Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kali Ini Aku Melawan, Mas (2)

Bab 6

Zakia meraih bayinya yang terlihat menggeliat, lalu menggendongnya. Wanita itu menepuk-nepuk belakang tubuh mungil putrinya. Saat terdengar suara tangis Naya, dia buru-buru mengeluarkan payudaranya, kemudian duduk di kasur dan berusaha memberi putrinya ASI.

"Tunggu dulu, Zakia! Kamu ini apa-apaan sih? Main ngeloyor aja. Dasar tidak menghargai suami!" sembur Yudha. Rupanya laki-laki itu menyusul ke kamar ini karena merasa diabaikan.

"Sudahlah, Mas. Jangan buat keributan di sini. Naya sedang menyusu. Nanti kita selesaikan semuanya di luar," tegur Zakia sembari menempelkan jari telunjuk di hidungnya.

"Tidak bisa! Kamu sudah keterlaluan! Kamu tahu, kan, dia itu ibuku dan kakak perempuanku. Tidak sepantasnya kamu melawan mereka. Kamu ini tidak belajar sopan santun, apa?!" hardik Yudha yang membuat putri mungilnya kaget dan spontan melepas pagutannya ke pucuk payudara Zakia.

"Mas bicara soal sopan santun?!" sahut Zakia akhirnya sembari tersenyum sinis.

"Apa Mas pikir mereka memiliki sopan santun?! Apakah sopan menyuruh seseorang di luar batas kewajaran?! Aku baru saja melahirkan dan caraku melahirkan adalah SC, operasi caesar. Aku pikir Mas sudah lebih dari tahu soal itu. Jelas bukan aku yang keterlaluan kepada mereka, tetapi merekalah yang sudah keterlaluan kepadaku. Mereka menyuruhku di luar batas kewajaran. Wajar jika kali ini aku melawan!" lanjut Zakia meluapkan emosinya. Dadanya bergerak turun naik.

Tangis Naya kembali terdengar. Zakia buru-buru menenangkan putrinya, kembali bangkit berdiri. Dia menggoyang-goyang tubuh putrinya sembari bersenandung.

"Tapi kamu adalah istriku dan tugasmu adalah mengabdi di rumah ini. Kamu tentu mengerti, kan?" balas Yudha tak mau kalah.

"Tentu saja, tetapi pengabdian yang Mas minta itu di luar batas kemampuanku. Apakah itu bukan zalim namanya?! Sudahlah, Mas. Sebaiknya Mas keluar dari kamar ini sebelum Naya kembali menangis keras karena merasa tidak nyaman," usir Zakia dengan nada ketus.

"Kamu mengusirku?!" pekik Yudha.

"Suami pulang kerja bukannya disambut dengan senyuman atau segelas kopi, tetapi malah diusir dari kamar ini!" lanjutnya.

Zakia menghembuskan nafas berat. "Suami seperti apa yang harus kusambut dengan senyum ataupun segelas kopi?! Suami yang tidak menjalankan kewajibannya terhadap anak istri dengan benar?!" ejeknya.

"Produksi ASI ku masih belum lancar. Naya masih sering menangis lantaran kelaparan, bahkan badannya pun sering panas. Namun kamu tidak peduli dan tak pernah memberikan uang kepadaku untuk membeli susu formula." Zakia kembali mengulangi permintaannya seperti beberapa hari yang lalu.

"Apa?! Susu formula?! Kamu meminta anakku untuk membelikan bayimu susu formula? Kau pikir susu formula itu murah?!" Tiba-tiba suara Marina terdengar. Entah sejak kapan wanita setengah tua itu muncul di depan pintu kamar Zakia.

"Iya Ma. Naya butuh tambahan susu formula karena ASI ku masih belum mencukupi untuk pertumbuhannya. Mama tidak lihat apa, gimana kondisi Naya?!" Zakia mengulurkan tangan, bermaksud meraih tangan ibu mertuanya agar menyentuh kulit tubuh Naya yang memang terasa hangat.

Namun Marina justru menepis kasar.

"Tak sudi aku menyentuh kalian berdua. Bayimu itu bukan cucuku. Cucu pertamaku harus laki-laki, bukan perempuan. Kamu pikir aku suka dengan kelahiran putrimu?! Jangan mimpi, Zakia!"

Usai mengucapkan kata-kata itu, Marina menarik tangan Yudha untuk keluar dari kamar itu.

Zakia menghela nafas lega saat keduanya keluar dari kamar. Dia buru-buru menenangkan putrinya kembali, mengarahkan mulut putrinya supaya menghisap pucuk payudaranya, meskipun Zakia tahu, tidak banyak air susu yang bisa didapat Naya. Akan tetapi lumayanlah, daripada Naya menangis terus.

***

"Kamu ini gimana sih?! Sama Zakia itu harus tegas. Jangan sampai kamu tunduk sama istrimu. Ini tidak benar, Yudha!" tegur Marina tanpa tedeng aling-aling.

"Sejak kapan aku tunduk kepada Zakia, Ma?!" Lelaki muda itu duduk di sofa, menyusul ibunya. Dia masih saja mengenakan seragam kerjanya.

"Ya, kali aja kamu terpengaruh atau kasihan dengan Zakia. Zakia itu sebenarnya cuma memanfaatkanmu, agar kamu memberikan uang lebih banyak kepadanya," hasut Marina.

"Ya. Aku sendiri kurang tahu, tapi memang beberapa hari yang lalu Zakia pernah minta kepadaku untuk membelikan Naya susu formula. Aku tolaklah." Yudha mengendikkan bahunya.

"Ngapain kamu beli susu formula mahal-mahal?! Naya itu anak perempuan dan kamu nggak perlu mengeluarkan uang banyak untuk merawatnya. Mama itu menginginkan cucu laki-laki dan Zakia nggak bisa memberi Mama cucu laki-laki. Ngapain juga kita harus peduli?!" ucap Marina.

Wanita paruh baya itu terus menghasut putranya. Sebenarnya ini bukan urusan cucu perempuan atau laki-laki, hanya saja ia benar-benar tidak rela jika uang gaji hasil kerja Yudha yang selama ini bebas ia nikmati harus berbagi dengan Zakia dan putrinya. Jika Yuda harus membiayai putrinya, maka dengan sendirinya, uang yang biasa ia terima setiap bulan nominalnya pasti akan berkurang.

Ogah lah. Dia sudah mati-matian membesarkan dan menyekolahkan Yudha selama ini, tapi ternyata yang menikmatinya justru anak dan istrinya. Marina ingin agar putranya menjadi anak yang tahu membalas budi orang tua.

"Mama jangan khawatir. Aku nggak akan pernah memberikan uang sepeser pun kepada Zakia untuk membeli susu formula," ujar Yudha sembari beranjak bangkit. Lelaki itu bermaksud untuk membersihkan diri karena merasa tubuhnya lengket bekas keringat setelah seharian bekerja sebagai security di sebuah perusahaan mie instan berlabel PT Surya Indonesia Mie Perkasa.

Namun belum sempat ia mengayunkan kaki, tiba-tiba muncul Zakia dengan menggendong putrinya

"Jadi Mas memang benar-benar tidak mau membelikan Naya susu formula?" cecar Zakia. Suara ribut-ribut di luar memaksanya untuk keluar dari kamarnya. Dia perlu memastikan pendengarannya sendiri.

"Apakah pembicaraanku barusan dengan Mama masih kurang jelas bagimu?" Lelaki itu seketika sadar jika istrinya pasti mendengar pembicaraan mereka. Ya, tentu saja, karena dia dan Marina memang berbicara cukup keras dan kemungkinan sampai ke kamar belakang tempat Zakia tengah berada bersama dengan putrinya.

"Jelas! Dan sangat jelas, Mas! Akan tetapi aku mau mengingatkan Mas bahwa aku dan Naya memiliki hak. Apakah Mas pikir aku tidak tahu, jika tunjangan kelahiran Naya sudah cair?!" Zakia menatap tajam suaminya. Kali ini ia kembali melawan. Apa yang ia dengar barusan sungguh meruntuhkan harapannya.

Lelaki macam apa suaminya yang menolak mengeluarkan uang untuk kepentingan darah dagingnya sendiri, padahal ia masih mampu, punya pekerjaan dan sehat?!

Zakia sungguh tak mengerti jalan pikiran suaminya.

"Seharusnya itu adalah hakku dan Naya. Uang itu bisa Mas gunakan untuk membelikan semua keperluan Naya. Bukankah begitu seharusnya?!" lanjut Zakia. Ekor matanya melirik ibu mertuanya yang tiba-tiba saja langsung memperlihatkan wajah masam.

"Tunjangan perusahaan? Tunjangan perusahaan yang mana? Kamu jangan mengada-ngada deh!" sambar Marina pura-pura tidak tahu. Padahal sebenarnya dialah yang menerima uang sebesar 700 ribu rupiah itu dari Yudha. Marina pun jelas-jelas tahu bahwa itu adalah tunjangan kelahiran atau hadiah yang diberikan perusahaan atas setiap kelahiran anggota keluarga inti karyawan tetapnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel