Bab.1. Sekretaris Mendadak Sakit
"Aakkhh!" Sandiaga Gunadharma limbung dan segera berpegangan dengan kursi ruang meeting.
"Om Sandi! Om ... Om nggakpapa 'kan?!" seru Cantika Paramitha sigap menangkap tubuh sekretaris kepercayaannya yang nyaris terjerembap ke lantai.
Pandangan pria berusia lebih dari setengah abad itu mulai tak fokus dan pendengarannya pun berdenging sekalipun dia dapat mendengar ucapan panik bosnya. Mereka baru saja selesai meeting dengan klien. Tiba-tiba tubuhnya hilang kekuatan dan segalanya gelap.
"Tolong ... tolong, Om Sandi pingsan!" teriak Cantika yang segera dikerumuni oleh para bawahannya. Dia pun dengan sigap menyuruh asisten sekretarisnya memanggilkan ambulans.
Setelah ambulans datang mengangkut pasien emergency tersebut, Cantika mengikuti mobil ambulans menuju ke rumah sakit ditemani oleh Merry, asisten Sandiaga. Dia sendiri yang mengemudikan mobil Porsche silver kesayangannya yang berharga selangit itu.
"Mer, coba keluarganya Om Sandi dihubungi. Kamu kenal 'kan?" ujar Cantika sambil fokus ke lalu lintas di hadapannya.
Namun, Merry tak langsung menjawab pertanyaan big bossnya tersebut. Setahunya Pak Sandiaga Gunadharma itu seorang duda cerai mati, putera tunggalnya bersekolah di Inggris. Jadi otomatis tidak ada yang bisa dia hubungi segera.
"Maaf, Bu Tika. Sepertinya kalau mau menghubungi keluarganya bakalan percuma," sahut Merry memilin-milin tangan di pangkuannya sembari melirik ke Cantika.
"Lho kok bakalan percuma sih, memangnya kenapa? Kalau biaya perawatan rumah sakit sih ditanggung asuransi dari kantor. Paling nggak ada yang bisa nemenin beliau sampai sembuh nanti," balas Cantika bingung dengan jawaban bawahannya.
"Tiiiiinn!"
Mendadak dia menekan klakson dan mendesis kesal karena seorang pengemudi sepeda motor tiba-tiba memotong jalurnya hingga nyaris berserempetan. "Gila, orang ... cari mati dia!" rutuknya.
Merry pun terkesiap kaget. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya karena Cantika mengemudi dengan sangat berani. "Sabar, Bu! Nggak usah buru-buru ngejar ambulans, Pak Sandi dibawa ke Rumah Sakit Permata Indah Medika. Kalau nggak tahu alamatnya bisa buka googlemaps aja," saran wanita berusia awal 20an tahun tersebut.
"Ckk ... bukan salahku kali, Mer!" kelit Cantika membela diri. Dia pun memelankan laju mobilnya agar asisten sekretarisnya tidak kena serangan jantung dadakan.
Setelah situasinya kembali tenang, Merry pun menjawab pertanyaan Cantika tadi, "Putera tunggal Pak Sandiaga itu bersekolah di Oxford University, Bu. Sepertinya kalau mau dihubungi kemungkinan besok atau entah kapan baru bisa kembali ke Jakarta!"
"Wah, jauh bener sekolahnya! Kerabat lainnya selain puteranya apa nggak ada sih, Mer?" sahut Cantika tak ingin menyerah.
"Nggak ada, Bu. Bukan keluarga besar sepertinya. Di biodata karyawan nggak ada keterangan selain Mas Arsenio itu deh!" Merry ingin rasanya menambahkan, 'jangan ngeyel deh, Bu!'
Memang big bossnya itu terkenal keras kepala, makanya sampai usia 36 tahun pun masih saja menolak untuk dijodohkan oleh orang tuanya. Alhasil, Cantika Paramitha terkenal di perusahaan milik keluarga Wiryawan sebagai perawan tua.
Sesampainya di rumah sakit, mereka berdua menunggu hasil pemeriksaan dari dokter spesialis internis terkait kondisi Sandiaga.
"Keluarga dari pasien Bapak Sandiaga Gunadharma!" panggil sang dokter spesialis internis.
Cantika pun tergopoh-gopoh menghampiri dokter botak berkaca mata tebal itu dan menjawab, "Saya, Dok. Gimana kondisi Om Sandi?"
"Mbak, ini pasien didiagnosa gagal ginjal kronis. Sudah lama sepertinya gejalanya diabaikan oleh beliau. Pada akhirnya ketahuan juga ketika sudah parah. Dari pihak rumah sakit akan menyarankan untuk perawatan opname dengan serangkaian terapi. Pak Sandiaga harus bed rest sementara waktu ditambah cuci darah rutin. Tolong diisi formulir data pasien dan diurus administrasinya ya. Apa ada pertanyaan lainnya?" tutur Dokter Alfian Chandra.
Tak ada yang bisa diandalkan oleh Sandiaga selain dirinya saat ini, terpaksa Cantika mengambil semua tanggung jawab tersebut. "Baik, Dok. Saya mengerti, akan segera saya urus formulir data pasien dan administrasinya. Terima kasih!" jawab Cantika dengan tenang.
Selepas kepergian dokter, Cantika pun mengajak Merry untuk mengisi data pasien karena asistennya lebih tahu dibanding dirinya.
Saat Merry mengisi formulir, dia pun bertanya, "Bu, yang jagain Pak Sandi siapa? Maaf, saya ada keluarga yang nggak bisa ditinggal di rumah."
Cantika menaikkan satu alisnya menatap Merry. "Lho memangnya kamu udah nikah, Mer?" selidiknya heran.
Wanita muda itu menghela napas mendengar pertanyaan Cantika. 'Iya kali betah ngejomblo seumur hidup kayak Bu Tika?! Helloow!' batinnya. Namun, yang terucap dari mulutnya berbeda, "iya, saya punya suami dan anak usia 2 dan 4 tahun di rumah."
"HAHH? Rame amat. Hihihi," seru Cantika lalu cekikikan karena menurutnya itu di luar logikanya. Dia malas ribet dan lebih suka dengan hidupnya yang simple, tinggal sendirian di apartment. Akhirnya dia memperbolehkan Merry untuk pulang duluan naik taksi online sendirian.
Setelah dipindahkan ke ruang ICU, Cantika pun diperbolehkan menjenguk Sandiaga. Pria berumur yang biasanya masih terlihat awet muda dan energik itu nampak kuyu. Rupanya segala beban pekerjaan yang diembannya dari Cantika menguras tenaga dan pikirannya.
"Om Sandi ... maaf ya kalau selama ini aku bikin Om kecapekan kerja. Susah cari sekretaris yang bisa diandalin kayak Om!" Cantika mendesah lelah, dia mulai berpikir alternatif untuk mencari pengganti pria yang sedang tergolek lemah di ranjang ruang ICU tersebut.
Perlahan kelopak mata yang berkerut-kerut ujungnya itu pun membuka dan menatap ke Cantika. Dia berkata lirih sekalipun masih kedengaran oleh wanita berpenampilan kusut tersebut, "Tika, maafin Om ya. Malah jadi ngerepotin kamu begini. Apa kamu bawa ponsel punyaku?"
Cantika pun menyingkap pakaian sterilnya lalu mencari di tas selempangnya benda yang dimaksud Sandiaga. "Ada di aku, Om. Gimana? Apa ada sanak saudara yang ingin dihubungi? Bisa pakai HP atau aku bantu ketik pesannya?" cerocos wanita berwajah oval itu penuh perhatian.
Senyum lemah menghiasi wajah keriput Sandiaga, dia pun menjawab, "Siniin HP-nya. Biar kutelepon si Arsen biar pulang ke Jakarta!"
Nama Arsen itu dikenali oleh Cantika sebagai Arsenio, putera tunggal sekretarisnya. Dia pun segera menyerahkan HP canggih berharga 8 digit itu ke tangan Sandiaga.
Sejenak pria beruban berpotongan rambut klasik belah pinggir itu menunggu nada sambung dari panggilan video call-nya dijawab.
"Halo, Papa. Lho ... lagi dimana nih? Kok pake baju rumah sakit sih?!" Suara seorang pria yang agak berat dan husky itu terdengar dari loud speaker ponsel Sandiaga.
"Halo, Sen. Papa di RS ini, sakit lumayan berat. Kamu pulang gih ke Jakarta, ada yang harus kamu kerjain di sini. Papa minta tolong, oke?" jawab Sandiaga dengan nada tegas sedikit memaksa.
Pemuda di ujung telepon itu pun terdiam sejenak sebelum berkata, "Oke. Besok Arsen mungkin sudah sampai Jakarta. Papa baik-baik di sana ya. Ehh ... iya, siapa yang jagain Papa?"
"Bagus kamu nanya, Sen. Yang jelas bukan Mbok Darmi yang jagain Papa!" Sandiaga tertawa renyah melirik Cantika yang ikut cekikikan. Dia lalu melanjutkan, "yang jagain Papa spesial. Cakep, perhatian pokoknya. Udah buruan kamu cari tiket pesawat, Papa tutup ya teleponnya!"
Arsenio menaikkan sebelah alisnya mendengar sosok yang disebutkan oleh papanya. "Papa nggak cari mama baru buat Arsen 'kan?" tanyanya curiga.
Kali ini Cantika tertawa sampai menyembur mendengar tuduhan putera sekretarisnya.
"Mau tahu aja deh kamu! Pulang dulu, oke?" balas Sandiaga tak menyebutkan siapa sosok yang menemaninya di ICU saat ini.
Akhirnya Arsenio setuju lalu menutup teleponnya. Sedangkan, papanya berbicara kepada Cantika, "Sudah, kamu pulang aja sekarang. Om bisa sendiri di sini, banyak perawat yang jagain. Besok kalau Arsen sudah datang, mau Om kenalin ke kamu. Nggak usah cari pengganti sekretaris dulu, sementara biar putera Om yang bantu kamu di kantor, Tika!"
"Boleh. Tika ikut aja saran Om Sandi, pasti itu yang terbaik," balas Cantika menghela napas lega. Dia pun berpamitan dengan pasien ICU tersebut lalu pulang ke apartmentnya sendirian. Sungguh satu hari tak terduga dalam hidupnya yang biasanya tenang dan nyaman.
Sambil mengemudikan mobil mewahnya, Cantika teringat suara putera sekretarisnya yang membuat bulu romanya sontak meremang.