Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Menjadi Permulaan Masa Depan

     Gadis itu berusaha mencuri-curi lirikan. Strateginya adalah memandang lagi ke sekeliling lalu melintas sejenak ke arah laki-laki itu.

    “Apa aku salah menilai? Kenapa wajahnya terlihat  sedih? Dia tidak cocok menjadi penculik. Apa mungkin dia pencopet yang miskin dan kelaparan? Ah ya! Mungkin dia ingin mengincar tasku. – Tapi ... itu hanya akan membuang energinya saja karena di dompetku hanya tinggal uang receh. Andai dia tahu kalau tujuanku bertemu Zoe untuk pinjam uang. – Bagaimana ini, tidak ada yang bisa aku berikan? – Tapi ... gaya berpakaiannya kenapa resmi sekali?! Itu tidak menandakan kalau dia butuh makan, bahkan dia bisa memberi makan. Tidak mungkin-tidak mungkin! Kalau dia pencopet, setelan jas itu juga akan menyulitkannya untuk lari. Lagi pula copet mana yang berpakaian necis begitu!”

     Berbagai prasangka masih merundung Soa, dan tentu saja semua gagasannya mustahil di terima logika. Tiba-tiba suara notifikasi komentar di media sosial menghentikan Soa dari dugaan-dugaan anehnya. Gadis itu memilih menjauh, mencari tempat duduk yang ia pikir tak bisa ditangkap mata si orang asing. Lantas, menikmati balasan komentar dari teman-temannya.

     “Kudaku langsung sakit saat kuajak untuk menjemputmu.” Max menjadi yang pertama berkomentar. Membuat Soa jadi tertawa terbahak-bahak. Teman-teman Soa yang lain turut menyusul satu persatu berkomentar.

     Hanna : “Tunggulah di sana, pangeran kodok akan datang untukmu. Hahaha.”

     Dori : “Hei Soa. Ini sudah zaman mobil mewah, kenapa kau masih mengharapkan kuda?”

     Max : “Mau semodern apa pun dunia ini, Soa akan selalu hidup di masa lalu.”

     Soa tak tahan lagi untuk tidak membalas. “Apa sih kalian, aku hanya sedang berkhayal sambil menunggu Zoe.”

     Hanna kembali menimpali, “Lihatlah! Ternyata Zoe pangerannya.”

     Dori : “Zoe? Hahaha. Kupikir Shane.”

     Soa terbelalak, buru-buru ia balas lagi komentar Dori. “Jangan kau sebut nama itu. Aku tidak ingin dia muncul tiba-tiba.”

     Max memberi pesan gambar tertawa.

     Hanna : “Hahaha sekarang ia pasti sedang ketakutan.”

     Dori : “Ups! Aku kelepasan. Hahaha ... ”        

     Tiba-tiba balasan dari seseorang yang tak diharapkan muncul. “Di mana aku harus menjemputmu?” Itu komentar dari Shane, lelaki yang pernah mengejar cinta Soa mati-matian bahkan rela mempermalukan dirinya sendiri. Soa bergidik geli, ia yakin sahabat-sahabatnya merasakan hal yang sama. Saling berbalas komentar pun mendadak lenyap.

     Soa keluar dari media sosialnya. Memasukkan telepon genggam ke dalam tas dan tak berselera lagi menulis apa pun di sana. Lalu disaat ia menengok ke sisi kirinya ...

      “Kau?!” gadis itu langsung terperanjat. Pria berpakaian serba hitam itu ternyata sudah duduk di sampingnya.

     “Kau?! – Kau bilang kau?!” lelaki itu justru membalas tak kalah tercengang.

     Keelokan wajah laki-laki itu semakin jelas Soa lihat. Kulitnya putih namun agak pucat. Matanya jernih biru bagai langit tak berawan. Tulang rahangnya tegas dan hidungnya tinggi membentuk sempurna. Batin Soa lagi-lagi berujar, “apa dia ingin melakukan pendekatan kepadaku?” lalu berpaling muka sambil tersenyum sembunyi-sembunyi. “Hem, ampuh juga krim wajah pemberian Dori.”

     “Kau?!” balas laki-laki itu masih dengan ungkapan sama. Nadanya terkesan jelas tak percaya.

     Soa membetulkan posisi duduknya agar tampak lebih anggun. Menyilangkan kaki sebagaimana perempuan yang feminin dalam bayangannya duduk. “Apa?” ucapnya lembut.

     “Kau bisa ... melihatku?!” tanya laki-laki itu ragu.

     Dahi Soa mengerut, raut mukanya terheran-heran. “Apa kau merasa tubuhmu sebesar kuman, sampai berpikir aku tak bisa melihatmu?!” pungkasnya. Ia amati raut muka laki-laki itu yang juga heran. Batinnya kembali berisik, “Kenapa orang setampan ini bisa sebodoh itu?” sikap duduk penuh kelembutan pun pudar.

     “Dia sungguh-sungguh bisa melihatku,” pemuda itu bergumam sendiri. Ada senyum kecil yang menyelip disela-sela garis temu bibirnya. Soa bisa merasa pemuda itu tampak senang, sekaligus merasa dirinya sendiri mulai agak ketakutan.   

     “Memang kau ini siapa?” Giliran Soa memberanikan diri balik bertanya.

     “Aku. Hm ... apa sebutan manusia terhadap makhluk yang tidak bisa mereka lihat?” lelaki itu menyahut lagi namun kali ini terlihat lebih serius.

     Soa berpikir sejenak. “Oh! Hantu.”

     “Hah, aku bukan hantu!” Soa langsung terbahak-bahak melihat kegusarannya. Menarik orang-orang di sekitar untuk ikut memperhatikan.

     Sadar sudah menjadi sumber perhatian, gadis itu jadi malu dan langsung menyungkur pura-pura sibuk dengan tali sepatu. Berbeda dengan lelaki itu, tak sedikit pun ia menarik pandangan dari Soa. Diamati gadis itu tanpa berkedip. Seakan waktu untuknya terhenti, memberi ia peluang untuk menikmati.

     “Kau masih saja cantik seperti dulu,” ungkap lelaki itu tiba-tiba memuji. “Dengan tawamu yang tak bisa kulupakan.”

     Soa merasa ini semakin aneh. “Seperti dulu dia bilang?” tanya benaknya. “Apa dia penggemar rahasiaku?” sekaligus tak lupa untuk percaya diri.

     “Kau selalu bisa tertawa dan menarikku ikut masuk ke dalam ceria. Membuatku lupa, di antara kita ada jurang pemisah yang dapat merenggut nyawa.”

     Soa menggaruk-garuk lehernya, merasa kikuk dan tak mampu mengerti dengan maksud ucapan orang asing di sampingnya yang terkesan puitis. “Oh!” tiba-tiba Soa teringat sesuatu. Kepalanya celingak-celinguk mencari. “Apa kau orang suruhan Shane?” tanyanya cemas.

     “Shane? Siapa dia?”

     Gadis itu menghela nafas lega. Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya kalau Shane lagi-lagi mengejarnya. Ia kembali melirik lelaki itu, “Lalu siapa kau sebenarnya?”

     “Anggap saja aku dewa,” pintanya santai. Membuat tawa Soa kembali pecah.

     “Jika kau dewa, maka kau bisa menganggapku Alien,” balasnya tanpa berpikir. Menduga kalau itu lelucon yang sangat lucu. Dikiranya lelaki itu akan ikut terbahak-bahak bersama, nyatanya ia hanya memasang muka datar.

     Soa merasa salah tingkah. Tawa itu tak lama menyemai di bibirnya, perlahan semakin terasa hampa, hatinya berubah cepat merasa ada yang semakin tidak beres. Ia jadi menduga laki-laki di depannya ini tidak waras. Ia pikir kalaupun terus menimpali ia akan ikut tidak waras. Ia putuskan untuk tidak lagi menghabiskan banyak waktu bersama lelaki itu.

     Soa langsung berdiri lantas merogoh tasnya. Hanya sebuah permen Lolipop yang ia temukan. “Ini untukmu,” ucap Soa sambil menyodorkan permen itu. “Hanya ini yang bisa aku beri. Aku harus pergi.”

     Lelaki itu memandang permen di tangan Soa. “Aku tidak bisa menerima permen itu dalam wujudku yang seperti ini. Simpan saja untukmu. Kalau kita bertemu lagi dengan wujudku yang berbeda, berikan permen itu lagi padaku.”

     Rasa takut semakin mengguncang Soa. Nafasnya tertahan, tenggorokan pun sulit menelan. Ia semakin ngeri dengan orang di depannya. “Aku harap kita tidak bertemu lagi,” gumamnya lirih.

     “Apa katamu?”

     “Oh tidak! Tidak apa-apa. Aku hanya berkata temanku lama sekali datang, jadi lebih baik aku tinggal pulang saja.”

     “Begitu? Padahal aku bersedia menemanimu sampai dia datang.”

     Soa tergemap dengan penawarannya. “Te - terima kasih. Selamat tinggal,” ucapnya hendak berjalan cepat.

     “Kau tidak ingin tahu namaku?” ucapan lelaki itu seketika menahan.

     Soa kembali menatap ke arahnya. Ia merasa heran dengan dirinya sendiri, ia tak peduli dengan pria itu akan tetapi ia juga penasaran siapa namanya.

     “Memang siapa namamu?” Soa bertanya pada akhirnya.

     “Arandra.”

     “Arandra?” batin Soa mendadak tergelitik. Ia merasa nama itu dekat dengannya, akan tetapi ia juga tak mengerti bagaimana nama itu bisa terasa di hati. Pada akhirnya ia menganggap itu hanya sekedar perasaan biasa. “Baiklah. Namaku Soa.”

     “Ya – aku tahu.”

     Lagi-lagi Soa dibuatnya tergemap. “Ba-bagaimana kau tahu namaku?”

     Tidak ada jawaban memuaskan sama sekali, Arandra hanya mengukir senyumnya menyiratkan misteri. “Sampai bertemu lagi, Soa.” Tutur lelaki itu tanpa sedikit pun sadar bahwa sejak tadi ia telah membuat gadis di depannya ketakutan.

     Soa tak habis pikir dengan lelaki di hadapannya. Tidak peduli dan tak ingin memperpanjang obrolan lagi, buru-buru gadis itu melangkah menjauhi. “Astaga! Dia lebih mengerikan dibanding Shane,” ungkapnya mengeluh. Hatinya penuh harap, dunia tidak akan mempertemukan mereka lagi meski sesaat.

 

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel