1 || Waktu Berputar Kebelakang.
"Ma …"
Awan kelabu menyelimuti langit. Tampaknya hujan turun tinggal menghitung detik, tetapi pada garis cakrawala itu hanya ada guntur dan petir yang berkilat-kilat bagai siap menyambar.
Pandangan Hao Yang kosong melompong. Nafas masih berembus tapi jiwa seolah telah terlepas.
"Apakah aku akan mati setragis ini?"
Pada keheningan tiada banding, pada dingin hingga menusuk tulang, pada rasa sakit tiada terlukiskan, wanita bermarga Hao itu bertanya yang berakhir sepihak.
"Bagaimana dunia setelah kematian? Apakah aku akan sengsara, lalu … lalu apakah Adipati Feng dan beberapa orangnya akan membakar uang atau mengirim makanan untukku?"
Hao Yang berada dalam ambang kematian tanpa seorang pun, bukannya membaca doa kebajikan yang bertahun-tahun dia salin, tetapi dia malah membuang banyak energi untuk mempertanyakan hal yang sudah dia ketahui jawabannya.
Lalu, menyadari Adipati Feng tidak akan melakukan hal demikian untuknya, dia tertawa getir. Kemudian air mata jatuh secara perlahan tapi pasti, membelah pipi berdarah yang entah sudah seberapa lama karena rasanya telah kering menarik setiap jaringan kulit.
"Baiklah …" Hao Yang membuang nafas panjang. "Pernikahan kami hanya sebatas pernikahan. Tidak ada cinta, tidak ada kasih sayang meski aku telah mengorbankan banyak hal. Sekarang … aku bisa pergi tanpa menyimpan luka lagi."
Wanita malang dengan tusukan pedang lebih dari tiga, serta kepala berdarah karena terbentur batu itu kini memejamkan mata diikuti embusan nafas terakhir dan senyum menitikan air mata.
"Hao Yang!!!"
Di ujung penyerahan jiwa, dia mendengar seseorang berteriak menyebut namanya, tetapi semua telah terlambat.
Hao Yang telah mencapai batas. Dia berakhir mati tragis setelah ditikam sebanyak tujuh kali menggunakan pedang sendiri lalu ditendang ke dasar jurang, mendarati batu cadas yang melukai kepalanya bertubi-tubi.
Hujan yang tertahan di cakrawala, sekarang memberondong berdesakan. Angin besar bergulung-gulung menerpa. Daun-daun bergoyang, berjatuhan membelah rintik. Salah satu yang kering mendarati kening Hao Yang. Seonggok tangan segera menepis, seonggok tangan segera mengusap kening itu lalu air mata bercucuran menyaingi rintik hujan.
Hao Yang tiba-tiba berada di tempat yang gelap laksana malam tanpa lentera. Dengan pikiran kacau dan ketakutan menelisik perlahan, dia berputar kesana-kemari. Pada hati terdalamnya, dia berharap ada secercah cahaya untuk berjalan, tetapi kegelapan nyaris tiada bercelah itu malah terasa menyempit secara mengerikan.
Sesak seketika menyelimuti, Hao Yang ingin berteriak memanggil siapapun yang ada dalam ingatan. Hanya saja, hawa dingin entah kapan datangnya menyeruak lalu menyentuh kulitnya sampai dia memeluk diri lalu …
"Huah!"
Prang!
Hao Yang terduduk. Botol berlapis kain beludru sebagai penghangat di atas perutnya terjatuh menyentuh lantai.
Saat yang sama, gadis muda berambut ikal membuka pintu dengan cepat lalu menghampiri Hao Yang. Kekhawatiran berpadu kesenangan terlukis jelas di wajah gadis muda tersebut.
"Nyonya! Akhirnya kamu sadar!" Gadis muda itu berucap penuh haru. Dia bahkan langsung memeluk Hao Yang seolah sebelumnya dia sangat mengkhawatirkan wanita itu pergi.
Hao Yang mengedarkan mata dengan kebingungan tergambar di bola matanya yang redup. Kejadian tragis yang merenggut nyawanya secara kejam melintas tiba-tiba. Dia spontan menyentuh dada juga kepalanya yang anehnya terasa baik-baik saja.
"Nyonya! Aku akan memanggil Tabib. Tunggu sebentar." Gadis muda serupa beranjak. Dia hendak pergi, tetapi Hao Yang menangkap pergelangan tangannya.
"Yu Li, kenapa aku masih disini?" tanya Hao Yang pada gadis muda tersebut.
Gadis muda bernama Yu Li ini mengernyitkan kening lalu kembali duduk dan bertanya pelan. "Nyonya, kamu sakit selama satu pekan ini. Semua orang mengira kamu telah mati tapi Adipati Feng percaya kamu akan sembuh, jadi kamu tidak dikremasi. Tentu saja kamu masih disini. Memangnya dimana lagi?"
Bola mata Hao Yang memperbesar kebingungannya. "Adipati … pria itu …"
Yu Li agak mencondongkan tubuhnya kemudian berkata setengah berbisik, "Ketika Nyonya sakit, sikap Adipati Feng terhadap Nyonya sangat berbeda. Adipati Feng menjadi penuh kasih sayang pada Nyonya sampai Selir Nian dan Selir Mu Fei cemburu."
Kedua bola mata Hao Yang langsung membulat setelah mendengar nama dua Selir Adipati Feng, dan tanpa aba-aba kematiannya yang tragis melintas di depan mata sekali lagi.
Seseorang yang menikamnya tanpa ampun tak lain tak bukan adalah Selir Nian yakni Selir pertama Adipati, dan Selir Mu Fei yakni Selir ketiga Adipati yang termasuk saudara Permaisuri.
"Ini … ini tidak mungkin," lirih Hao Yang disertai gelengan lemah.
"Apanya yang tidak mungkin Nyonya?" tanya Yu Li kembali.
Hao Yang terdiam dengan otak berputar keras. Setelah tak menemukan apapun, dia kembali bertanya. "Yu Li, sekarang tahun berapa?"
Yu Li menjawab, "Tahun 777, bulan sebelas. Musim dingin sedang berlangsung, karena itu botol penghangat tadi kuletakkan di perut Nyonya."
Hao Yang terkejut. "Tahun 777?"
Yu Li bertanya sambil menyeringai kaku. "Kenapa aku merasa Nyonya sangat aneh?"
Hao Yang akhirnya menyadari dirinya kembali ke kehidupan tiga tahun sebelum kematiannya yang tragis datang. Dan berdasarkan perhitungan, tahun ini adalah tahun kedua dia di kediaman Adipati Feng sebagai Selir kedua.
Lalu, sosok Yu Li yang di kehidupan sebelumnya menghilang di tahun keempat dan tidak pernah terlihat hingga kematian Hao Yang, tahun ini masih setia mendampingi.
"Aku lahir kembali tapi masuk di masa lalu," batin Hao Yang.
Yu Li mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah Hao Yang. "Nyonya, apa yang kamu pikirkan?"
Hao Yang mengerjap. Dia lagi dan lagi teringat kejadian masa lalu dan bertanya. "Yu Li, sekarang dimana Adipati?"
"Ahh iya, tiga hari setelah Nyonya tidak sadarkan diri, Adipati berangkat berperang di perbatasan."
Hao Yang tampak mengingat-ingat. 'Berdasarkan hitungan, tiga hari lagi Adipati akan pulang. Di masa lalu, aku menyambutnya dengan membuatkan sup osmanthus kesukaan pria itu tapi Selir Mu Fei mengacaukan dengan membuatku terjatuh di depan banyak orang.
Saat itu, wajahku seperti dilempar kotoran, bahkan buhannya menolongku, Adipati Feng malah duduk tenang di kursi kebesarannya. Cihhh, aku tidak akan mengulangi kesalahan serupa!'
Karena kejadian sebelumnya, begitu momen kepulangan Adipati Feng tiba, Hao Yang tidak pergi menyambut pria itu, melainkan berdiri di balkon rumahnya dengan tatapan angkuh.
"Nyonya bersiap-siaplah, kita harus mengantar bubur osmanthus pada Adipati Feng," ucap Yu Li.
Hao Yang mengibaskan tangan tidak tertarik. "Tak perlu melakukan kebodohan itu. Siapkan saja jaring penangkap ikan."
Yu Li termangu.
"Kita tidak akan menyambut Adipati Feng, tetapi menangkap ikan mas untuk makan sendiri."
Rahang Yu Li nyaris jatuh. Pandangannya terhadap Hao Yang semakin sulit dijelaskan.
"Mulai sekarang, aku tidak akan pernah membiarkan mereka menindas kita!" Tekad Hao Yang berambisius.