Bab 1 Keluarga Bahagia
Bab 1 Keluarga Bahagia
“Patricia, apa kau benar-benar sudah yakin dengan keputusanmu ini?” tanya Daniel pada gadis yang tengah bersiap untuk datang ke rumah sakit tempat ia bekerja. Patricia mengangguk mengiyakan pertanyaan yang dilontarkan Daniel padanya, sembari tersenyum menengadah karena ia yang tengah mengenakan sepatu pansus hitamnya.
Daniel menyodorkan tas milik Patricia, gadis itu pun mengambilnya. Membuka kembali resleting tasnya dan memastikan surat-surat dan beberapa undangan yang harus ia bawa. Apakan sudah berada di dalamnya, ia takut kalau surat penting itu sampai tertinggal.
“Ayo,” ajaknya menggandeng tangan Daniel. Dan berjalan bergandengan tangan menuju sebuah mobil yang terparkir.
Patricia adalah seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta yang ada di kota ini. Ia masih muda, cantik dan menawan. Sangat beruntung bagi Daniel yang akan segera mempersunting Patricia yang juga menerima cinta kasihnya. Hampir setiap hari Patricia berangkat ke rumah sakit dengan diantar Daniel.
“Sayang, kamu akan selalu mendukungku, ‘kan?” tanya Patricia dengan manja pada pria yang sedang sibuk menyetir mobilnya.
“Apapun itu, aku akan selalu menerima semua keputusanmu, karena apa yang menurutmu baik, akan baik pula untukku,” ujar Daniel tak henti mengumbar senyuman menunjukkan betapa sayangnya ia pada Patricia.
Tidak memerlukan waktu lama untuk mereka tiba di rumah sakit. Patricia terus menggandeng tangan Daniel. Ia tampak enggan melepaskan tangan itu. Keharmonisan mereka berdua membuat semua orang yang berada di sana terus memerhatikan kemesraan di antara keduanya.
“Mereka memang pasangan yang sangat serasi, ya.” Para perawat yang ada di sana berbisik-bisik melihat keserasian Patricia dan juga Daniel. Menambah berbunganya hati Patricia mendengarkan penuturan jujur mereka yang katanya berbisik, tetapi Patricia masih dapat mendengarnya dengan jelas.
Seseorang yang berada di balik kaca ruangannya memperhatikan senyuman di wajah Patricia yang dilihatnya begitu sumringah. Namun, sudut matanya mendelik kesal pada pria yang berada di sebelah Patricia. Ia merasa tidak senang melihat kebersamaan yang ada di antara mereka berdua. Ia mengepalkan tangannya, menipiskan bibirnya, menunjukkan betapa emosinya ia melihat kedekatan Patricia dengan pria itu.
Patricia bertemu dengan atasan rumah sakit. Mereka bersalaman dan pria tua itu mengajak Patrcia dan juga Daniel ke ruangannya. Merasa tidak nyaman dengan apa yang dilihatnya, pemiliki sorot mata yang penuh dengan pengawasa, berdiri di balik dinding terus mengikuti langkah mereka.
“Saya ingin memberikan surat pengunduran diri saya, Pak.” Patricia memberikan surat pengunduran dirinya.
“Kamu adalah Dokter yang sangat berbakat, kenapa kau memilih berhenti, Patricia?” tanya pria tua itu.
Patricia hanya menjawab dengan senyuman. Tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman di antara dirinya dan juga pemimpin tertinggi di rumah sakit tempatnya bekerja.
Setelah memberikan surat pengunduran dirinya, Patricia pun menyodorkan surat undangan pernikahannya bersama Daniel, kepada pria tua itu. Pria tua itu mematut surat undangan yang ada di tangannya sembari terkekeh.
“Semoga kalian berdua bahagia, dan selalu diberkati Tuhan,” ujarnya ikut merasa senang dengan rencana besar Patricia dan Daniel.
Mereka berdua keluar dari ruangan itu dengan perasaan yang lapang. Karena ada Daniel di sampingnya, sehingga pria itu tidak jadi menyemburnya dengan kata-kata yang mungkin akan berusaha untuk mencegah Patricia keluar dari rumah sakit ini.
Mereka baru saja keluar dari ruangan itu, dan berdiri sejenak di depan pintu sembari Patricia mengeluarkan undangan dari dalam tasnya untuk di bagi-bagikan dengan rekan-rekan kerjanya.
Brukk!!!
Tiba-tiba seseorang melayangkan tangannya pada Daniel sehingga Daniel jatuh tersungkur. Patricia kaget dengan kejadian yang secara tiba-tiba, ia berusaha untuk melerai mereka.
“Stop it, Edmund!” pekik Patricia pada pria yang telah membuat wajah calon suaminya memar kemerahan akibat pukulan keras yang diberikan Edmund padanya.
“Aku tidak terima kau mengundurkan diri dari rumah sakit ini, Patricia!” ujar Edmund penuh emosi, matanya masih merah, sarat dengan kemarahan yang menggebu, bergejolak di jiwanya.
“Aku harus mengundurkan diri, Edmun!” Patricia berusaha berkata pelan untuk memberikan pengertian pada Edmund.
“Ini semua karena kamu, kamu telah memaksa Patricia untuk berhenti menjadi seorang Dokter,” geram Edmund masih tidak terima dengan keputusan yang diambil Patricia. Kembali ia melayangkan satu pukulannya pada Deniel. Patricia memberikan sebuah undangan berwarna merah itu kepada Edmun.
“Ini undangan pernikahan kami, setidaknya kau bisa datang ke acara pernikahanku, Edmund!”
Bagaikan petir yang menyambar di kepala, Edmund masih tidak mengira akan mendapatkan selembar undangan dari wanita yang telah ia kenal sejak ia masih duduk di bangku sekolah. Kekagumannya terhadap sosok Patricia hilang seketika.
Mereka berdua berlalu meninggalkan Edmund yang masih berdiri mematung, menatap surat undangan pernikahan Patricia dan Daniel yang ada di tangannya. Matanya nanar, sesekali sorot matanya tidak berkedip sedetikpun menatap pada punggung dua orang yang berlalu meninggalkannya.
Seminggu setelah kejadian Patricia pun menikah dengan Daniel.
*
Beberapa tahun kemudian
Patricia dan Daniel hidup bahagia di pernikahannya, bahkan dari pernikahannya mereka dikarunia seorang anak laki-laki yang tampan – bernama Aaron.
Pun, saat ini Patricia tengah hamil anak kedua mereka. Mereka sangat bahagia menantikan lahirnya sang buah hati yang berada di dalam kandungan Patricia yang masih berusia lima bulan saat ini.
Patricia dan Aaron tengah duduk di atas tikar yang digelar di taman – depan danau, dekat dengan tempat tinggal mereka saat ini. Sementara Daniel tengah menerima telpon dari rekan kerjanya, Patricia dan Aaron bermain ular tangga.
Suara kekehan Aaron terus menggema di taman terbuka itu, tak jarang Patricia pun ikut terkekeh mendengarkan kekehan suaranya.
“Mama kalah,” ledek Aaron,
“Iya, Mama kalah. Kita sudah dulu, ya, mainnya.”
Patricia meraih tubuh mungil Aaron dan membelai lembut kepala sang putera dengan penuh kasih dan cinta.
“Aaron mau punya adik perempuan atau laki-laki?” tanya Patricia.
“Apa saja, Ma. Yang penting adik aku sehat,” ucap Aaron yang masih terdengar cadel dalam penyebutan huruf ‘r’.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kandungan Patricia saat ini berusia Sembilan bulan. Saat malam harinya, Patricia mulai merasa kontraksi di perutnya. Berkali-kali ia keluar masuk toilet.
Perasaan mendayu-dayu di perutnya terus muncul. Hilang sebentar kemudian kambuh lagi. Sampai waktu Patricia merasa tidak tahan akan perutnya yang terus-terusan sakit karena ini adalah waktunya ia melahirkan sibuah hati yang berada di dalam kandungannya selama Sembilan bulan ini.
“Daniel… aw –,” Pekik Patricia sudah tidak tahan akan rasa sakitnya yang semakin terus-terusan hadir. Bahkan saat ini ia sudah terduduk di atas lantai, karena tak sanggup untuk berdiri lagi.
Dengan segera Daniel menggendong Patricia dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Sedangkan Aaron, ia masih tertidur lelap di dalam kamarnya. Daniel menitip Aaron kepada salah satu asisten rumah tangganya.
Turun dari mobil, para perawat dan suster yang ada di UGD keluar dan membawa brankar untuk Patricia yang masih terasa sakit dan kondisinya semakin melemah.
“Suster! Tolong Istri saya,” ucap Daniel ikut terus mendorong brankar membawa ke ruang bersalin.
Edmund yang baru saja keluar dari ruang operasi berpapasan dengan Daniel dan Patricia yang berada di atas brankar, merintih kesakitan. Namun, suaranya sudah melemah karena rasa sakit yang membuatnya terasa lelah.
Daniel dan Patricia pun menatap dengan jelas sosok Edmund, yang juga menatapnya. Namun, Edmund berlalu begitu saja. Edmund masih belum lupa akan kejadian beberapa tahun lalu.
Daniel ikut serta berada di dalam ruangan operasi, karena Patricia yang tidak bisa melahirkan dengan normal. Patricia pun melahirkan anak ke dua mereka secara Caesar.
Mendengar suara pekik tangis bayi itu membuat Daniel dan Patricia tiada hentinya mengucap syukur pada sang penguasa.
Begitupun dengan Aaron yang berada di rumah. Dalam sambungan telepon suaranya terdengar bahagia sekali karena adik bayinya telah lahir dengan selamat. Pun dengan ibu mereka. Kini dirinya telah resmi menjadi seorang kakak. Ia bisa kembali tidur dengan tenang sembari menunggu kepulangan orang tuanya bersama dengan adik bayinya.
Semua orang tengah tertidur pulas malam ini, begitupun dengan Patricia yang masih merasa lelah, dan Daniel yang terlelap di atas sofa.
Edmund melirik ke dalam ruangan inap Patricia, kemudian ia melangkah kembali ke ruang NICU untuk melihat rupa bayi yang baru di lahirkan oleh Patricia. Di ruangan itu ia tidak melihat ada suster yang berjaga di sana. Ia berjalan menyusuri inkubator, di mana di sana bertuliskan nama Daniel dan Patricia sebagai orang tua dari bayi yang tidur di dalamnya.
Bersambung…