09. Pergi Ke Wahana Bermain
Julia memandangi kertas yang berada di genggaman tangannya itu dengan saksama. Gadis itu lalu menaruh kembali buku ensiklopedia tebal di tempatnya semula, sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada selembar kertas kusam bertinta emas yang tadi jatuh ke lantai.
Kertas itu tampak antik dan memancing rasa penasaran Julia untuk membacanya. Walaupun kertasnya dipenuhi debu, tapi Julia akan berusaha membuatnya baru lagi agar bisa dibaca dengan mudah olehnya.
Julia kemudian melirik kursi yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Dia pun melangkah lambat guna menghampiri sebuah sofa berwarna krim dan mendudukkan dirinya di sana dengan nyaman.
Untuk sejenak, Julia terpaksa meluruskan dulu kakinya yang sejak tadi dipaksa berdiri selama beberapa jam saat kegiatan bersih-bersih berlangsung.
Julia mengambil posisi yang lebih nyaman dan langsung meniup debu yang menempel di kertas tebal tersebut. Gadis itu kembali memfokuskan pandangannya pada kertas yang sepertinya adalah dokumen penting karena di sana ada sebuah cap resmi dengan tanda tangan yang lagi-lagi ditemukan telah pudar.
Hal itu dia lakukan dengan harapan agar tulisan yang ada di sana dapat terlihat dengan jelas. Apalagi jika semua kotoran yang menempel di sana menjauh dan hilang. Namun, tidak terjadi sesuatu. Noda yang Julia kira adalah debu itu tidak juga menghilang dari sana. Julia kembali meniup permukaan kertas untuk kesekian kalinya, tapi apa pun yang dia lakukan, tulisan di sana masih tetap tidak terlihat dan itu membuat Julia mulai merasa sedikit kesal.
Kenapa dia sangat penasaran dengan kertas di tangannya ini? Hanya membuang-buang waktunya saja. Lihat, pekerjaannya menjadi tertunda.
Bukannya dia harus melanjutkan bersih-bersih rumah? Gadis itu bahkan sampai menaruh peralatan bersih-bersihnya ke bawah, hanya untuk mencari tahu asal usul dari kertas yang membuatnya penasaran setengah mati ini.
Akan tetapi, Julia tidak akan menyerah, dia akan berusaha membaca kertas di tangannya sampai rasa penasarannya menghilang.
"Doku ... men adopsi a ... nak? Anak." Julia yang menyipitkan matanya, terlihat kebingungan saat membaca kertas kusam di tangannya itu, ia bahkan mengejanya dengan sangat lambat. "Hah, apa ini? Dokumen adopsi anak? Apa maksudnya?" gumam sang gadis keheranan. Dia bertanya-tanya.
Walaupun tak bisa membaca keseluruhan dari kertas itu, tapi Julia merasa rasa penasarannya sudah menghilang.
Julia kemudian mengusap lembaran dokumen itu secara perlahan. Sangat perlahan, seolah benda yang ia pegang itu sangatlah rapuh, barangkali tulisannya akan muncul atau terlihat sedikit jika ia melakukan hal itu. Namun, tetap saja tak terjadi apa-apa.
Yang dia lakukan sedari tadi tampak sia-sia.
Akan tetapi, bukan Julia Peterson namanya jika menyerah begitu saja. Julia terus meraba permukaan kertas, dan enar saja, setelah gadis itu mengusapnya dengan hati-hati tulisan di dokumen pun mulai terlihat sedikit.
Hanya di beberapa bagian, namun itu sudah cukup membuktikan usaha tidak mengkhianati hasil.
Memang, tak semua tulisan dapat terlihat, tetapi cukup bagi Julia untuk menghilangkan rasa penasarannya terhadap dokumen yang mendadak muncul. Dia juga tidak mengetahui pasti apa fungsi dan alasan mengapa dokumen seperti ini ada di rumahnya.
Julia menghela napas lega ketika tulisan di dokumen sudah terlihat jelas sekarang. Meski, ada bagian yang tidak bisa dibersihkan dan Julia pun pada akhirnya hanya bisa membiarkannya saja daripada bersusah-susah.
"Mari kita baca," monolog sang gadis seraya mengangkat selembar dokumen usang itu tinggi-tinggi.
"Dokumen Pemindahan Hak Anak Dari Keluarga Stone. Hah, apa ini?" tanya Julia kepada diri sendiri setelah membaca judul dari dokumen itu, yang sayangnya, ia sendiri pun tidak tahu apa jawabannya.
Julia tak mengetahui siapa itu keluarga Stone, mungkinkah itu teman Papa dan Mama? Apakah Stone adalah nama marga dari keluarga itu? Marga yang aneh, pikirnya. Artinya jelas-jelas adalah batu. Julia tak mengerti, dan ia memilih untuk kembali membacanya saja.
"Atas nama ... Stone, diserahkan kepada ...."
Akan tetapi, yang membuat sang gadis gemas sendiri ketika membacanya adalah dokumen itu memiliki lembar kertas yang begitu tipis, sehingga Julia harus berhati-hati saat menyentuh dan mengangkatnya.
Belum lagi ada sebagian tulisan yang tidak bisa dibaca olehnya karena sudah lama pudar dan benar-benar sulit untuk dibersihkan.
"Siapa itu keluarga Stone? Kenapa dokumennya bisa ada di rumahku ...." Bisik Julia keheranan, karena tak kunjung juga menemukan jawaban, akhirnya sang gadis menyimpulkannya sendiri di dalam kepala.
Padahal ia telah berpikir selama beberapa saat, tetapi ia tetap tak bisa memecahkan dokumen apa dan dengan tujuan apa bisa ada di rumahnya.
Julia yang menyerah mencari tahu pun akhirnya memilih untuk mengembalikan dokumen tersebut kembali ke tempatnya, yaitu di dalam buku ensiklopedia bebas bersampul merah.
Akan tetapi, lagi-lagi selembar kertas usang yang sudah sobek kembali jatuh dari dalam buku dan berhasil membuat Julia berdecak karena kesal. "Apa lagi ini?" tanyanya.
Dengan sedikit penasaran dan kesal, Julia pun membuka lembar demi lembar buku tersebut dan menaruh lembaran sobek buku di dalamnya. Di saat penyusunan halaman itu, tak sengaja ia menemukan selembar dokumen usang yang lagi-lagi terselip di tengah-tengah halaman.
Juga sebuah foto yang di dalamnya terdapat potret diri dari dua orang anak perempuan yang sedang duduk bersebelahan. Julia kembali mengernyitkan kening. Sebuah foto lama milik siapa ini? Tanyanya dalam hati, yang tak kunjung mendapat jawaban.
Julia kembali memperhatikan dokumen yang kembali ia temukan, kali ini tulisannya terlihat cukup jelas daripada yang ia temukan sebelumnya.
Di sana tertulis, akta kelahiran.
"Kenapa dokumen sepenting ini bisa ada di dalam sini?" tanya Julia penasaran.
Mungkinkah buku ensiklopedia berukuran besar yang terselip dokumen-dokumen penting di dalamnya itu adalah milik orang lain, yang entah dengan cara apa bisa ada di rak bukunya?
Julia lalu melihat foto di tangan kirinya. Dua wajah berseri yang cantik milik anak-anak perempuan di dalam foto tersebut membuat Julia tersenyum. Sepertinya mereka kakak-beradik, pikir Julia dalam hati.
Memandang foto lama orang lain membuat perasaan Julia tiba-tiba saja menghangat. Apa pun itu, pastilah dokumen-dokumen yang ia temukan ini adalah milik salah satu dari anak di dalam foto.
Merasa tugas bersih-bersihnya terabaikan, membuat sang gadis buru-buru mengembalikan dokumen dan foto asing tersebut ke dalam buku dan menaruhnya kembali di tempatnya yaitu di lemari tua.
"Julia Sayang, apa kau sudah selesai membersihkan ruangan ini?" Suara keibuan dan penuh kelembutan menyapa indra pendengaran Julia. "Jika sudah, tolong bantu Mama membersihkan dapur ya."
Gadis yang dipanggil namanya pun menoleh ke arah pintu masuk, di mana di sana berdiri Meggan—sang mama sambil tersenyum manis kepada putri kesayangannya. Julia balas tersenyum kepada sang mama.
"Sedikit lagi selesai, Ma. Mama duluan saja ya, nanti Julia akan menyusul Mama ke dapur," ucapnya sembari mengedipkan sebelah mata, yang langsung membuat sang mama tertawa geli.
"Baiklah, cepat ya, Sayang. Setelah ini Papamu mau mengajak kita jalan-jalan sekeluarga," ucap Meggan seraya berlalu meninggalkan ruangan di mana anaknya berada.
Julia menganggukkan kepalanya dengan patuh, tanpa menoleh gadis itu pun menjawab, "Baik, Ma!"
+++
Setelah pulang dari acara jalan-jalannya bersama keluarga, Julia bergegas membersihkan dirinya sekali lagi dengan cara mandi.
Gadis itu mendapat ajakan kencan lagi oleh sang kekasih. Bersyukur Julia telah sedikit bebas dan punya banyak waktu karena ujiannya berjalan dengan baik. Ya, ujiannya sudah selesai.
Oleh karena itu, mengabaikan letih yang ia rasa sebab baru saja pulang dari mall, Julia bersiap-siap untuk bertemu Jacob di taman bermain.
Sang kakak—Louis, memperhatikan adiknya yang tengah mematut diri di muka cermin. Pintu kamar yang terbuka lebar membuat Louis yang kebetulan lewat di depan kamar dapat melihatnya dengan jelas, bagaimana tingkah sang adik yang kini sedang berputar dengan riangnya di depan cermin.
Louis pun masuk ke dalam kamar adiknya, ia lalu menyandarkan punggung besar dan lebarnya di dinding kamar, dan menatap datar sang adik.
"Mau kemana?" tanya Louis, sekadar berbasa-basi. Julia yang sedang memasang anting di telinga kirinya, sontak tersentak dan menolehkan kepalanya ke belakang. "Ah, Kak Louis," ucapnya sambil tersenyum.
"Aku akan ke Gloove World, Kak," ucap Julia lagi seraya menunjukkan tiket masuk ke tempat wisata itu. Louis mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mengerti.
"Cepatlah pulang, dan jangan terlalu sore." Selepas mengatakan itu, Louis pun berangsur pergi meninggalkan kamar adiknya dan Julia pun langsung merapikan riasan di wajahnya sebelum meraih tas selempang dan melangkah keluar dari dalam kamar dengan riang gembira.
+++
"Kita hendak pergi ke wahana apa dulu yang pertama?" Tanya Jacob seraya meraih tangan kanan sang kekasih, Julia tampak berpikir sebentar, sebelum berkata, "Kita ke wahana rumah hantu saja."
"Oke." Jacob tersenyum dan membawa Julia pergi ke wahana permainan yang dimaksud.
Gloove World adalah tempat wisata yang menyediakan banyak sekali permainan dan atraksi interaktif dari para petugas taman hiburan tersebut. Taman hiburan yang dibangun sejak tahun 20xx ini begitu populer di kalangan masyarakat luas.
Salah satu wahana permainan di sana yang menarik perhatian sepasang kekasih dengan tinggi badan yang jauh berbeda adalah Gloove Horror. Julia penasaran dengan pertunjukan dan suasana seram di dalam tempat yang dibuat menyerupai rumah sakit terbengkalai itu.
"Kalau kau takut, berpegangan saja padaku," pesan Jacob kepada Julia.
"Aku tidak takut hantu kok," jawab Julia percaya diri, dan membuat Jacob mengacak-acak poni sang gadis sampai berantakan. "Ahh, jangan! Rambutku jadi berantakan kan!"
Jacob hanya tertawa renyah. Betapa lucunya kekasihnya ini.
"Ayo, masuk." Jacob pun menarik pergelangan tangan sang kekasih dengan lembut, keduanya lalu memasuki Gloove Horror dengan perasaan senang.
Mulanya saat masuk ke dalam wahana Gloove Horror, Julia merasa biasa saja. Suasananya memang persis seperti rumah sakit yang telah lama ditinggalkan. Lantai yang kotor, lampu dengan cahaya redup, kaca penuh debu dan lain sebagainya.
Belum lagi ketika mereka berdua melewati deretan kamar pasien, kondisi yang sunyi dan udara yang lembap di lorong rumah sakit wahana itu memaksa Julia untuk sedikit merasa takut. Terdengar derit roda yang berasal entah darimana, Julia bergidik saat mendengarnya.
"Psst, kudengar wahana ini dibuat dari peralatan rumah sakit yang memiliki sejarah berhantu yang asli." Ucapan Jacob membuat Julia terbelalak. "Ja-jadi? Di sini akan ada hantu yang muncul?" tanya Julia takut-takut. Ekspresinya yang sebelumnya biasa saja, kini mendadak memucat.
Jacob tak bisa mengontrol ekspresi di wajahnya untuk tidak tertawa begitu melihat tingkah polos sang kekasih. "Tidak, aku hanya bercanda," ucapnya yang langsung mendapat cubitan kesal dari Julia.
Mereka lalu meneruskan perjalanan seraya memasuki tiap bangsal dengan langkah-langkah kaki yang lambat.
"Sayang, kau takut?" tanya Jacob sambil tersenyum lucu. Julia menggeleng cepat. "Aku tidak!" Ucapnya panik.
"Kau takut kan? Tenang saja, sebentar lagi hantunya akan muncul ...."
Perkataan penuh godaan dari kekasihnya itu membuat Julia merasa kesal, ia memukuli punggung Jacob beberapa kali dengan gemas. Hingga ketika mereka berdua melewati sebuah kamar tanpa pintu, keduanya dikejutkan oleh sesosok bertopeng dan pakaiannya berdarah-darah.
Sosok dengan penampilan yang mengerikan itu berusaha menggapai Julia dengan tangan yang dilumuri darah segar.
"HUWAAA!" jerit Julia dengan sangat nyaring. Sang gadis yang panik lantas mengambil tas selempangnya dan memukulkannya kepada sosok yang telah berani mengejutkannya dengan penampilan seram seperti itu, sampai sosok itu terjatuh.
"MINGGIR, HUWAA!" Julia terus memukul sosok yang merupakan salah seorang dari staf wahana Gloove Horror tersebut dengan tasnya. Tak peduli jika sang staf mengiba dan memohon ampun darinya dari atas lantai.
"Julia, tenanglah!" seru Jacob berusaha menghentikan sang gadis dengan cara menarik Julia ke dalam pelukannya.
Ketika gadis yang berstatus kekasihnya itu sudah tenang, staf yang memakai kostum pembunuh berantai di film thriller 'Jigsaw' tersebut segera berlari meninggalkan mereka.
Hal itu langsung membuat Julia dan Jacob dipanggil oleh petugas taman hiburan tersebut, atas tuduhan penganiayaan.
"Saya terkejut! Karena itu dengan refleks saya memukulnya!" terang Julia di hadapan manajer Gloove World yang meminta keterangan dari gadis yang kabarnya telah memukul salah seorang karyawan mereka.
Setelah perundingan selama beberapa jam, akhirnya mereka berdua dipinta oleh sang manajer Gloove World untuk pulang saja ke rumah dan kembali ke sana lain hari.
Jelas saja hal itu membuat Julia kesal. Kencannya yang seharusnya menyenangkan, malah berakhir merusak suasana hatinya.
"Maaf," ucap Jacob tidak seperti penyesalan. Pria itu malah tertawa begitu melihat ekspresi Julia. "Lain kali, jangan asal pukul wajah seseorang ya, Sayang."
Julia berdecak kesal, wajahnya tampak merah padam karena malu. "Aku tidak memukul wajahnya! Itu semua refleks!"
Lagi-lagi Jacob tertawa, suara gelak tawanya yang khas sontak membuat beberapa gadis yang lewat di dekat mereka dibuat terpana selama sesaat, dan Julia yang kebetulan melihat itu semua merasa panas dingin.
"Berhentilah tertawa!"
Jacob terkekeh. "Kenapa harus berhenti?" tanyanya.
Julia menggelengkan kepalanya dengan cepat, suasana hatinya makin memburuk saja. "Tak apa! Lupakan saja!"
Tanpa disangka, Jacob meraih tangan Julia dan membawa gadis itu ke dalam pelukan. Secara perlahan, Jacob mencium kening sang kekasih lalu mengecup singkat bibir ranumnya.
"Aku hanya milikmu, kau tahu itu, kan?"
Semua kekhawatiran yang Julia rasakan beberapa saat yang lalu seketika luruh dan berganti menjadi perasaan senang. Jacob memang hanya miliknya seorang.