Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 16 Neraka Kehidupan

Bab 16 Neraka Kehidupan

“Selamat sore, Bu Citra dan Pak Mario. Mohon maaf, saya menganggu. Perempuan ini masuk sembarangan ke belakang dan mengaku sebagai istrinya Pak Mario. Apakah benar seperti itu?” tanya pelayan itu dengan suara lembut dan sopan, sangat bertolak belakang dengan saat berbicara dengannya.

Citra melirik Mariana dengan pandangan menghina. “Memang benar, dia adalah istri Mario. Tapi, itu hanya berlaku saat berada di tempat umum.”

Air mata Mariana menetes tanpa disadarinya. Hatinya terasa sakit mendengar ucapan mertuanya. Pandangannya beralih pada Mario. Meskipun rasanya mustahil, dia tetap berharap suaminya itu mau membelanya di hadapan Citra.

Mariana kembali merasa kecewa. Pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu sama sekali tidak memandang ke arahnya. Dia malah asyik bermain ponselnya, seakan tidak ada yang terjadi di sekitarnya.

“Apa lagi yang kamu tunggu? Mengapa kamu masih berdiri di situ? Apa perintahku masih kurang jelas?” bentak Citra saat dilihatnya Mariana masih berdiri di tempatnya.

Citra memalingkan wajahnya pada pelayan yang berdiri di sebelah Mariana. “Tunjukkan padanya cara menggunakan kompor dan letak bahan makanan dan minuman di dapur. Mulai hari ini, dia ikut bertugas di dapur,” titah Citra.

“Baik, Bu,” jawab pelayan itu hormat.

Pelayan itu menarik Mariana menuju ke dapur. Tidak ada rasa hormat ataupun segan sedikitpun pada Mariana, meskipun perempuan itu adalah istri dari Mario. Hanya perintah yang keluar dari mulut Citra yang menjadi aturan di rumah itu.

“Ma, apa perlakuan kita tidak keterlaluan pada Mariana?” tanya Mario dengan suara lirih.

“Apa kamu mulai jatuh cinta padanya?” Bukannya menjawab pertanyaan putranya, Citra justru mengajukan pertanyaan padanya.

“Bukan, Ma. Tapi, dia harus segera hamil supaya rencana kita bisa berjalan lancar. Mama tidak lupa syarat itu, kan?” tanya Mario lagi.

Citra terdiam mendengar ucapan putra sulungnya. “Benar juga. Kamu tenang saja, besok mama akan menemui teman mama. Dia ahli meracik ramuan herbal. Mama akan memintanya untuk meracik ramuan supaya istrimu itu cepat hamil.”

“Memangnya bisa, Ma?”

Mario sanksi dengan ucapan mamanya. Dia termasuk golongan pria modern yang tidak percaya dengan ramuan-ramuan herbal. Dia lebih mempercayai perkataan dokter dan juga obat-obatan yang sudah teruji klinis.

“Kamu percaya saja sama mama. Kamu hanya perlu rajin menanam benih saja. Kalau perlu, nanti mama juga akan memintakan ramuan untukmu.”

“Tidak perlu, Ma. Sebelum menikah, Jason sudah memeriksaku. Aku ini sehat dan normal,” kata Mario buru-buru. Dia tidak mau dipaksa minum ramuan yang tidak jelas komposisi dan manfaatnya.

“Kamu sudah pulang, Mas?” tanya Maudy heran. Adik bungsu Mario itu baru saja turun dari lantai dua, tempat kamarnya berada.

“Kamu mau ke mana?” Bukannya menjawab pertanyaan adiknya, Mario malah balik bertanya karena melihat adiknya yang berdandan rapi, berbeda dengan sehari-hari saat di rumah.

“Mau jalan sama teman-temanku,” jawab Maudy ringan. Gadis itu duduk di sisi Mario, melingkarkan tangannya di lengan Mario.

“Ada apa? Tidak usah bermanja-manja padaku, aku tidak akan menambah uang sakumu.”

“Ayolah, Mas. Kali ini saja,” rayu Maudy.

Mario berpikir sejenak. “Baiklah, sekalian tolong belikan ponsel untuk Mariana.”

“Untuk apa kamu memberinya ponsel?” tanya Citra keberatan.

“Dia sekarang istriku, Ma. Apa kata klien bisnisku kalau sampai mereka tahu istriku tidak punya ponsel dan tidak bisa menggunakan ponsel.”

Citra menganggukkan kepalanya. “Ok, tapi carikan saja smarthphone murah untuknya. Tidak perlu yang terlalu canggih.”

“Bagaimana kalau ada yang bertanya ‘Masa istri Pak Mario ponselnya biasa saja?’” tanya Maudy.

“Gampang. Bilang saja kalau Mariana itu tipe perempuan sederhana yang tidak suka barang mewah,” jawab Citra. Seulas senyum licik terukir di wajahnya.

Pembicaraan mereka terhenti saat Mariana datang membawa nampan berisi dua cangkir teh. Pemandangan itu membuat kening Maudy berkerut heran. “Mbak, mengapa Mbak Ana sendiri yang membawa nampannya? Ada banyak pelayan di rumah ini yang bisa disuruh untuk membuat minuman dan menyajikannya.”

Mariana melirik Citra yang menatap tajam padanya. “Tidak apa-apa, Maudy. Aku sudah biasa melakukannya. Aku hanya ingin menyiapkan minuman untuk suami dan ibu mertuaku. Apa kamu mau juga? Aku akan membawakannya untukmu.”

“Tidak perlu, Mbak. Aku mau pergi sebentar lagi.”

Mariana menganggukkan kepalanya, kemudian melangkah pergi dari ruang keluarga. Dia ingin secepatnya melarikan diri dari mertua dan suaminya yang selalu menghinanya. Namun, suara Mario membuat langkahnya terhenti.

“Kamu mau ke mana, Ana?”

“Aku mau mengembalikan nampan ke dapur, Mas. Mas Mario butuh sesuatu?”

“Kembali ke sini, setelah kamu meletakkan nampan itu,” titah Mario. Mariana hanya menganggukkan kepalanya patuh. Tidak ada yang bisa dilakukannya, selain menuruti setiap perintah suaminya.

Mario membawa istrinya menuju ke lantai dua. Dia menunjukkan ruangan yang perlu diketahui Mariana. Dia tidak ingin istrinya masuk ke sembarang ruangan.

“Di sebelah kiri ada kamar Maudy dan Mazhar, sedangkan kamarku dan Marcell ada di sebelah kanan. Jangan sampai kamu salah masuk ke kamar orang lain,” kata Mario saat mereka sudah tiba di lantai dua.

Mario membuka pintu kamarnya, menunjukkan isinya pada sang istri. “Mulai sekarang kamu akan tinggal di sini. Aku sudah menyiapkan banyak pakaian untukmu. Kamu pilih sendiri di lemari pakaian.”

“Iya, Mas,” jawab Mariana patuh.

“Satu lagi, kamu tidak boleh keluar dari rumah ini.” Ucapan terakhir Mario membuat Mariana terkejut.

Mariana menatap suaminya dengan tatapan tidak percaya. “Lalu, bagaimana kalau aku ingin bertemu orangtuaku?”

“Aku yang akan mengantarmu. Kamu sekarang sudah menjadi istriku, kamu harus belajar menjadi istri yang baik dan tidak memalukan. Salah satu caranya adalah dengan membatasi intensitas pertemuan dengan kedua orangtuamu.”

Hati Mariana bagai diremas-remas mendengar setiap kata yang keluar dari mulut suaminya. “Tapi, Mas…”

“Tidak ada bantahan, Ana! Kamu harus mematuhi setiap aturan yang aku buat!” Nada suara Mario sudah naik beberapa oktaf, membuat Mariana terkejut hingga mundur beberapa langkah. Wajahnya pucat pasi melihat kilat kemarahan yang memancar dari mata sang suami.

Mario berjalan mendekati istrinya. Tangannya langsung mencengkeram kedua pipi sang istri, membuatnya mengerutkan kening, menahan sakit di kedua pipinya. “Kamu ingin bapakmu menghabiskan sisa hidupnya di dalam jeruji besi?”

Sudut bibir Mario tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman sinis. Ada sebuah kebanggaan tersendiri karena bisa mengancam dan membuat Mariana ketakutan di bawah kuasanya.

“Jawab aku, Ana!” bentak Mario.

“Ti-tidak, Mas. Jangan lakukan itu!” jawab Mariana lirih.

Mario melepaskan cengkeraman tangannya di pipi Mariana, kemudian mulai melepaskan kancing kemejanya. “Bagus kalau kamu mengerti. Sekarang, lepas semua pakaianmu!” perintah Mario.

“Un-untuk apa lepas pakaian, Mas?” tanya Mariana ketakutan. Dia benar-benar tidak mengerti dengan pola pikir suaminya.

“Kamu harus mendapat hukuman karena sudah mencoba melawan perintahku!”

Mariana mundur ketakutan hingga kakinya terantuk kaki ranjang. “Ja-jangan, Mas! Ampun, Mas,” kata Mariana lirih.

KRAAAAK

Mario merobek paksa gaun yang dikenakan istrinya. Detik berikutnya, terdengar teriakan kesakitan Mariana yang membelah keheningan sore itu.

“Argh, sakit, Mas. Ampun, Mas.”

PLAAAAK

Bukannya merasa iba, Mario justru menampar istrinya dengan kejam. “Itu hukuman untukmu, Ana. Kamu harus merasakan akibatnya, kalau mencoba melawan perintahku!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel