Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 7

"Kalo traktir orang, sebaiknya lo yang pilih tempat dan menunya."

- Adeeva Abriana Utama-

???

Deva POV

Aku di seret lagi oleh Fabian keluar dari restoran ini ketika aku sedang asyik asyiknya menikmati sunset. Fabian mengajakku ke parkiran dan tancap gas dari tempat ini, aku menyadari jika kini perjalananku dan Fabian menuju daerah Nusa Dua.

"Kita kok ke arah Nusa dua ya?" Tanyaku padanya ketika Fabian fokus menyetir mobil sport hijaunya.

"Iya, restorannya ada di daerah sana."

Setelah itu aku diam. Tidak berminat basa basi padanya. Tapi Fabian sepertinya memang tipikal orang yang suka berbasa basi bila itu denganku, entah dengan orang lain bagaimana, karena aku tidak mengenalnya.

"Dev, lo kok diem aja sih, sakit gigi?"

"Nggak, cuma lagi mikir doang."

"Mikir apa?" Tanyanya padaku.

Asli si Fabian ini kepo pakai banget sih jadi cowok. Enggak ada keren-kerennya menurutku.

"Bukan urusan lo," Pungkasku karena aku malas berbasa basi dengannya.

"Lo kok kalo sama gue jutek banget sih, Dev, gue salah apa sih di jutekin mulu?"

Nah, pertanyaan ini membuatku bingung menjawabnya. Aku saja tidak tau alasanku jutek padanya. Padahal Fabian sudah cukup berbaik hati karena mau menjadi pasangan bohonganku untuk hari ini dan besok sore. Karena resepsi pernikahan Lionel dan Sekar adalah besok sore pukul 16.00 WITA.

"Gue nggak tau juga, lihat muka lo, gue pengen jadiin lo samsak terus."

Fabian tertawa mendengar jawaban jujurku.

"Apa gue mesti oplas nih? biar hasrat jutek lo hilang tiap lihat gue?"

"Emang lo ada budget? oplas mahal kali."

"Kalo ada gimana, kira kira tampang siapa yang pas buat gue?"

Dia masih terus mencoba mencari cari bahan obrolan denganku. Padahal aku sudah malas sekali menjawab setiap pertanyaan yang keluar dari bibir pinknya.

"Siapa aja boleh, asal bahannya pakai plastik kresek. Hitung-hitung ngurangin sampah plastik di bumi kan."

Fabian melirikku dengan tatapan jengkelnya. Aku menahan diri untuk tidak tertawa. Aku sedang menang di atas Fabian kali ini. Dan aku bahagia karena dia akhirnya diam, tidak berkata kata lagi sepanjang perjalanan hingga akhirnya kami tiba di sebuah restoran.

"Kita mau makan di sini?" Tanyaku padanya.

"Iya, yuk, masuk didalam bagus," kata Fabian sambil tersenyum ramah dan hangat padaku.

Aku heran pada Fabian, aku kan sudah jutek padanya, kata kataku kasar lagi tapi entah kenapa dia selalu santai padaku, tidak pernah memperlihatkan kemarahannya atau kebenciannya padaku atas tindakanku selama ini padanya. Dan itu justru kadang membuatku lebih ingin menjadikannya samsak kemarahanku.

Aku dan Fabian memasuki restoran itu. Dan aku langsung menarik tangannya untuk berhenti.

"Tunggu, tunggu."

"Ada apa lagi sih, Dev? jangan bilang dompet lo ketinggalan ?"

"Bukan, bukan itu, Bi," Kataku padanya

"So?"

"Lo lihat penampilan gue sama lo nggak sekarang?"

"Kenapa memangnya?"

"Penampilan kita sekarang nggak pantes masuk tempat beginian," kataku mencoba menerangkan kepada Fabian tapi Sepertinya ia menolak mengerti.

"Gue nggak peduli apa kata orang selagi kita bayar dan gue lebih peduli sama cacing di perut gue yang lagi pada demo."

Kemudian Fabian menyeretku lagi memasuki restoran ini dan aku baru tau ternyata Fabian telah melakukan reservasi atas namanya untuk 2 orang malam ini.

Kami diantar untuk memasuki restoran lebih dalam. Dan wow, aku takjub dengan pemandangan yang ada disini. Baru kali ini aku ke restoran ini, padahal aku sudah cukup sering ke Bali. Bahkan Papa dan Mama memiliki sebuah villa di Bali. Lebih tepatnya ada di Ubud yang sering kami kunjungi bila sedang liburan keluarga. Namun bila hanya liburan dengan teman temanku, aku lebih memilih untuk menginap dihotel.

"Bagus banget sih, Bi, tempatnya," kataku masih takjub memperhatikan ikan-ikan yang berenang kesana kemari.

Entah sedang memiliki keberuntungan atau bagaimana, restoran kali ini cukup sepi sehingga suasana kali ini berasa seperti candle light dinner.

Fabian hanya menatapku sambil tersenyum, tidak lama kemudian seorang waiters menghampiri kami dan memberikan daftar menu. Aku masih ingin melihat ikan-ikan, sehingga bagian memilih menu aku serahkan pada Fabian.

"Dev, lo mau makan apa?"

"Apa aja terserah lo, gue ngikut aja."

Fabian menganggukkan kepalanya kemudian ia memilih menu untuk kami berdua. Dan tidak lama setelahnya waiters tersebut meninggalkan kami lagi.

"Gimana, lo suka tempatnya?"

Aku tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Gue kira tempat kaya gini cuma ada di Maldives atau Dubai."

Fabian tertawa pelan di hadapanku, "nggak perlu jauh-jauh lagi, restoran ini juga masuk salah satu restoran terbaik di dunia. Jadi nggak perlu diragukan kualitasnya."

Beberapa saat kemudian di tengah obrolan ngalor ngidulku dengan Fabian yang tidak jelas juntrungannya ini, datanglah menu yang di pesan Fabian untuk kami berdua.

Aku menatapnya takjub. Bukan karena aku tidak pernah makan makanan mahal, bukan, bukan itu. Tapi aku sedang berfikir berapa banyak uang yang harus aku gelontorkan hanya untuk makanan yang aku yakin setelah aku sampai di hotel kembali perutku sudah lapar dan minta di isi kembali.

"Yuk, Dev, buruan kita santap makanannya," kata Fabian sambil memaparkan senyum termanisnya padaku.

Aku yakin Fabian sedang tertawa bahagia di dalam hatinya, karena berhasil mengerjaiku. Mungkin bagi Salma yang hidupnya lebih banyak dibanjiri uang daripada darah sejak lahir, makan di tempat seperti ini tidak menjadi persoalan baginya, tapi tidak bagiku. Bagiku selagi itu halal, murah dan mengenyangkan saja sudah cukup. Tidak harus mahal. Bahkan tempat makan favoritku saja hanya di cafe 3 ceret alias angkringan.

"Iya, Bi, buruan di makan makanannya," kataku pada Fabian, kemudian aku sendiri berusaha menikmati makanan yang ada di mejaku ini.

Pelajaran hidup kali ini sungguh aku bayar mahal, seharusnya jika aku mau mentraktir seseorang, sebaiknya aku yang memilih menu dan tempatnya. Agar tidak berakhir seperti malam ini. Aku terpaksa mengeluarkan kartu kredit untuk membayar tagihan makanan dan minuman kami berdua. Padahal aku dan sahabat sahabatku adalah tipe orang yang jarang sekali mengeluarkan kartu kredit kami walau kami memilikinya. Kami lebih memilih menggunakan kartu debet karena kami mau hidup sesuai kemampuan kami saja. Hidup bagi kami bukan untuk gaya gayaan saja apalagi mengejar gengsi.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel