10. Trash
Gadis cantik itu mengenakan jaket tipis guna menutupi seragam kerjanya, kedua kakinya terhenti tepat di depan sebuah gedung pencakar langit. Vanessa mengernyitkan kening, memastikan bahwa alamat yang ia tuju adalah benar. Dan ternyata ia tidak salah melangkah melihat logo Watson Enterprise di sisi lain bangunan, nyali Vanessa semakin menciut, gadis sepertinya memasuki gedung perkantoran yang mewah tersebut.
Meskipun ia bersikap sewajarnya, namun Vanessa menyadari ini bukan kelasnya. Kemari hanya untuk sebuah keperluan, dan sialnya keperluan tersebut ditujukan oleh pemilik seisi gedung ini. Melihat nama Mr. Watson ada dimana-mana membuatnya sedikit paranoid, belum lagi lirikan berbagai mata yang mengawasinya sejak pertama kali memasuki aula gedung.
Vanessa sedikit risih, ia tahu ia terlihat kumuh untuk bisa memasuki gedung elit seperti ini. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain ini, anggaplah rasa malunya telah mati mengalahkan rasa keinginan yang besar. Entah keinginan untuk uang atau mungkin seks dengan Mr. Watson. Vanessaa mulai tidak dapat membedakan dua hal itu jika menyangkut urusan dengan Mr. Watson.
Kedua mata Vanessa melihat sekitar hingga menemukan meja sang resepsionis, seperti orang yang bingung Vanessa sendiri belum pernah memasuki gedung seperti ini. Dengan gugup, langkah pelan Vanessa membawanya berhadapan dengan resepsionis yang dinilai Vanessa memiliki wajah ketus meski terbilang cantik.
Seperti resepsionis di kota-kota besar pada umumnya, tubuh tinggi semampai mengenakan baju formal namun sangat ketat dan seksi, serta wajah dengan polesan make-up tebal dengan warna rambut blonde dan warna mata sebiru laut bak boneka barbie. Tapi raut wajahnya yang sangat tidak bersahabat ketika melihat Vanessa, sangat berbanding terbalik dengan segala kecantikan yang dimiliki wanita itu.
Vanessa terdiam sebentar, membiarkan wanita itu mengamatinya dari atas hingga k bawah dengan alis terangkat. Vanessa tahu, wanita itu cukup terkejut dengan kedatangan gadis kumuh seperti dirinya kegedung ini. Dan Vanessa masih beruntung petugas keamanan di luar tak mengusirnya karena Vanessa memang memiliki keperluan kemari.
"Ada yang bisa kubantu Miss?" Pertanyaan tersebut, meski terdengar sopan namun Vanessa tidak suka dengan cara wanita itu menatap dirinya. Seakan Vanessa adalah butiran debu yang hinggap di sebuah berlian dan harus segera disingkirkan sebelum menebar bakteri disini. Vanessa tidak berkecil hati, karena itu memang benar. Dan sesuatu hal, debu sepertinya ada disini karena dirinya meembutuhkan sedikit berlian yang dimiliki oleh Mr. Watson.
"Hm... apa aku bisa bertemu dengan Mr. Watson?" tanya Vanessa kikuk, masih memandangi Vanessa dengan perasaan jijik, wanita berambut pirang itu mengernyitkan kening. Seolah Vanessa adalah model ternama seperti yang sering dikencani oleh Mr. Watson yang dapat keluar-masuk gedung ini sesuka hatinya.
"Kau pikir kau siapa?" Tanya wanita itu dengan nada ketus, pada akhirnya lidahnya tak mampu lagi menahan kalimat kasar yang sedari tadi menggumpal di tenggorokannya. Menatap Vanessa seperti halnya ia adalah sebuah kotoran meski wajah Vanessa terbilang cantik dan sangat natural, mungkin karena hal itu sang resepsionis menjadi sinis. Mengabaikan jabatannya yang mengharuskan seramah mungkin dengan semua pegawai termasuk tamu yang ada disini, apalagi semenjak nama Mr. Watson disebutkan oleh Vanessa.
"M-maaf... tapi-"
"Mr. Watson sedang tidak ada, kau boleh pergi." ujarnya, Vanessa bahkan belum sempat menyelesaikan ucapannya.
Vanessa tertunduk berpikir sejenak, jika ia pergi kemana lagi ia akan mencari pria itu.
"Hm... bolehkah aku meninggalkan ini untuk Mr. Watson, kumohon?" Vanessa sampai harus memohon kepada wanita ketus itu hanya demi bertemu dengan Mr. Watson, atau lebih tepatnya demi Lisa yang sudah menunggunya. Mendengar Vanessa berkata demikian, wanita itu kemudian menerima sebuah amplop cokelat yang diulurkan oleh Vanessa.
Sedikit lecek dan kotor, bahkan wanita itu menerimanya menggunakan dua jari dan seolah-olah itu adalah sampah. "Baiklah, aku akan memberikannya, nanti..." balas wanita itu, berharap dengan ia menerima benda tersebut Vanessa dapat cepat pergi dari hadapannya dan mengganggu pemandangannya.
"Terimakasih, permisi..." ujar Vanessa lalu berbalik badan meninggalkan wanita itu, yang hanya dibalas dengan geraman oleh sang resepsionis.
Vanessa berjalan menuju pintu keluar, berharap amplop tersebut bisa sampai kepada pemiliknya. Karena Vanessa telah meninggalkan goresan tinta di lembaran terakhir perjanjian tersebut dan menyatakan bahwa dirinya menyetujuinya, kali ini ia tidak akan ragu. Dan berharap Mr. Watson segera melihatnya dengan begitu akan mempermudah pengobatan Lisa.
Semoga saja...
Vanessa kembali ke kafe, setelah ia sempat meminta ijin kepada Uncle Clark untuk keluar dari kafe sebentar saja dengan alasan keperluan. Uncle Clark tentu memberinya ijin meski pria tua itu memberikan tatapan menyelidik padanya, namun Vanessa mencoba memberi pengertian.
Kedua mata yang mengenakan bulu mata palsu tersebut menatap Vanessa telah lenyap dari pandangannya, seketika resepsionis tersebut memandang amplop cokelat tersebut. Ia penasaran, apa yang diberikan gadis itu kepada Mr. Watson yang notebennya adalah pemilik tempat dimana ia bekerja selama beberapa tahun ini. Dan selama itu pula, ia tak pernah sama sekali berkomunikasi dengan pria itu.
Tapi gadis tadi, dengan seenaknya ingin bertemu dengan Mr. Watson meski saat ini pria itu ada di dalam ruangannya. Ia tak perduli dan berniat membuka isi amplop tersebut, namun ia mengurungkan niatnya ketika melihat beberapa tamu penting mendatangi mejanya. Karena merasa terganggu dengan pemandangan amplop cokelat jelek dan kotor tersebut.
Dengan terburu-buru, ia membuang benda kumuh itu ke tempat sampah kering yang berada tak jauh dari meja kerjanya dan kembali menyapa para tamu petinggi dengan gaya formal dan ramahnya. Mengabaikan benda buruk rupa yang sangat penting bagi orang lain dan bagi kehidupan orang lain.
Ada beberapa hal yang dapat menggagalkan sebuah rencana, sebuah kebetulan atau kesengajaan. Namun jika takdir mereka telah ditentukan, ketika hati mereka begitu kuat dan harapan begitu besar. Maka, yang akan terjadi mungkin di luar dugaan. Dapat terjadi sesuai harapan, atau mungkin akan sedikit bergejolak hingga mereka mendapatkannya dengan cara yang berbeda dan melebihi harapan.
Ketika keinginan lebih besar dari pada kegagalan...
Ketika hasrat yang terpendam mengalahkan segala kebutuhan materi...
Ketika dunia mulai gila dan mencoba memisahkan kedua keinginan agar tak terjadi, namun perasaanmu hanya tertuju kepada seseorang yang dipuja di setiap malammu...
Dan ketika kau telah mengambil langkah awal yang selalu kau nantikan di setiap khayalanmu, meski berarti hal tersebut adalah kehancuran dirimu sendiri...
Kau tahu bahwa itu adalah salah dan kau masih menginginkannya atas nama materi, padahal kenyataannya adalah... kau menginginkannya karena kau INGIN...
Ketika...
Ketika...
Ketika...
Ketika semua itu terjadi, masihkah kau terdiam kaku di tempatmu berpijak saat ini? Atau malah menggeliat memberikan sinyal bahwa kau menginginkannya lagi dan lagi...