Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Seterusnya

Audriana terbangun dalam kondisi yang gelap gulita.

Untuk sesaat ia merasa disorientasi tempat dan waktu, mengira kalau saat ini sedang berada di dalam kamar kosnya.

Namun rasa letih tak biasa di seluruh tubuhnya dan nyeri luar biasa di area selangkangannya, membuat pikiran Audriana kembali kepada realita hidup yang sungguh menyedihkan.

Gadis itu mencengkram erat selimut hangat yang menutupi tubuh polosnya, lalu perlahan menoleh ke samping dimana sesosok tubuh kokoh yang jauh lebih besar darinya sedang terbaring pulas dengan napas yang mengalun teratur dalam dengkuran halus.

Serta-merta Audriana pun menggigit bibirnya keras-keras, demi mencegah agar cairan bening tanpa warna itu tidak kembali berjatuhan membasahi wajahnya yang pucat karena kelelahan.

Ia tidak boleh lemah!

Nasi memang sudah menjadi bubur, kesucian yang ia jaga baik-baik selama ini ternyata telah hilang dirampas di usianya yang ke 24 tahun.

Tapi  Audriana tidak akan membiarkan bajingan Jaxton Quinn ini berbuat seenaknya lagi.

Terngiang kembali ucapan lelaki iblis yang arogan itu, yang mengatakan bahwa Audriana adalah miliknya, sebelum lelaki itu lagi-lagi menidurinya dengan brutal hingga ia pun tak sadarkan diri karena kelelahan dan sakit yang tak tertahankan.

Bahkan ingatan terakhir yang Audriana ingat adalah tubuh besar penuh otot itu yang masih terus bergerak menghujamnya dengan sangat keras, serta bibir lelaki itu yang menghisap pinkish nipple-nya kuat-kuat.

Seluruh tubuhnya, senti demi senti, telah disentuh dengan sangat kasar oleh Jaxton. Audriana merasa sangat kotor.

Jaxton bahkan juga menjambak kuat rambut panjang sepinggang Audriana ketika serbuan arus kenikmatan menerjangnya dengan dahsyat, membuat cairan kental hangat kembali menyembur dan membasahi milik Audriana entah untuk yang keberapa kalinya.

Audriana merasa diperlakukan lebih rendah dari seorang pelacur!

Cih! Sampai mati pun, ia tidak akan pernah sudi menjadi milik siapa pun, apalagi milik si jahanam Jaxton Quinn!

Dengan mata nyalang menatap ke sekitarnya, Audriana mencari-cari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk menusuk jantung lelaki yang telah memperkosanya itu.

Ia bahkan sungguh tak peduli jika sesudahnya dipenjara seumur hidup, asalkan Jaxton Quinn tak lagi ada di dunia ini!

Namun karena hanya kegelapan yang menyelimuti seluruh ruangan, membuat pandangan Audriana terganggu.

Dan ketika ia hendak bergerak turun dari ranjang, rasa nyeri luar biasa kembali menyerbu dirinya.

Audriana bahkan kesulitan untuk menggerakkan badan!

'Jaxton sialan! Iblis! Dia benar-benar telah menyiksa tubuhku hingga untuk turun dari ranjang pun rasanya sangat sulit,' rutuknya dalam hati.

Kekesalannya telah begitu memuncak, hingga gadis itu akhirnya memutuskan untuk mencekik leher lelaki yang terlihat masih pulas itu. Audriana pun berusaha untuk bergerak tanpa menimbulkan suara.

Sambil meringis menahan sakit, perlahan gadis itu berusaha memindahkan bobot tubuhnya hingga duduk di samping Jaxton.

Bahkan nyeri yang menusuk tajam pada bagian bawahnya pun diabaikan, demi membalaskan rasa dendam Audriana kepada manusia laknat yang tidur tanpa merasa berdosa sama sekali itu.

Ia menatap dingin pada wajah orang yang telah merusak hidupnya, lalu tanpa ragu menjulurkan kedua tangannya ke leher lelaki itu.

Matilah kau, Jaxton-brengsek-Quinn!!

"Aaahhkk!!" Audriana berteriak keras sesaat ketika tubuhnya malah terbanting kembali ke atas kasur, alih-alih duduk di samping Jaxton.

"Rupanya kelinci kecilku ini memiliki nyali juga," tukas Jaxton. Seuntai seringai dingin menghiasi wajahnya yang tampan namun terlihat menakutkan bagi Audriana.

"Mau membunuhku, kelinci kecil?"

"Tidaaak!!!" Audriana hanya bisa menjerit ketika Jaxton merangkum bibirnya di atas dada bulat sempurna dan menghisapnya kuat-kuat.

Sakit sekali.

Tiba-tiba saja Jaxton mengangkat kepalanya dan menatap tajam Audriana yang masih meringis kesakitan.

Netra hijau zamrud lelaki itu berkilau-kilau antusias melihat gadis cantik bak boneka yang kembali gemetar ketakutan di bawahnya.

Jaxton meraih dagu lancip Audriana dan mencengkramnya erat.

"Jangan bertingkah lagi, Manis. Kau tidak ingin kedua kaki dan tanganmu kubelenggu dengan rantai, kan?"

Audriana memicingkan matanya. "Kenapa tidak kau bunuh saja aku sekalian?" Desisnya.

Jaxton menaikkan satu alis lebatnya yang berwarna coklat. "Bunuh? Untuk apa? Aku masih menginginkan tubuhmu ini, Baby. Apa gunanya jika kau mati, hm?"

"Kalau begitu jangan salahkan jika aku yang akan terus berusaha membunuhmu!" Sembur Audriana dengan suara bergetar sambil menepis jemari Jaxton yang masih bertengger di dagunya.

Tubuhnya kembali menggigil. Mungkin rasa sakit, takut, marah dan cemas yang bercampur menjadi satu membuat tubuhnya bereaksi kacau.

Tawa dingin dan serak itu sukses membuat keberanian Audriana yang sempat muncul pun kembali menciut.

Bagaimana mungkin hanya sebuah tawa bisa membuat bulu kuduknya merinding? Meskipun menurutnya, jenis tawa Jaxton itu memang tak bisa dikategorikan tawa manusia normal.

Jika saja ini dunia dongeng, mungkin Jaxton adalah sejenis iblis berkedok manusia yang akan menghisap jiwamu hingga habis tak bersisa. Lalu membuang onggokan tubuhmu yang tak berharga itu kepada anjing-anjing neraka.

"Silahkan saja jika kau mau mencoba membunuhku," suara maskulin itu membuat lamunan melantur Audriana pun seketika buyar.

Gadis itu terkesiap kaget ketika bibir merah muda pucat milik Jaxton kini telah berada dekat di telinganya, dengan napas hangat yang berhembus menerpa kulit pipinya.

"Dan jangan salahkan juga jika aku menidurimu dengan lebih kasar setelahnya," balas Jaxton sambil menggigit telinga Audriana.

***

Kedua kelopak dengan bulu mata lebat dan lentik itu pun perlahan terbuka.

Pertama kali yang ia lihat adalah sesosok wanita muda berseragam maid, mungkin usianya tak jauh dari dirinya, sedang tersenyum dan menundukkan kepala hormat kepadanya.

"Selamat sore, Nona. Perkenalkan nama saya Windi," ucapnya lembut. "Saya yang akan membantu Nona membersihkan diri."

Mata bening beriris hitam itu pun mengerjap beberapa kali, berusaha mencerna semua ucapan wanita muda itu yang sepertinya sulit ia pahami.

"Membantu?" Ulang Audriana bingung.

Tentu saja ia bingung. Kenapa hanya untuk membersihkan diri saja ia perlu dibantu?

Wanita itu menganggukkan kepalanya yang bersanggul kecil di atas tengkuk. "Tuan Jaxton yang meminta saya untuk membantu Nona," sahutnya lagi.

Ah ya. Jaxton-si brengsek-Quinn.

Audriana menggeleng. "Aku tidak perlu bantuanmu. Aku bisa melakukannya sendiri."

Sebenarnya yang ingin ia lakukan saat ini adalah segera pulang, tapi rasanya Audriana tak betah juga dengan badannya yang lengket dan dipenuhi cairan sperma.

Aaah, mengingatnya kembali membuat Audriana meradang. Benar juga, sepertinya ia harus membersihkan tubuhnya dari sisa-sisa cairan menjijikkan itu terlebih dahulu sebelum pulang.

Namun bagaimana mungkin Audriana membiarkan orang lain melihat tubuh polosnya yang dipenuhi kiss mark dan bekas gigitan dari lelaki jahanam itu? Ia akan sangat malu.

Wajah pelayan itu pun tiba-tiba berubah pias. "Tolonglah, Nona. Tuan Jaxton akan sangat murka jika saya tidak mematuhinya," pintanya dengan wajah memelas.

Meskipun enggan, namun pada akhirnya Audriana tidak tega juga menolak permintaan pelayan itu setelah melihat matanya yang mulai berkaca-kaca.

Dasar Jaxton sialan! Iblis tukang perintah! Semoga saja dia tersedak dan mati ketika makan!

Berjuta umpatan dialamatkan Audriana sambil menahan rasa malunya, saat pelayan itu membuka selimut dan membantunya berjalan menuju kamar mandi.

Sengatan panas yang ia rasakan di bagian bawah tubuhnya membuat Audriana meringis dan menggigit bibirnya.

"Maaf, apa saya membuat Nona kesakitan?" Tanya pelayan muda itu cemas.

Audriana menggeleng. "Bukan kamu yang menyakitiku. Tapi Tuanmu."

Pelayan muda itu diam saja, namun ia terus membawa Audriana menuju kamar mandi yang terletak di ujung kamar yang sangat luas ini.

Aaaah!! Kenapa kamar si brengsek ini besar sekali sih??

Audriana merasa merana karena harus berjalan tertatih-tatih sembari menahan sakit di selangkangannya.

Ia pun mendesah lega ketika akhirnya sampai juga ke dalam kamar mandi yang tak kalah luas dan mewah, lalu berendam di dalam air hangat beraroma mawar yang membuatnya rileks.

"Siapa namamu?" Tanya Audriana pada pelayan muda yang sedang memijat kepalanya lembut.

"Nama saya Windi, Nona."

"Panggil saja aku Audriana, Windi. Sepertinya kita seumuran."

Windi menggeleng, meskipun Audriana tidak dapat melihatnya karena posisinya yang duduk di belakang bath tub sambil memijat rambut Audriana, setelah mengolesinya dengan shampo yang harum.

"Maaf, Nona. Saya tidak diperkenankan memanggil nama kepada Nona," terang Windi. "Tuan Jaxton sudah mewanti-wanti kami semua untuk hormat dan melayani Nona Audriana."

Audriana pun sontak mendengus pelan ketika Windi menyebut nama lelaki biadab itu. Hah, merusak suasana saja!

"Tidak perlu seformal itu. Toh aku juga akan segera pergi dari sini," tukas Audriana ringan.

"Pergi?" Ulang Windi bingung. "Memangnya Nona mau kemana?"

"Tentu saja pulang ke rumahku!" Cetus gadis itu tegas. Walaupun sebenarnya bukan rumah juga sih, tapi kamar kos lebih tepatnya.

Dan segera setelah dia pulang, Audriana akan melaporkan perbuatan Jaxton yang telah melecehkannya kepada Polisi!

Tapi sebelumnya ia harus mencari dimana lelaki itu menyimpan tas beserta ponselnya, karena sejak Audriana dibawa secara paksa ke dalam kediaman Jaxton, ia tak bisa menemukan semua benda-benda miliknya lagi.

"Maaf Nona. Tapi sepertinya Anda tidak bisa pulang ke tempat itu lagi. Tuan Jaxton telah mengatakan kepada seluruh penghuni rumah bahwa Nona Audriana akan tinggal di sini, untuk seterusnya."

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel