Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7

Aku melangkah menuju lantai atas, tempat yang dulu penuh dengan kenangan, tempat kamar kakek berada. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah-olah aku tengah melangkah ke dalam kenangan yang sudah lama terkubur. Dulu, lantai ini adalah tempat yang penuh cerita, tempat di mana kakek sering duduk di kursi favoritnya, membaca koran pagi, atau berbincang-bincang dengan ayah tentang banyak hal. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan.

Aku masuk ke ruang kerja kakek, sebuah ruangan yang dulu penuh dengan dokumen penting, buku-buku tua, dan barang-barang yang menjadi simbol kewibawaan keluargaku. Tapi kini, ruang itu terasa asing dan kosong. Meja kerjanya yang dulu selalu rapi dengan tumpukan kertas penting, kini tak lagi ada. Laci-laci yang biasa terbuka dengan berbagai dokumen yang tampaknya penuh dengan rahasia keluarga, kini terkunci rapat, seolah-olah bersembunyi dari kenyataan.

Aku mengamati sekeliling dengan cermat, berharap menemukan sesuatu—apapun itu—yang bisa memberiku petunjuk. Mungkin ada dokumen tentang perusahaan, warisan, atau setidaknya informasi yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Aku membuka beberapa laci, mencari-cari di antara tumpukan kertas yang sudah usang, namun semuanya nihil. Tidak ada apa-apa. Semua yang ada hanyalah kekosongan yang semakin menambah rasa kecewaku. Aku benar-benar ingin melihat sendiri perjanjian pernikahan yang pernah dibuat kakek dengan keluarga Wiratama.

Aku menghela napas panjang, merasa terjebak dalam kebingungan yang semakin dalam. Ruangan ini, yang dulu penuh dengan kehidupan dan pengaruh, kini hanya menyisakan kesenyapan yang mencekam. Semua yang aku cari, semua yang aku harapkan, tak kunjung ditemukan. Bahkan, ruang di atas ini pun tampaknya sudah kehilangan segala artinya. Aku menelan kekecewaan yang semakin menggerogoti, dan perlahan, langkahku mundur. Sepertinya, pencarianku kali ini harus berhenti di sini. Benar-benar tidak ada petunjuk apapun.

Aku melangkah kembali menuju kamar yang dulu milik Moana. Syukurlah pintunya tidak terkunci. Aku mendorongnya perlahan, dan aroma samar dari parfum khasnya masih tercium di udara, meskipun ruangan itu tampak sudah lama tidak ditempati. Mungkin saja Moana punya sesuatu yang bisa menjadi petunjuk, aku membuka lemari gadis itu.

Aku memandang sekeliling dengan hati yang bercampur aduk. Kenapa aku yang harus menggantikan posisinya dalam hal ini? Sedangkan aku sudah punya Andrew. Tempat tidur dengan sprei putih yang rapi, meja rias dengan cermin besar yang kini berdebu, serta lemari pakaian yang pintunya sedikit terbuka. Semua tampak seperti membeku dalam waktu.

Aku mendekati meja rias dan menyentuh permukaannya yang dingin. Ada beberapa benda yang masih tertinggal—sisir kayu miliknya, kotak perhiasan kecil yang pernah dia tunjukkan padaku, dan sebuah buku catatan kulit cokelat yang sedikit terbuka di sudut meja. Tanganku gemetar saat meraih buku itu, hati kecilku merasa ini bisa jadi petunjuk yang aku cari.

Aku membuka halaman pertama dan melihat tulisan tangan Moana yang rapi namun tampak tergesa-gesa di beberapa bagian. Beberapa kalimat pertama membuat napasku tertahan:

"Aku tidak punya pilihan, tapi akhirnya perjodohan ini berakhir."

Dadaku berdebar keras. Aku membalik halaman demi halaman, berharap ada tulisan lain. Sial, tidak ada lagi tulisan apapun yang menarik, sisanya hanya tulisan catatan belanjaan Moana.

Namun, sebelum aku mencari-cari petunjuk lain, suara langkah kaki samar terdengar dari koridor. Aku segera menutup buku itu dan menyembunyikannya di balik gaunku. Siapa yang berjalan di luar sana di tengah malam seperti ini? Apakah mereka tahu aku ada di sini?

Aku berdiri mematung, menahan napas sambil mendengarkan suara langkah kaki yang semakin mendekat. Tubuhku menegang. Dalam sekejap, rasa penasaran yang menggelayut di pikiranku berubah menjadi rasa waspada yang tak terkendali. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah ini?

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tadi kudengar semakin mendekat. Aku menahan napas, bersiap menghadapi siapa pun yang mungkin muncul. Apakah seseorang memergokiku di sini? Atau mungkin mereka sedang mencari sesuatu seperti yang kulakukan?

“Savannah…”

Aku tersentak mendengar suara berat yang familiar. Perlahan, aku meletakkan buku itu kembali di atas meja rias dan berbalik dengan hati-hati.

“Ayah?” tanyaku, mencoba menenangkan debaran di dadaku. “Ayah mengagetkanku... Ada apa? Kenapa Ayah ada di kamar Moana?”

Ayah menatapku dengan ekspresi lelah dan penuh beban yang sulit disembunyikan. Wajahnya terlihat lebih tua dari terakhir kali kulihat dengan jelas. Ada sesuatu yang aneh dalam sorot matanya—seperti penyesalan yang dalam, tapi juga sebuah keputusan yang sudah bulat.

“Aku... hanya ingin memastikan sesuatu,” jawabnya pelan sambil melangkah masuk, mengamati kamar itu dengan sorot mata kosong. “Dulu, tempat ini sering menjadi tempatnya menyendiri… Aku pikir… mungkin dia meninggalkan sesuatu.”

Aku mengerutkan kening, penasaran dengan nada suara Ayah yang terdengar berat dan penuh keraguan. “Ayah, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Moana pergi begitu saja? Kenapa aku harus menggantikan posisinya?”

Ayah menghela napas panjang dan mengalihkan pandangannya dariku. "Ini... bukan sesuatu yang mudah dijelaskan, Savannah. Ada banyak hal yang tidak kamu tahu... dan mungkin lebih baik kamu tidak tahu."

Aku mengepalkan tangan, menahan amarah yang tiba-tiba muncul. "Ayah selalu berkata seperti itu! Tapi lihat apa yang terjadi sekarang! Moana pergi, dan aku yang harus menanggung semua ini tanpa penjelasan. Aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi!"

Wajah Ayah menegang sesaat, tapi kemudian melunak, seolah menyadari bahwa aku tidak akan menyerah kali ini. “Ada alasan kenapa pertunangan Moana dibatalkan dan kenapa kamu yang dipilih untuk menggantikannya. Tapi percayalah, ini demi melindungi keluarga kita.” Aku hanya mencibir, sejak dulu semua kebaikan hanya untuk mereka semua.

“Melindungi?” Aku tertawa pahit. “Apa yang sebenarnya Ayah coba lindungi? Reputasi keluarga atau rahasia yang kalian sembunyikan?”

Ayah terdiam, seolah-olah sedang bergumul dengan pikirannya sendiri. Aku bisa melihat ada banyak yang ingin dia katakan, tapi entah kenapa dia menahannya.

“Percayalah… semua yang kami lakukan adalah demi kebaikanmu,” katanya akhirnya, sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkanku dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Aku berdiri mematung di tengah kamar yang hampa, dadaku terasa sesak oleh ketidakpastian. Jika semua ini benar-benar demi kebaikanku, kenapa rasanya seolah-olah aku sedang dipaksa menjadi bidak dalam permainan yang tidak kumengerti?

Aku segera keluar dari kamar Moana, dan berlari untuk menyusul ayah. Aku ingin ayah tahu, jika aku punya Andrew. Lagi pula masalah keluarga dan hutang piutang seharusnya tidak pernah menjadi tanggung jawabku.

"Ayah, " aku memanggil ayah yang sudah berada di ruang tamu. Pria itu menoleh padaku, aku segera berjalan lebih cepat dan duduk disebelahnya.

"Ayah, sebenarnya aku dan Andrew akan bertunangan dan akan menikah akhir tahun nanti. " aku mengucapkannya dengan sekali tarikan napas. Aku mengamati ayah yang kini hanya menatapku lurus. Ayah menghela napas panjang. Ayah menatapku dalam diam, seolah menimbang-nimbang apakah aku benar-benar siap untuk mendengar jawaban yang ada dipikirannya.

“Lupakan, lagi pula ayah tidak pernah setuju dengan Andrew,” katanya akhirnya, suaranya parau.

"Ayah, Aku mencintainya dan tidak ada seorang pun yang bisa mengubah hal itu. " ucapku dengan tenang. Aku tahu aku dan Andrew bisa berjuang untuk masalah finansial jika itu yang dikhawatirkan ayahku.

" Sebenarnya menjauh dari Andrew itu yang terbaik Savannah, karena ayah yakin tuan Wiratama juga tidak akan tinggal diam. " Aku mencetak, tertawa miring melihat ayah yang menatapku serius.

"Aku tidak peduli, dan aku tidak akan berkorban walaupun aku juga kasihan pada ayah dan keluarga kita. " ujarku dengan berapi-api, ayah hanya diam. Ayah akhirnya menghela napas.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel