Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chp 7 - Kontrak Kerja

"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku langsung menyapa dan meminta maaf padanya? Atau, aarrgghh, seharusnya kemarin aku tidak memberikan kesan seperti itu padanya. Bodoh sekali kau, Leon."

Leon merutuki kebodohannya kemarin. Pintu dibuka Bisma.

"Bagaimana? Apa kau sudah melihatnya?" Leon menghampiri Bisma dan penasaran.

"Wanda sedang mewawancarainya di ruangan. Kemungkinan besar dia akan menggantikan posisi Renita yang resign sebagai sekretaris Arlan!" Mata Leon membulat lebar ketika Bisma menyebutkan Arlan.

"Arlan? Pria brengsek yang selalu membawa banyak wanita ke ruangan dan memuaskan nafsunya. Tidak, aku tidak setuju, tukar dengan Jenita, biarkan dia disini!" perintah Leon.

"Baik, Tuan. Saya akan ke ruangan Wanda dan berbicara dengannya!" Bisma menatap wajah tuannya, ini pertama kalinya setelah sekian tahun Bisma dapat melihat wajah Leon yang bersemangat akan sesuatu hal.

"Cepat sana pergi, kalau dia sudah menerimanya, mutasi segera ke tempatku!" Leon mendorong tidak sabaran tubuh Bisma keluar ruangannya. Dia tidak ingin kalah cepat dengan Arlan.

"Ya ampun,  Tuan, Anda kebakaran jenggot sendiri padahal hasilnya belum diputuskan." Bisma geleng geleng kepala saat keluar ruangan tuannya.

***

Di ruangan Wanda,

"Bagaimana apa kau sudah membaca kontrak kerja dan menerimanya?" ucap Wanda melihat wajah Nisa menimbang-nimbang pekerjaannya.

"Seorang sekretaris pribadi? Aku bahkan tidak mengerti bagaimana cara kerjanya. Apa aku tolak saja ya? Adam mencarikan aku pekerjaan yang tak sesuai, namun aku sangat membutuhkan uang untuk membiayai pengobatan mama." 

Nisa masih dengan kemelut batinnya. Meragu antara menerima atau tidak.

"Bagaimana Nisa?" ucap Wanda membuyarkan lamunan Nisa.

Wanda tahu kalau Nisa akan menolaknya. Namun, dia harus segera mencarikan pengganti Renita sebagai sekretaris Arlan kalau tidak Arlan akan terus membuat keributan.

"Ah, itu ... sepertinya saya meno–,"

Suara pintu diketuk. Wanda langsung berdiri ketika melihat Bisma berdiri dihadapannya. Bisma tidak mungkin datang begitu saja keruangan Wanda jika bukan karena hal mendesak.

"Se–selamat pagi, Pak Bisma, ada yang bisa saya bantu?"

Wanda segera menghampiri ketika Bisma memberikan kode untuknya. Bisma membisikkan sesuatu di telinga Wanda dan membuat Wanda melirik Nisa ketika mendengar perintah yang keluar dari mulut Bisma.

"Ba–baik Pak!" Bisma sudah keluar dari ruangan Wanda.

"Maaf sedikit tergantung ya, Nisa!"

"Oh, tidak apa-apa, Bu!"

"Jadi bagaimana keputusannya?" Wanda mengulangi lagi pertanyaan tentang tawaran pekerjaan itu.

"Maaf Bu, sepertinya pekerjaan ini tidak sesuai untuk saya. Apa Ibu tidak bisa mencarikan saya satu posisi yang tepat, misalnya staff admin atau mungkin cleaning service?" Nisa tidak ingin terikat pada satu pekerjaan, karena dia ingin mencari pekerjaan lain untuk menutupi biaya pengobatan ibunya.

Gluk. 

Wanda menelan ludahnya sendiri, apalagi dia tadi sudah dapat ultimatum. Nisa harus bisa diterima bekerja. Kalau tidak, posisinya sekarang menjadi taruhan terbesar. Wanda akan langsung dipecat Bisma kalau sampai Nisa menolak tawaran pekerjaannya.

"Kau yakin menolaknya? Isi kontrak tadi hanya formalitas karena saya diminta secara resmi oleh pimpinan, dan beliau akan membayar gaji kamu tiga kali lipat. Bagaimana, Nisa?" tawaran Wanda menggoyahkan hati Nisa yang memang sedang sangat membutuhkan uang.

"Tiga kali lipat gaji? Apa tidak salah? Nominalnya sangat besar, aku bahkan bisa menabung lebih cepat untuk biaya operasi mama."

"Ibu yakin? Saya hanya bekerja sebagai seorang sekretaris. Saya tidak akan melakukan hal yang aneh kan?" Nisa menatap wajah Wanda yang terlihat gelisah. 

Dia tak mungkin saja menyetujui hal yang menurutnya sedikit mencurigakan apalagi setelah kedatangan orang yang dipanggil pak Bisma tadi.

"Tentu saja tidak Nis, pimpinan kami tidak seperti itu. Yang kami tahu dia adalah sosok tegas dan dingin. Bahkan selama lima tahun terakhir saya bekerja disini, saya bahkan belum pernah melihat dia bersama dengan seorang wanita. Malah saya sempat berpikir, kalau dia tidak menyukai wanita. Tidak ada yang berani mendekati dia, Nisa ... hmmm ... baginya pekerjaan nomor satu." Wanda menatap sesaat wajah Nisa yang sedang menyimak ceritanya.

"Jika kamu bekerja dengan dia, yang perlu saya tekankan disini adalah kamu harus bersedia dua puluh empat jam. Beliau akan sangat banyak kegiatan di luar kantor, bepergian, meeting dan pertemuan yang kadang mendadak. Jika beliau sudah menjadi atasanmu, kau tidak bisa menolaknya," lanjut Wanda bercerita tentang kepribadian pimpinannya.

"Dua puluh empat jam? Tidak istirahat? Tidak ada ruang pribadi?" Nisa cukup shock mendengar penjelasan atasannya yang bekerja sangat workaholic.

"Saya rasa jika kamu sudah bersama dengan beliau, kamu bisa bernegosiasi langsung. Beliau bukan orang yang tak berperasaan pada karyawannya!" Nisa tampak berfikir.

"Bekerja dua puluh empat jam dengan gaji tiga kali lipat. Aku akan lebih cepat menabung untuk biaya operasi mama. 

Well, tidak salahnya aku mencoba, aku rasa tidak buruk."

Sepertinya sekarang Nisa sudah yakin dengan alasan menerima pekerjaan itu.

"Dimana aku harus tanda tangan?" Akhirnya Nisa memutuskan untuk menerima pekerjaan itu.

"Akhirnya dia menerima juga. Aku rasa Jenita tidak akan menolak jika dia dipindahkan bersama pak Arlan, apalagi dia selalu mengeluh dengan ritme kerja pak Leon yang workaholic."

"Di sebelah sini, Nisa!"  Wanda memberitahu Nisa tempat untuk membubuhkan tanda tangan.

"Fuih, selamat, selamat. Terima kasih, Nisa, kau telah menyelamatkan pekerjaanku." Wanda seraya mengelus dada setelah Nisa mau menerima tawaran pekerjaan itu.

"Jadi kapan saya bisa memulai pekerjaan saya, Bu?" tanya Nisa setelah membubuhkan tanda tangannya.

"Saya akan antarkan kamu langsung ke ruang pimpinan ya, Nisa!"

"Baik, Bu!" Wanda beranjak dari duduk dan berjalan lebih dulu membuka pintu sebelum mereka berjalan berdampingan bersama.

Saat mereka berbelok di lorong koridor Nisa tak sengaja bertabrakan dengan seseorang dan membuat tasnya jatuh tepat di dekat kaki orang tadi.

"Ya ampun, Pak Arlan." Pekik Wanda panik.

Arlan langsung memicingkan matanya pada Wanda, "Siapa dia?"

"Sekretaris baru Pak Leon, Pak!"

Arlan, pria tampan bertubuh tinggi dan atletis itu menatap Nisa yang baru saja berdiri setelah memungut tasnya. Tatapan mata Arlan seperti singa buas, menatap tubuh mungil dan berisi milik Nisa dari ujung rambut hingga kaki membuatnya tak kuasa menelan ludah.

"Bagaimana dengan Jenita?" tanya Arlan kemudian.

"Maaf Pak, saya lupa memberitahu, mulai hari Jenita dipindahkan ke ruangan, Bapak!" Mendengar nama Jenita, Arlan seketika membayangkan tubuh molek dan tinggi Jenita yang tidak kalah menggodanya.

"Uhm, baiklah. Kalau begitu saya pamit. Saya sudah lapar ingin menyantap sarapan pagi," ucap Arlan. Namun, tatapan matanya melihat Nisa dengan buas seakan mau menerkamnya.

"Baik, Pak!" sahut Wanda sambil membungkukkan badan memberi hormat sebelum Arlan benar-benar menghilang dari hadapan mereka. Bahkan Arlan sempat beberapa kali menoleh ke belakang menatap Nisa.

"Hmm, sepertinya aku dapat mangsa baru."

Nisa sempat bergidik melihat tatapan menjijikkan yang terus di tujukan untuknya.

"Hiiihh, apa jadinya kalau aku jadi sekretarisnya." Nisa pun menyadari tatapan liar singa kelaparan tadi.

Wanda menyadari, "Aku hanya memberitahu, kalau bisa kamu jauhi dia, jangan berurusan dengan laki-laki mata keranjang dan terlena menjadi pemuas hasratnya saja, ya Nisa." Wanda segera mengultimatum Nisa agar tidak terkena jebakan atau rayuan dari Arlan.

"Untung saja pak Bisma tadi datang tepat waktu, kalau tidak aku sudah menyuruh Nisa untuk menanda tangani kontrak kerja bersama pak Arlan."

Sekali lagi Wanda merasa mengusap dadanya karena dia tidak salah mengambil keputusan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel