Pustaka
Bahasa Indonesia

Fragile Heart (Hati yang Rapuh)

100.0K · Tamat
Abigail Kusuma
80
Bab
9.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Ditinggal begitu saja tanpa sebab oleh sang kekasih, membuat hidup Jasmine terpuruk. Jatuh cinta sedalam-dalamnya pada orang yang salah adalah hal yang paling menyakitkan di dunia ini. Wanita itu layaknya boneka yang sudah dibuang. Bertahun-tahun kemudian, Jasmine berusaha berdamai dengan kenyataan. Dia berusaha melupakan sosok pria yang telah menghancurkan hidupnya. Namun, sayangnya takdir seakan mempermainkan Jasmine. Setelah dia berjuang melupakan, tiba-tiba Jasmine bertemu Xavier—pria yang telah menorehkan luka yang dalam padanya. Hancur. Perih. Terluka. Tiga kata yang dirasakan Jasmine kala takdir kembali mempertemukannya dengan Xavier. Ditambah dengan kenyataan di mana ternyata Xavier adalah calon kakak iparnya membuat dunia Jasmine seakan runtuh. Lantas bagaimana cinta Jasmine? Akankah Jasmine sanggup menahan diri, agar tidak jatuh pada sosok Xavier yang merupakan calon kakak iparnya sendiri? Atau Jasmine akan menghancurkan pernikahan kakak kandungnya sendiri? Hidup Jasmine bagaikan berada di labirin, yang membuatnya tersesat dalam kekelaman. *** Follow me on IG: abigail_kusuma95

RomansaBillionairePengkhianatanPernikahanCLBKbadboy

Bab 1. Ditinggal Begitu Saja

Bibir Jasmine menyatu dengan bibir Xavier. Mereka saling melumat penuh kelembutan dan hasrat yang membara. Degup jantung keduanya begitu kencang, begitu terasa kala tubuh mereka saling berdekatan. Tangan Xavier meremas pelan pinggang Jasmine, memeluknya posesif, seolah tak ingin kehilangan gadis itu.

Tak hanya diam, Jasmine pun mengalungkan tangannya ke leher Xavier. Dia memperdalam ciumannya. Percikan-percikan perasaan yang tak mampu tertahan. Jasmine begitu mendamba sentuhan Xavier yang memabukkan. Membuat tubuhnya bergejolak. Bahkan rasanya Jasmine tidak ingin melepas bibir Xavier yang tengah menjelajahi bibir ranumnya.

“Bibirmu selalu luar biasa, Jasmine. Manis. Rasanya manis. Aku selalu menyukainya,” bisik serak Xavier tepat di depan bibir Jasmine.

Jasmine tersenyum sambil mengelus rahang Xavier. “Bibirmu juga luar biasa, Sayang. Aku menyukainya.”

Xavier menatap Jasmine dengan tatapan lembut, membelai pipi Jasmine. “Aku harus pulang.”

“Kau mau pulang?” Alis Jasmine terangkat, menatap kekasihnya sedikit bingung. “Kau tidak menginap di sini?”

“No, Sayang. Aku tidak bisa. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan,” jawab Xavier sembari mengecup kening Jasmine.

Ya, sudah tiga bulan ini hidup Jasmine benar-benar berwarna. Menjalin hubungan dengan Xavier Coldwell membuatnya sangat bahagia. Berawal berkenalan dari aplikasi kencan, akhirnya mereka memutuskan menjadi sepasang kekasih.

Bagi seorang Jasmine Stevanie Welsh, Xavier Coldwell adalah pelengkap hidupnya. Pria itu selalu membuat Jasmine nyaman. Bahkan pria itu pun selalu mampu membuat Jasmine jatuh hati setiap detiknya. Selama tiga bulan kehidupan mereka sudah seperti suami istri. Ranjang adalah tempat di mana mereka melepas rindu.

Jasmine tidak pernah menyesal menyerahkan dirinya seutuhnya untuk Xavier. Karena dia tahu Xavier adalah pria yang tepat. Jasmine yakin, Xavier begitu mencintainya seperti dirinya yang juga begitu mencintai Xavier.

“Kau ingin pergi ke mana, Sayang?” Jasmine memeluk lengan Xavier, dia tampak enggan membiarkan Xavier pergi.

“Ada urusan pekerjaan,” jawab Xavier sembari mengecup bibir Jasmine. “Kau tidurlah. Ini sudah malam.”

Jasmine mendesah pelan. Tak dipungkiri, dia tidak ingin Xavier pergi. Namun Jasmine pun tidak ingin egois. Hingga terpaksa akhirnya Jasmine menganggukkan kepalanya menuruti keinginan Xavier yang tidak menginap di apartemennya.

“Tapi janji kau harus menghubungi aku kalau sudah di rumah nanti,” pinta Jasmine dengan nada memaksa.

“Tenang saja, aku akan menghubungimu nanti.” Xavier mengecup lembut bibir Jasmine. “Aku pulang dulu.”

“Hati-hati, Xavier,” balas Jasmine hangat.

Xavier mengangguk. Lalu dia melangkah meninggalkan Jasmine yang masih bergeming di tempatnya. Sesaat embusan napas kasar Jasmine terdengar. Raut wajah gadis itu menatap kecewa punggung Xavier yang mulai lenyap dari pandangannya.

Saat sudah lebih dari satu jam Xavier pergi, Jasmine masih belum mendapatkan pesan dari Xavier. Raut wajahnya menjadi kesal. Ingin rasanya dia menghubungi kekasihnya itu, namun Jasmine memilih mengurungkan niatnya. Mungkin Xavier sedang sibuk. Itu yang ada di dalam benak Jasmine.

“Lebih baik aku tidur saja.” Jasmine kini memilih membaringkan tubuhnya di ranjang. Dia menarik selimut, menutupi tubuhnya itu. Rasa kantuk mulai menyerang. Nanti pagi pasti Xavier akan memberikan pesan ‘Good Morning’ padanya seperti kebiasaan sang kekasihnya itu.

***

Bunyi alarm di ponsel membuat Jasmine perlahan mulai membuka kedua matanya. Gadis itu itu mengerjapkan mata berberapa kali dan menggeliat kala sinar matahari menembus jendala kamarnya, menyentuh wajahnya.

“Ah, ini sudah pagi,” gumam Jasmine seraya mengambil ponselnya, menatap ke layar—waktu menunjukkan pukul delapan pagi.

Jasmine mulai membuka pesan masuk memastikan pesan dari Xavier. Namun, seketika raut wajah Jasmine berubah kala tidak ada satu pun pesan masuk dari Xavier. Tampak Jasmine menjadi bingung. Tidak biasanya Xavier tidak meninggalkan pesannya.

Jasmine terdiam sejenak. Di detik selanjutnya, dia menghubungi nomor Xavier. Satu, dua, hingga tiga kali dia memanggil tidak ada satu pun jawaban dari sang kekasih. Jasmine mendecakkan lidahnya kesal. Ini yang dia paling benci. Dia tidak suka kalau Xavier tidak menjawab teleponnya.

Jasmine mengatur napasnya. Berusaha meredakan rasa kesalnya. Gadis itu berpikir positive. Mungkin tadi malam Xavier sudah tidur. Itu yang ada di dalam benak Jasmine.

“Aku masak saja hari ini untuknya. Sebelum berangkat kuliah nanti, aku akan mengantarkan ke apartemen Xavier,” gumam Jasmine pelan.

Jasmine Stevanie adalah mahasiswa tingkat akhir. Dia tinggal sendiri di apartemen pribadi miliknya. Sebenarnya keluarganya pun masih tinggal di London, hanya saja Jasmine lebih nyaman untuk tinggal sendiri.

Jasmine melangkah menuju dapur memasak makanan yang Xavier sukai. Meski masih kesal, tetapi Jasmine berusaha untuk mengerti Xavier. Dia tahu, kekasihnya itu selalu sibuk dengan pekerjaannya.

Tak berselang lama ketika makanan yang dibuat oleh Jasmine sudah matang, dan telah diletakkan ke dalam kotak makan—Jasmine segera bersiap-siap untuk pergi ke kampus serta mengantar makanan yang dia buat untuk Xavier.

Sekitar tiga puluh menit Jasmine selesai bersiap-siap—dia langsung menuju ke luar apartemen mencari taksi yang sering lewat di depan lobby apartemennya.

“Nah itu dia taksi.” Jasmine mengangkat tangannya menghentikan taksi. Tepat di saat taksi sudah berhenti di hadapannya; Jasmine segera masuk ke dalam taksi dan menunjukkan alamat apartemen milik Xavier yang terletak di wilayah pusat kota London.

Sepanjang jalan entah kenapa hati Jasmine merasa tidak tenang. Seperti ada yang mengganjal pikirannya. Bahkan sekelebat pikiran buruk pun menyerbu dirinya. Lagi dan lagi, Jasmine menepis segala pikiran negative yang muncul.

Saat tiba di lobby apartemen pribadi milik Xavier, Jasmine segera membayar tarif taksi dan langsung menuju lantai dua puluh delapan—lantai di mana unit apartemen Xavier berada. Sebelumnya Jasmine pernah ke apartemen Xavier, walau baru hanya satu kali.

Saat Jasmine tiba di depan unit apartemen Xavier—dia langsung menekan bel apartemen miliki kekasihnya itu.

“Xavier, ini aku, Sayang,” panggil Jasmine lembut.

“Xavier?” Jasmine kembali memanggil Xavier, tapi masih belum ada juga jawaban. Andai saja dirinya tahu password apartemen Xavier, sudah pasti Jasmine akan langsung masuk.

Ceklek!

Pintu terbuka. Wajah Jasmine langsung sumringah bahagia.

“Xav—”

Perkataan Jasmine terpotong kala melihat seorang wanita paruh baya berpenampilan pakaian pelayan yang membuka pintu untuknya.

“Selamat pagi, Nona. Maaf Anda mencari siapa?” tanya sang pelayan dengan sopan pada Jasmine.

“Pagi, apa Xavier ada di dalam?” Jasmine bertanya dengan lembut.

“Maaf, Nona. Apa Anda temannya Tuan Xavier?” tanya sang pelayan lagi.

“Aku kekasih Xavier,” jawab Jasmine yang membuat raut wajah sang pelayan terlihat bingung.

“Nona kekasih Tuan Xavier?” ulang sang pelayan memastikan.

Jasmine mengangguk. “Iya, aku pacarnya. Xavier ada di mana?”

Sang pelayan tak mengerti. “Nona, tadi malam Tuan Xavier telah berangkat. Apa Nona tidak diberi tahu kalau Tuan Xavier tidak lagi tinggal di London?”

Jasmine terkejut. “Xavier tidak lagi tinggal di London?”

“Benar, Nona. Tapi saya tidak tahu ke mana Tuan Xavier pindah. Yang saya tahu, Tuan Xavier tidak lagi tinggal di sini,” jawab sang pelayan.

“Itu tidak mungkin!” Jasmine menggelengkan kepalanya tegas. Dengan cepat, Jasmine mengeluarkan ponselnya, berusaha menghubungi nomor Xavier. Satu, dua, hingga sepuluh kali gadis itu menghubungi nomor Xavier tetap tidak ada jawaban.

“Nona, tenangkan diri Anda.” Sang pelayan menjadi bingung kala melihat wajah panik Jasmine.

“Xavier tidak mungkin pergi begitu saja. Dia tidak mungkin meninggalkanku!” seru Jasmine dengan mata yang mulai berlinang air mata. Dia kembali berusaha menhubungi nomor Xavier, dan sayangnya hasil tetap sama. Tidak ada jawaban dari Xavier.

“Katakan padaku di mana Xavier!” Jasmine menatap tajam sang pelayan.

“Nona, Tuan Xavier sudah meninggalkan London sejak tadi malam. Beliau telah memutuskan meninggalkan kota London. Untuk kepindahannya, Tuan Xavier memang tidak memberitahukan pada saya, Nona,” ujar sang pelayan membuat Jasmine menangis keras.

Tubuh Jasmine melemah dan nyaris ambruk. Dalam benaknya mengingat tadi malam hubungannya baik-baik saja. Namun sekarang? Jasmine di hadapkan dengan kenyataan Xavier Coldwell meninggalkannya tanpa satu pun pesan.

Jasmine bersimpuh di lantai. Dia menangis keras. “Xavier, kau … jahat!”