnya yang terengah-engah. Namun aku tak peduli. Permainan baru saja dimulai, dan aku akan memainkannya sampai dia meraih puncaknya.

Aku mengangkat kedua kakinya dan menekuknya. Dia kini mengangkang di sofa, posisi yang sempurna. Bibirku mencium celana dalamnya yang berwarna hitam berenda, merasakan kelembapannya yang semakin meningkat. Aku merasakan sesuatu yang basah dan hangat. Itu adalah keinginannya, keinginannya untukku.

Dengan lembut jemariku menyingkap celana dalamnya ke sebelah kanan. Dan aku melihatnya… sesuatu yang selama ini tak pernah kubayangkan dan kuimpikan. Aku melihat bagian itu. Bagian paling rahasia milik Fiona. Aku melihat bulu halusnya yang lembut, dan daging mungil yang menonjol, merah dan basah. Keajaibannya membuatku terpesona.

Aku menggerakkan lidahku menyentuh daging itu. Sentuhan pertama, dan Fiona menggeliat, tubuhnya menegang lalu rileks.

“Kaiii... Ahh… Kaiii....”

Lidahku kembali bermain, menjelajah, merasakan kelembutan dan kehangatannya. Lidahku mencecap rasa asin yang khas, dengan aroma yang juga khas. Aroma dari bagian tubuh perempuan yang sudah terangsang, aroma yang membuatku semakin liar.

Pinggul Fiona bergoyang dengan gerakan yang lincah dan menggoda, seolah menari mengikuti irama nafasnya yang menderu. Aku tak berhenti menghisap klitorisnya yang sensitif, lidahku bergerak lincah, menjelajahi setiap lekuk daging kecil itu, sementara jemari tanganku terus meremas dan memijat bukit kembarnya. Aku semakin terhanyut dalam kenikmatan yang ditawarkan tubuhnya.

Dengan nafas yang memburu, aku terus menghisap dan menjilati klitorisnya, membuat Fiona semakin terengah-engah. Tubuhnya yang indah bergetar di bawah sentuhanku, setiap pori-porinya seolah hidup, merespon setiap sentuhan dan hisapanku. Aku bisa merasakan kenikmatan yang dia rasakan, desahan dan lenguhannya adalah bukti dari gelombang kenikmatan yang menerjang tubuhnya.

"Ahhh... Kai... Jangan berhenti... Ahhh..." Fiona mendesah, suaranya penuh gairah dan keinginan. Pinggulnya bergoyang semakin cepat, seolah menantangku untuk terus melanjutkan permainan ini. Aku menaikkan intensitas hisapanku, menjilati klitorisnya dengan lembut namun penuh gairah, membuat Fiona semakin terperangkap dalam kenikmatan yang tak tertahankan.

Tiba-tiba, tubuh Fiona melenting, seolah tersambar petir. Jemari lentiknya meremas rambutku, menekan wajahku lebih rapat ke arah kewanitaannya, seolah ingin menahan ledakan kenikmatan yang akan segera datang.

"Ssshhh... Ahhhh... Kaiiii... Ahhhh..." Fiona mencapai puncaknya, tubuhnya menyentak-sentak, seperti tersengat listrik. Matanya terpejam rapat, wajahnya memancarkan ekspresi kenikmatan murni. Tubuhnya bergetar hebat, setiap ototnya seolah menari, merespons gelombang kenikmatan yang menerjangnya.

Aku bisa merasakan cairan hangat yang membasahi bibirku, bukti dari orgasme yang dialami Fiona. Tubuhnya bergetar tak terkendali, lenguhannya berubah menjadi desahan panjang, seolah tak mampu lagi mengeluarkan kata-kata. Aku terus menjilati dan menghisap klitorisnya, merasakan setiap kontraksi otot-otot kewanitaannya, menikmati setiap detik dari kenikmatan yang dia rasakan.

Fiona perlahan membuka matanya, pandangannya kabur, namun aku bisa melihat kilau nafsu yang masih terpancar di sana. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur kembali napasnya yang terengah-engah.

"Kaii…., enak bangettttt," bisiknya, suaranya serak karena desahan yang baru saja dilepaskannya.

Fiona menarik tubuhku lebih dekat, wajahnya mendekat ke wajahku, dan kami berciuman dengan penuh gairah. Cairan kenikmatannya masih terasa di mulutku, meninggalkan rasa manis yang menggoda. Bibirnya menghisap bibirku dengan lembut, namun dalam, seolah ingin menyerap setiap sisa kenikmatan yang tersisa. Aku merasakan gelombang kenikmatan yang masih bergemuruh dalam dirinya, mengalir melalui ciuman kami.

Tangan kanannya mulai bergerak lincah, menggerayangi celanaku. Jemari lentiknya membuka ikat pinggangku dengan cepat, lalu dengan gerakan yang terampil, dia melepas kait celana kainku. Jari-jarinya yang halus meraba kulitku, membuatku merinding. Fiona menurunkan sedikit resleting celanaku, dan tanpa ragu, tangannya meluncur ke dalam celanaku.

"Kaii..., punya kamu," desah Fiona, matanya membelalak kaget saat tangannya menemukan kejantananku yang sudah mengeras sejak tadi. Kejantananku yang tegang dan siap untuknya, seolah menyeruduk untuk dilepaskan dari kandangnya.

Fiona meremas kejantananku dengan lembut, merasakan setiap lekuk dan teksturnya. "Punya kamu besar sekali, Kai," bisiknya, suaranya serak karena gairah. “Masukin ya, pleasee,”

Raut wajah Fiona berubah menjadi ekspresi yang semakin menggemaskan, matanya memancarkan nafsu dan keinginan. Aku tak kuasa menahan diri, bibirku menyentuh bibirnya, dan kami berciuman dengan penuh gairah. Ciuman kami semakin dalam, lidah kami saling bertaut, menari dalam sebuah tarian kenikmatan.

Sambil terus berciuman, aku menurunkan celanaku, membebaskan kejantananku yang masih diremas dan dikocok oleh tangan Fiona. Kejantananku yang tegang dan siap untuknya, seolah tidak sabar lagi untuk merasakan kehangatan tubuhnya.

Fiona menggerakkan tangannya dengan lembut, mengarahkan kejantananku ke arah lubang kenikmatannya. Perlahan, dia menggesekkan kejantananku ke permukaan yang lembut dan basah, dia mengerang kenikmatan, tubuhnya bergetar saat kejantananku menyentuh bibir kewanitaannya. Dia menggerakkan pinggulnya, menggesekkan kejantananku ke arah yang dia inginkan.

"Masukin, Kai... please," desahnya, suaranya penuh gairah dan keinginan.

Detik-detik itu terasa seperti abad. Fiona, dengan mata yang masih berbinar nafsu, mengarahkan kejantananku ke pintu gerbang surganya. Aku bisa merasakan kelembapannya, kehangatannya, aroma khasnya—aroma yang membuatku hampir kehilangan kendali. Aku hampir saja… hampir saja…

Tiba-tiba,

Tap Tap Tap Tap Tap Tap

Suara itu. Suara yang memotong kenikmatan yang hampir kurasakan sepenuhnya. Suara langkah kaki. Langkah kaki yang mendekat dari luar ruangan kantorku. Jantungku berdebar kencang, bukan karena gairah lagi, tapi karena panik.

Fiona juga mendengarnya, raut wajahnya berubah menjadi khawatir, campuran antara gairah yang belum terpuaskan dan kecemasan. Kita berdua saling pandang dan terdiam, udara yang semula dipenuhi aroma gairah tiba-tiba terasa dingin dan mencekam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel