Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2

BAB 2

HAPPY READING

***

Anja tiba Six ounces coffee kini ia sudah berada di lobby. Ia mengedarkan pandangannya kesegala area, bangunan ini berupa rumah yang di renovasi sedemikian rupa hingga menyerupai café. Ketika memasuki gerai ini, suasananya sangat nyaman. Cefenya memiliki suasana ala modern nusantara. Benar-benar homey, nyaman dan rindang karena banyak tanaman hijau dan seperti sangkar burung. Kesan modern sangat terasa. Ada outdoor dan indoor, ia memilih duduk outdoor sambil menikmati pagi dengan suasana asri.

Ia melihat jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 08.40 menit, suasanan caffee pagi ini tidak terlalu ramai. Anjani berada di pintu masuk, ia memperhatikan Juliet bersama seorang pria, ia tidak tahu siapa pria itu, yang jelas, pria yang berbincang dengan Juliet itu tidak kalah tampan dari Oscar yang ia lihat kemarin. Ia menghampiri sahabatnya, setelah pria itu pergi meninggalkan Juliet.

“Siapa?” Tanya Anjani penasaran.

“Temennya papa.”

“Really? Masih muda loh dia, papa lo kan udah tua,” ucap Anja, ia tidak menyangka kalau teman papanya Juliet semuda itu.

Juliet tertawa, “Namanya juga rekan bisnis, nggak mandang umur lah.”

“Ganteng banget tau itu. Siapa namanya?”

“Christian.”

“Pasti tajir banget,” ucap Anja, karena ia melihat secara jelas look nya seperti apa.

“Setara sama papa,” bisik Juliet sambil terkekeh.

Alis Anja terangkat, “Keren banget dong.”

“Pastinya,” Juliet tertawa geli.

Anjani dan Juliet lalu duduk di kursi, ia memandang server membawa pesanannya. Mereka pun duduk dan menyesap coffee yang tersedia. Hot mocca yang ia sesap dark chocolate dan kopinya perpaduan yang sempurna karena tZidak ada after asem. Avocado juga tidak terlalu manis dan fresh.

“Lo dari tadi nungguin gue lama nggak?” Tanya Anjani.

“Enggak sih, barusan aja. Sekitar 10 menit yang lalu,” ucap Juliet.

Anjani memperhatikan Juliet, ia tahu kalau Juliet sudah bertemu dengan pria bernama Oscar yang katanya pernah dekat dan menyelamatkannya,

“Terus, gimana hubungan lo sama Oscar? Dia masih ngubungin lo nggak?” Tanya Anjani penasaran.

Juliet terawa, ia menyesap kopinya lagi, “Masih lah.”

“Terus kangen-kangenan?”

“Kangen-kangenan gimana maksud lo?” Tanya Juliet, sambil memakan pastry-nya.

“Seperti, peluk, kecup, manja,” Anja tertawa geli.

“Ah, lo ada-ada deh.”

“Kelihatan sih dia kangen banget sama, lo.”

“Nanti balik kerja dia ngajakin keluar gitu.”

“Seru tuh, lo mau?” ucap Anja, ia memakan cakenya yang super lezat.

“Mau lah.”

Juliet kemarin cerita kepadanya, bahwa sebenarnya dia dan Oscar dulu memiliki rasa. Namun Juliet menahan rasa itu kepada itu demi kebaikan bersama. Kepergiannya ke Bali selama 2 tahun untuk menghindari Oscar namun apa yang terjadi? Justru ketika menginjakan kakinya ke Jakarta, bertemu dengan pria itu lagi. Ia yakin Juliet dan Oscar itu sebuah jodoh.

Banyak kode alam yang menunjukan kalau mereka berjodoh selalu bertemu dengan orang yang sama entah itu kebetulan atau tidak, bagaimana alam ini bekerja, tidak ada yang tidak mungkin, karena bertemu secara berulang di saat yang tepat. Itu sebuah kode alam yang tidak bisa dihindari. Ia percayalah semua itu bukanlan kemungkinan, jodoh Juliet sedang berkomunikasi dengan lewat alam semesta ini.

“Semalam Oscar nelfon gue,” ucap Juliet pada akhirnya.

“Terus,” Anja menyesap kopinya lagi.

“Ngobrol-ngobrol aja. Gue tuh sebenernya nggak mau deket sama dia. Cuma kayaknya gue nggak bisa hindarin gitu. Hati dan pikiran gue nggak sinkron. Dominannya ke Oscar”

“Itu tandanya lo cinta sama dia,” ucap Anja to the point.

“Masa sih?”

“Yee, dibilangin nggak percaya. Yaudah jalanin aja sama Oscar, sekali-kali nyenengin diri, jalan kek ke mana. Emang, nggak kangen cium-ciuman udah dua tahun jomblo.”

Juliet lalu terawa geli, “Ih, gila ya lo, aneh aja deh.”

“Ya ampun, itu dibilang aneh. Kayak ABG aja deh.”

“Lo sering gituan ya, sama klien?” Tanya Juliet menyelidiki, ia tahu sahabatnya itu tidak sepolos yang ia kira, ia tahu Anja seperti apa.

Alis Anja terangkat dan lalu tertawa, “Ya, nggak lah, aneh aja lo. Tergantung klien nya oke apa nggak. Gue nggak kepikiran sama kali soal gituan.”

“Kirain kan, omset besar dapat tawaran gituan.”

“Kalaupun ada nggak mau lah.”

“Masa.”

“Suer deh, gue udah ketemu banyak orang, kalau ngajak makan, dinner, atau minum, masih oke lah di temenin. Kalau sampe chek in, kayaknya enggak deh.”

Ah, ia tidak bisa membayangkan akan tidur dengan klien, memikirkannya saja sudah merinding. Ia sebagai marketing yang sudah bekerja hampir 9 tahun lamanya yang pekerjaanya dibilang agak rancu, intinya ia mengharuskan berhubungan dengan klien langsung. Membangun building network, bertemu klien, memiliki banyak klien atau bahkan seluruh Indonesia. Kenal dengan keinginan pelanggan tetap. Namun baginya klien itu sangat penting karena ia sudah memiliki funneling channel. Bagaimana rasanya ada seorang pria yang tidak terlalu ia kenal yang ia anggap sebagai klien menjilat miss v atau menghujami tubuhnya. Ia memikirkannya saja sudah berkecamuk. Sepertinya ia memang tidak bisa tidur dengan kliennya, walau setampanpun itu, karena baginya perasaan itu nomor satu.

Jangankan dalam hal sex, hal sederhana saja misalnya berboncengan menggunakan sepeda motor, jauh lebih berkesan jika berboncengan dengan orang yang di sukai dari pada dengan orang yang tidak disukai. Saat dengan orang yang disukai rasanya perjalanan itu jauh menikmati setiap detiknya, dan perjalanan penuh makna.

“Lo habis ini langsung ketemu klien?” Tanya Juliet.

“Iya.”

“Siapa kliennya.”

Anja menarik nafas beberapa detik, ia menatap Juliet, “Pengusaha property namanya William.”

“William yang punya Metropolitan Grup.”

“Lo kenal?”

“Enggak terlalu sih, pernah denger namanya dari bokap.”

“Siapapun dia. Gue harapnya sih deal dia bakalan kerja sama.”

“Semoga ya, gue harapnya sih gitu.”

“Sombong nggak sih orang kayak gitu? Misalnya gaya bahasa tinggi atau sok cool, atau apalah itu,” Tanya Anja, ia memang tidak suka dengan klien yang punya sifat kritis, karena mereka biasanya mau di sembah-sembah.

“Enggak deh kayaknya mereka justru lebih sopan. Tapi nggak tau juga, kan gue nggak kenal.”

“Gue harap sih dia nggak terlalu kritis, ah yaudahlah semoga klien gue pak Willi ini orangnya nggak kritis, malas gue ngadapi orang kritis, tapi clingy juga males ngadepinnya.”

“Yang penting lo baik aja, ramah. Kalau nggak deal, harus lapang dada.”

“Gue nggak mau tau, itu klien harus deal.”

“Duh, gimana caranya?” Tanya Juliet penasaran.

“Ya pokoknya gimanapun caranya pak Willi harus deal, ini demi masa depan gue.”

“Hemmm, terus.”

“Pinter-pinter gue sih ngadepinnya gimana.”

“Kalau dia deal, ngajak lo tidur bareng gimana?”

Anja menutup wajahnya dengan tangan, “Tergantung dia ngambil berapa banyak? Tanda tangan NDA dulu.”

“Dasar ya lo.”

Anja tertawa, “Nervous tau.”

“Cielah, nervous, kayak pertama ketemu klien aja.”

“Tadi sih, lo ngomongnya tidur bareng, jadi nggak tenang gue. Kayak dejavu tau.”

Alis Juliet terangkat, “Really? Padahal gue becanda doang.”

“Ah, entahlah, gue ngerasa kalau itu bakalan terjadi.”

“Hanya perasaan lo doang,” ucap Juliet, ia menyesap kopinya lagi.

***

Tepat jam sebelas, Anjani sudah berada di Spectrum – Fairmont Jakarta. Ia memang sering bertemu dengan kliennya di sini, staff di sini juga banyak mengenalnya, dia ramah dan sangat helpful. Seperti biasa ia menjamu makan siang di sini bersama klienya, kalau kliennya ini merupakan kelas kakap, kalau biasa-biasa saja, mungkin cukup di office.

Restoran ini tempatnya memang tidak seluas buffet restoran hotel lain, namun makanannya tidak diragukan lagi, di sini enak-enak. Ia pernah makan lamian, kuah orginalnya enak, dimsum apa lagi, daging lamb tidak berbau dan sangat empuk, buah-buah selalu keadaan fresh, sushi roll juga enak, dan rata-rata kliennya puas, saat ia ajak makan di sini.

Anjani melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 11.00, ia di sini sudah sepuluh menit yang lalu. Ia mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan. Ia seketika bergeming memandang seorang pria yang baru masuk dari arah pintu masuk.

Pria itu mengenakan kemeja hitam dan celana berwarna senada. Ia memperhatikan struktur wajah pria itu, dia memiliki rahang yang tegas, alis yang tebal dan bibir yang menggoda untuk dicicipi. Oh God, ia berharap itu adalah kliennya. Jika kliennya setampan itu ia rela jika tidur bersama malam ini. Damn! Kenapa pikirannya sangat liar. Tatapan mereka lalu bertemu dan saling memandang satu sama lain.

Pria itu memandang seorang wanita mengenakan celana kulot berwarna coklat muda dan kemeja berwarna putih tanpa lengan. Rambutnya lurus berwarna hitam tampak sehat berkilau. Ia harus mengakui kalau wanita itu cantik. Dia memiliki mata yang bersinar, bulu mata yang lentik, alis terukir sempurna, bibir penuh sensual dengan lipstick berwarna nude. Ia melihat ada keterangan manager marketing di lanyard coach di dadanya.

“Ibu Anjani?” Tanyanya to the point.

Anjani menahan nafas beberapa detik, ia tidak menyangka bahwa pria itu mengetahui namanya. Anjani berikan senyum terbaiknya secara professional. Ia mengulurkan tangan kepada pria itu.

“Iya, saya Anjani. Apa bapak yang namanya bapak William?”

“Iya, saya William.”

Pria itu membalas uluran tangan Anjani, “Senang berkenalan dengan anda.”

“Terima kasih. Saya juga senang berkenalan dengan anda pak William.”

“Silahkan duduk pak.”

William dan Anjani lalu duduk, beberapa detik kemudian ia melihat server menghidangan dua cangkir hot coffee dan makanan pembuka di atas meja.

Anjani tahu bahwa kliennya ini adalah William seorang pengusaha sukses, biasa dipanggil Willi, pemilik dari Metropolitan Grup, proyeknya berpusat di Kemayoran, dan Jakarta pusat. Dia merupakan salah satu pengusaha property yang sukses. Salah satu bisnis property yang dikelolanya lewat Internasional Expo, perusahaanya dikenal sebagai penyelenggara dari Pekan Raya Jakarta atau PRJ.

Anjani melirik pak William menyesap kopi dan ia pun melakukan hal yang sama.

“Apa kamu menunggu saya dari tadi?” Tanya William kepada Anjani.

“Enggak pak, saya datang sepuluh menit yang lalu.”

“Sudah pesan?”

“Iya, sudah.”

William memandang Anja, cukup serius, “Tawaran kamu seperti apa?” Tanya William langsung ke inti pertemuan mereka.

Anjani mengeluarkan katalog bersampul kulit kepada William, “Ini pak penawaran saya, silahkan di baca dulu, nanti saya akan menjelaskan setelah bapak membaca penawaran dari saya.”

William mengambil katalog itu dari tangan Anjani, “Baik, terima kasih.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel