Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Desahan Pria di Kamar Hotel

"Mbak yakin? Apakah Mbak sudah cek semuanya dengan benar?" tanya Jasmine yang mulai panik, suaranya terdengar bergetar walau ia berusaha mati-matian untuk tetap terlihat tenang di hadapan resepsionis itu.

"Saya sudah cek dengan benar, Nona," angguk resepsionis tersebut, nadanya datar tanpa sedikit pun menyadari kepanikan Jasmine yang semakin menjadi-jadi.

Mendengar jawaban itu, tubuh Jasmine mendadak terasa lemah dan lunglai. Lututnya seakan kehilangan kekuatan, membuatnya hampir roboh jika saja ia tidak cepat-cepat berpegang pada meja resepsionis. Seketika hatinya berdesir hebat, dan napasnya terasa berat di balik cadar yang menutupi sebagian besar wajahnya.

"Astaghfirullahaladzim. Dimana kamu, Rosa?" lirih Jasmine, suaranya nyaris hilang. Genangan air mata terlihat berkumpul di pelupuk matanya, membuat dunia di depannya tampak kabur sejenak.

Kecemasannya telah memuncak. Jasmine sudah dikuasai rasa panik yang begitu mencekik, sampai-sampai ia nyaris saja putus asa. Ia tidak tahu harus melangkah kemana lagi untuk mencari adiknya. Semua petunjuk terasa buntu, membuat hatinya seakan diremas oleh tangan tak terlihat.

"Huhuhu. Ya Allah, dimana Rosa? Semoga dia baik-baik saja, Ya Robb." Tangis itu tak jatuh, tetapi suaranya terdengar lirih dan bergetar, menandakan betapa rapuh dirinya saat itu.

Karena tak menemukan keberadaan Rosa di hotel tersebut, Jasmine akhirnya memutuskan bahwa satu-satunya jalan yang mungkin ia tempuh adalah pulang. Lebih lama berada di hotel seperti itu justru membuat dadanya semakin sesak. Terlebih saat ia melihat dua remaja lelaki dan perempuan yang masuk sambil berangkulan mesra, membuat Jasmine spontan memalingkan wajah dengan gerakan cepat. Tubuhnya bergidik penuh ketidaknyamanan, seakan tempat itu begitu asing dan penuh dosa.

"Ya, memang sudah seharusnya aku pulang," gumamnya lirih, mengangguk pelan pada dirinya sendiri.

Ia pun berbalik dengan langkah terburu-buru. Namun, baru saja ia memutar tubuh, matanya menangkap sosok seorang gadis berhijab yang sekilas—hanya sekilas—sangat mirip dengan Rosa.

Jasmine tertegun. Ia mematung seperti patung marmer yang tak mampu bergerak barang sedetik pun. Tatapannya melebar, menatap intens ke arah gadis bergamis panjang itu.

"Itu Rosa. Ya, itu memang Rosa." Jasmine mengangguk spontan, suaranya dipenuhi harapan yang sempat hilang. Kegembiraan melesat masuk memenuhi hatinya, seperti cahaya terang yang memecah gelap.

Sosok gadis berhijab itu berjalan cepat menuju lift, seolah tidak menyadari bahwa ada seseorang yang tengah mencarinya mati-matian.

"Masya Allah, Rosa!" seru Jasmine yang langsung berlari. Suaranya menggema di lobi hotel yang luas, namun ia tidak peduli.

Ia berusaha mengejar secepat mungkin, tetapi pintu lift keburu tertutup sebelum ia berhasil masuk. Jasmine menepuk-nepuk pintu lift itu dengan panik, seakan berharap lift tersebut akan terbuka kembali. Namun tentu saja itu percuma.

Jasmine lunglai, kembali kehilangan tumpuan harapan yang baru saja ia genggam. Nafasnya terengah, dadanya terasa semakin sesak, dan kecemasannya seperti gelombang besar yang menghantam dirinya berulang kali.

"Ya Allah, Rosa! Tunggu kakak!" serunya frustasi.

"Astaghfirullah, aku harus bagaimana lagi?" bisiknya, hampir menangis di tempat.

Saat ia menunduk, berusaha mengatur napas, pandangannya menangkap sebuah tangga darurat yang berada tidak jauh dari lift. Di sana, entah bagaimana, muncul seberkas harapan baru. Senyumnya muncul perlahan, sangat tipis, namun begitu tulus.

"Iya, aku bisa melewati tangga itu untuk mengejar Rosa," tekadnya dengan penuh semangat yang kembali pulih.

Tanpa ragu, Jasmine segera mengambil langkah panjang dan berlari menaiki tangga tersebut. Ia menelusuri lantai demi lantai, menahan napas, menahan letih, demi satu tujuan: menemukan Rosa.

Setibanya di lantai lima, lutut Jasmine terasa seperti hendak copot. Nafasnya tersengal-sengal, dan peluh membasahi dahinya hingga terasa pedih saat menyentuh kulit.

"Masya Allah, capek banget," keluhnya. Meski begitu, ia langsung menyeka keringatnya dengan ujung gamis, bersiap melanjutkan pencarian.

Saat ia mengangkat wajah, mendadak matanya kembali menangkap sosok gadis yang mirip Rosa tadi. Senyum lega terapung di matanya yang kembali berair.

"Rosa. Itu dia," gumamnya dengan suara lega yang tak bisa disembunyikan.

Jasmine segera berlari lagi, mengikuti adiknya dari kejauhan. Ia melihat dengan jelas bagaimana gadis itu berdiri di depan salah satu pintu kamar hotel, lalu masuk.

"Ya Allah, apa yang Rosa lakukan kesana? Kenapa dia masuk ke kamar itu?" kecemasannya menggulung kembali, jauh lebih besar dari sebelumnya.

Ia menghampiri kamar tersebut dengan hati-hati namun tergesa-gesa. Sampai akhirnya ia berdiri tepat di depan pintu.

"Aku yakin kalau tadi Rosa masuk ke kamar ini. Aku akan segera mencarinya ke dalam. Bismillah."

Jasmine menarik napas panjang, meneguhkan hati, lalu perlahan memutar gagang pintu dan masuk ke dalam.

Begitu masuk, ia tertegun. Kamar itu gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu pojok. Suasananya tampak tidak berpenghuni, namun aneh… ada aroma tidak sedap yang menyelinap masuk ke balik cadarnya, membuat perutnya bergejolak.

"Bau apa ini?" desis Jasmine pelan, berusaha tetap tenang.

"Aaahhhh."

Jasmine langsung tersentak. Suaranya hampir tidak keluar karena kaget. Suara itu… suara seorang pria. Suara desahan yang jelas tidak seharusnya ada dalam ruangan suram seperti ini.

"Astaghfirullahaladzim." Jasmine mengusap dadanya, berusaha mengusir rasa pusing yang tiba-tiba menyerang.

"Suara siapa itu? Apa jangan-jangan? Rosa?" pikiran buruk kembali menyeretnya ke jurang cemas.

Dengan tangan gemetar, Jasmine menelusuri dinding, mencari tombol lampu. Begitu menemukannya, ia langsung menyalakannya tanpa pikir panjang.

Pyarr!

Dalam sekejap, seluruh ruangan terlihat jelas. Kamar itu berantakan: botol kaca, tas terbuka, seprai kusut. Namun semua itu bukan fokus Jasmine. Tatapannya langsung tersedot ke arah ranjang, dimana terlihat jelas ada seseorang bergumul di balik selimut tebal.

"Ahh! Ohh!" suara desahan pria terdengar samar, membuat Jasmine bergidik ketakutan.

"Rosa, awas kamu," geramnya, setengah marah, setengah takut.

Dengan langkah terburu, ia mendekati ranjang itu. Jantungnya berdetak sangat keras, seakan hendak meledak. Tangan Jasmine langsung mencengkeram ujung selimut, menariknya dengan hentakan kuat.

"Rosa!"

Namun apa yang terlihat justru membuat Jasmine membelalak lebih besar dari sebelumnya. Napasnya terhenti, dan tubuhnya seketika gemetar hebat.

"Aaaaaaaa!"

"Aaaaaaaa!"

Ia dan pria itu menjerit bersamaan. Refleks, Jasmine menutup kedua matanya dengan tangan.

"Hey, apa yang kamu lakukan?" bentak pria itu, terkejut setengah mati sambil buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Pria itu tampak linglung, bertelanjang dada, dan hanya mengenakan boxer yang jelas memperlihatkan bentuk tubuh bagian bawahnya yang tampak menggembung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel