11. Ririn Cemburu
Ririn meneteskan air mata di depan suaminya saat ini. Kejadian yang baru saja ia saksikan dengan mata kepala sendiri, membuat ia begitu sedih dan cemburu. Bagaimana bisa suaminya malah berciuman di ruang makan dengan Laili? Meskipun mereka melakukannya dalam status sah, tetap saja hatinya sakit.
"Sudah, Ma. Jangan nangis terus!" bujuk Arya kini duduk di samping istrinya. Ririn menepis lengan sang suami yang baru saja hendak merangkul pundaknya. Arya menghela nafas gusar.
"Kenapa Papa harus berciuman dengan Laili? Secepat itu Papa bisa mencium wanita lain, selain Mama."
"Ya Allah, Ma. Laili itu istri Papa juga. Mama yang suruh Papa nikahi Laili, tapi sekarang Mama terlihat tidak ikhlas, seakan Papa dan Laili berselingkuh," terang Arya sungguh-sungguh.
"Tapi Mama cemburu, Mama takut Papa diambil Laili, karena dia lebih muda, cantik, gesit pula. Tidak seperti Mama yang, hiks ...."
"Sudah-sudah, kita tidur saja. Jangan mudah suudzon sama suami sendiri. Papa janji, tidak akan mengulanginya lagi." Arya berhasil memeluk Ririn dengan lembut. Membiarkan istri pertamanya itu memeluknya erat.
"Mama tahu, Pa. Mama hanya saja belum ikhlas sekarang. Papa bersabar ya," gumam Ririn pelan, semakin mengeratkan pelukannya pada suaminya.
Ia juga tidak paham, bagaimana bisa mencium Laili di ruang makan, begitu mendengar ucapan Laili yang akan meninggalkannya. Apakah ia sudah jatuh cinta pada gadis itu? Lagi-lagi Arya bermonolog. Kepalanya serasa mau pecah saat ini. Punya pasangan hidup lebih dari satu itu tidak mudah, apalagi harus menjaga perasaan keduanya. Tetap saja, salah satu akan ada yang tersakiti.
Arya masih terus mengusap punggung istrinya hingga wanita itu terlelap. Dilihatnya jam di dinding, sudah pukul dua belas malam. Arya menutupi tubuh Ririn dengan selimut, lalu berjalan ke arah gantungan tas dan mengambil sesuatu yang berada di dalamnya.
Pelan Arya keluar dari kamar, lalu melangkah ke kamar Laili. Ia sudah meminta Laili untuk tidak mengunci pintu kamar. Namun, sayang. Laili masih saja menguncinya, membuat Arya mengulum senyum. Ia berjalan masuk ke kamar Anes, mengambil sesuatu dari atas lemari. Sebelumnya, ia mencium lembut kening Anes, membuat gadis kecil itu menggeliat.
Kleek
Arya membuka pintu sambung antara kamar Laili dan juga kamar Anes. Kemudian ia menguncinya dua kali. Kaki telanjangnya berjalan pelan ke arah ranjang. Rambut panjang Laili yang berserakan, membuat wajah istri keduanya ini terlihat semakin cantik dan menggemaskan.
"Laili, bangun!" panggilnya lembut, sambil mengusap pipi Laili. Wanita tersentak kaget, sambil mengucek matanya, ia memastikan siapa yang kini di depannya dengan membawa sekotak kecil cake ulang tahun.
"Selamat ulang tahun istriku. Semoga panjang umur, sehat, tambah cantik, dan tambah sayang sama suami. Aamiin," ucap Arya sembari memberikan kotak kecil berisi kue ulang tahun berbentuk Hello Kitty.
"Terimakasih, Tuan," balas Laili malu-malu sambil tersenyum tipis. Ia saja lupa, kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya ke delapan belas. Tetapi suaminya mengingatnya dan itu membuat ia terharu. Matanya kini sudah berkaca-kaca, menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah.
Cup
Arya mengecup kening Laili. Lalu pindah ke pipi merona gadis itu.
"Ini juga buat istriku." Arya mengeluarkan kotak beludru berwarna biru tua dari saku piyama tidurnya. Kening Laili berkerut, penasaran dengan kotak yang diberikan suaminya.
"Boleh saya buka?"
"Buka saja. Cup!" Arya kembali mengecup kening Laili.
"Ini buat saya, Tuan?" tanya Laili tak percaya, saat memegang benda cantik di jemarinya.
"Kalau sedang berdua, saya jangan dipanggil Tuan. Panggil Sayang atau Papa, bagaimana?" Arya menyeringai.
"Ish, pubernya telat ya!" ledek Laili sambil tertawa. Arya kembali mengecup pipi Laili, sambil memasangkan kalung berliontin inisial huruf A dan L di leher putih Laili. Wanita itu bangun turun dari ranjangnya, lalu menyalakan lampu kamar. Ia berdiri di depan cermin sambil memperhatikan kalung emas yang begitu cantik kado dari suaminya.
"Terimakasih, Sayang. Kalungnya bagus," puji Laili sambil tersenyum senang. Arya ikut bangun dari duduknya, lalu berjalan ke arah Laili. Memeluk tubuh mungil Laili dari belakang. Membuat Laili menegang kaku, susah payah ia menahan debaran di dadanya. Kakinya juga begitu lemas, saat Arya memperlakukannya dengan sangat dekat seperti ini.
"Maaf untuk hari ini. Ririn masih belum bisa benar-benar ikhlas," bisik Arya.
"I-iya, Pa," jawabnya gugup.
"Ayo, makan kue! Setelah itu, kamu tidur ya." Arya menarik tangan Laili menuju ranjang. Membuka kue ulang tahun mini, lalu menyendokkannya untuk Laili.
"Papa mau ke mana?" tanya Laili berani di sela kunyahannya.
"Mau tidur juga di kamar Ririn, besok siang saya harus ke Yogya tiga hari," ujar Arya memberitahu. Ia bahkan lupa memberitahu Ririn perihal ini.
"Jadi kita tidak bertemu tiga hari?" suara Laili terdengar manja di telinga suaminya.
"He he he ... iya." Arya mencubit gemas dagu Laili.
"Kalau begitu, malam ini tidur di sini saja," ujar Laili pelan sambil menunduk malu.
"Emang boleh?" tanya Arya memastikan.
"Boleh," jawab Laili tanpa berani menatap wajah Arya.
"Saya sikat gigi dulu ya." Laili bergegas ke kamar mandi untuk menyikat giginya. Jika tidak, besok ia bisa-bisa menderita sakit gigi jika sehabis makan manis tidak sikat gigi.
Laili keluar dari kamar mandi. Matanya menangkap tubuh tegap sang suami yang sudah berbaring di sisi kanan. Ia pun mematikan lampu kamar, lalu menyalakan lampu tidur. Pelan Laili naik ke atas ranjang dengan dada berdebar.
"Pa."
"Ya." Arya segera berbaring miring menatap Laili. Keduanya kini saling pandang, bahkan hembusan nafas keduanya begitu dekat. Saling bersambut.
"Saya ingin diperlakukan seperti istri sah," bisik Laili.
"Maksudnya?" kening Arya berkerut.
Laili tiba-tiba memeluk Arya. Menyimpan kepalanya di curuk leher suaminya. Pelan dan sangat kaku, Laili memberanikan diri mengecup leher suaminya.
"Laili," panggil Arya dengan bulu kuduk yang meremang. Laili membuka kancing piyama Arya sambil menunduk. Jantungnya berlompatan saat ini. Entah bisikan dari siapa membuat dia berbuat berani seperti ini pada suaminya.
"Memangnya boleh?" tanya Arya dengan mata berkabut. Laili mengangguk.
"Alhamdulillah, terimakasih sayang. Papa janji akan pelan dan hati-hati."
****
~Bersambung~
Berhasilkan malam pertama mereka? Kenapa bisa Ririn yang memergoki Arya dan Laili? Jawabannya ada di part sepanjutnya.
Jangan lupa follow akun saya dan beri ulasan bintang limanya yaa?