Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7

Rachel

"Lepaskan, daripada memaksakan.

Ikhlaskan, daripada menyakitkan.

Relakan, daripada harus berjuang sendirian."

-Anonym-

"Chel," panggilan dari arah belakang itu membuat Rachel menoleh.

Aldi sedang berjalan ke arahnya dengan perlengkapan P3K di genggamannya. Jangan tanya mengapa Aldi bisa ada di sini, Rachel yang menelepon cowok itu.

Rumah mereka hanya terpaut dua puluh meter, wajar jika Aldi adalah orang kedua yang dihubungi Rachel saat ia butuh, karena kekasihnya tidak bisa ia harapkan.

Aldi duduk tepat di sebelah Rachel, cowok itu mengambil kapas dan menuangkan alkohol di atasnya. Tangan Aldi bergerak ingin membersihkan luka yang ada di atas kening Rachel, namun gadis itu malah menghindar.

Aldi menatap Rachel heran. "Kenapa?"

"Gue bisa sendiri," ucap Rachel seraya berusaha meraih kapas di genggaman Aldi.

Aldi menarik peralatan P3K itu menjauh dari Rachel, ia menggelengkan kepalanya.

"Lo sama sekali nggak berubah ya, Chel?" Aldi menatap Rachel heran, "kalau lo bisa sendiri, ngapain lo nelpon gue?"

"Aldi, gue nggak mau debat. Siniin." Tangan Rachel terulur untuk meminta kapas itu dari Aldi.

"Enggak." Aldi menggelengkan kepalanya, "udah cukup gue denger kata 'gue bisa sendiri' keluar dari mulut lo. Lo bukan superhero, yang bisa mengatasi semua masalah tanpa masalah. Lo cuman manusia biasa, yang terlihat pura-pura kuat, padahal lo sebenernya hancur."

"Aldi ..., " panggil Rachel dengan suara lemah. "Gue bener-bener nggak mau debat sama lo."

"Sampai kapan, Chel? Sampai kapan lo mau jadi orang yang kayak gini? Sampai kapan sikap tangguh lo itu bisa menutupi luka yang ada di sekujur tubuh lo?"

"Al, please ... "

"Nangis Chel, nggak usah ditahan. Nangis bukan berarti lo lemah," ucap Aldi yang langsung membuat tangis Rachel pecah.

Aldi menatap Rachel yang tengah menangis sesegukan di hadapannya, dengan sigap, Aldi merentangkan kedua tangannya. Cowok itu menarik Rachel ke dalam pelukannya yang menghangatkan, dan menenangkan.

"Nangis aja, Chel. Nangis sepuas lo, gue ada di sini. Lo bisa nangis di pundak gue, lo bisa jadiin gue samsak kalo lo lagi marah, gue rela." Aldi mempererat pelukannya seraya mengelus puncak kepala Rachel, "asal lo janji sama gue, Chel. Lo nggak boleh mendam semuanya sendirian. Lo punya gue, gue sebagai sandaran lo, gue sebagai apapun yang lo mau."

"Kenapa lo baik banget sama gue, Al?" tanya Rachel dengan suara lirih, "kenapa Darren nggak bisa kayak lo?"

"Karena gue bukan dia, dan dia bukan gue," jawab Aldi dengan nada datar.

"Kadang gue berharap, Al. Sikap Darren yang acuh itu, bisa gue bikin gue benci dan akhirnya gue bisa ngelepas dia tanpa beban. Tapi? Dengan bodohnya gue sayang sama orang yang bahkan nggak perduli sama gue, Al."

"Lepaskan, daripada memaksakan. Ikhlaskan, daripada menyakitkan. Relakan, daripada harus berjuang sendirian." Aldi tersenyum tipis, "buat apa mempertahankan sesuatu yang nggak pantas dipertahankan?"

"Seharusnya memang semudah itu, Al. Guenya aja yang bodoh dan ngga bisa putus dari dia." Rachel tersenyum kecut.

"Lo milih sakit hati sekali, apa berkali-kali?" tanya Aldi, "kalo lo milih sakit hati sekali, putusin dia sekarang, lo bakalan menyesal sebentar, dan lo bakalan bersyukur setelahnya. Lo milih sakit hati berkali-kali? Silakan bertahan, dengan catatan, lo bakalan terus terbebani kayak gini, setiap hari."

Rachel terdiam, mencerna setiap perkataan Aldi. Cowok itu benar, bersama dengan Darren hanya membuatnya sakit, setiap hari. Bukannya membuat Rachel merasa sedikit bahagia, Darren hanya malah menambah bebannya.

Rachel memang sangat menyayangi Darren, namun, bukan berarti ia harus menjadi gadis bodoh yang selalu pasrah dengan sikap Darren. Bukankah prinsip awal sebuah hubungan itu berjuang bersama? Di sini, hanya Rachel yang berjuang. Sedangkan Darren? Lelaki itu sudah berada di puncak, tanpa menunggu Rachel ikut bersamanya.

"Lo bener, Al." Rachel mengangguk lemah, "mungkin udah saatnya gue harus lepasin dia duluan."

Aldi tersenyum. "Itu baru sahabat gue, jangan lemah."

Rachel mengusap pipinya, gadis itu tersenyum tipis ke arah Aldi. "Thanks udah selalu ngasih gue saran, Al."

REVISI•11 Mei 2020•

Follow instagram

Darrenalc

Rachel.annatasia

Rachel

"Lepaskan, daripada memaksakan.

Ikhlaskan, daripada menyakitkan.

Relakan, daripada harus berjuang sendirian."

-Anonym-

"Chel," panggilan dari arah belakang itu membuat Rachel menoleh.

Aldi sedang berjalan ke arahnya dengan perlengkapan P3K di genggamannya. Jangan tanya mengapa Aldi bisa ada di sini, Rachel yang menelepon cowok itu.

Rumah mereka hanya terpaut dua puluh meter, wajar jika Aldi adalah orang kedua yang dihubungi Rachel saat ia butuh, karena kekasihnya tidak bisa ia harapkan.

Aldi duduk tepat di sebelah Rachel, cowok itu mengambil kapas dan menuangkan alkohol di atasnya. Tangan Aldi bergerak ingin membersihkan luka yang ada di atas kening Rachel, namun gadis itu malah menghindar.

Aldi menatap Rachel heran. "Kenapa?"

"Gue bisa sendiri," ucap Rachel seraya berusaha meraih kapas di genggaman Aldi.

Aldi menarik peralatan P3K itu menjauh dari Rachel, ia menggelengkan kepalanya.

"Lo sama sekali nggak berubah ya, Chel?" Aldi menatap Rachel heran, "kalau lo bisa sendiri, ngapain lo nelpon gue?"

"Aldi, gue nggak mau debat. Siniin." Tangan Rachel terulur untuk meminta kapas itu dari Aldi.

"Enggak." Aldi menggelengkan kepalanya, "udah cukup gue denger kata 'gue bisa sendiri' keluar dari mulut lo. Lo bukan superhero, yang bisa mengatasi semua masalah tanpa masalah. Lo cuman manusia biasa, yang terlihat pura-pura kuat, padahal lo sebenernya hancur."

"Aldi ..., " panggil Rachel dengan suara lemah. "Gue bener-bener nggak mau debat sama lo."

"Sampai kapan, Chel? Sampai kapan lo mau jadi orang yang kayak gini? Sampai kapan sikap tangguh lo itu bisa menutupi luka yang ada di sekujur tubuh lo?"

"Al, please ... "

"Nangis Chel, nggak usah ditahan. Nangis bukan berarti lo lemah," ucap Aldi yang langsung membuat tangis Rachel pecah.

Aldi menatap Rachel yang tengah menangis sesegukan di hadapannya, dengan sigap, Aldi merentangkan kedua tangannya. Cowok itu menarik Rachel ke dalam pelukannya yang menghangatkan, dan menenangkan.

"Nangis aja, Chel. Nangis sepuas lo, gue ada di sini. Lo bisa nangis di pundak gue, lo bisa jadiin gue samsak kalo lo lagi marah, gue rela." Aldi mempererat pelukannya seraya mengelus puncak kepala Rachel, "asal lo janji sama gue, Chel. Lo nggak boleh mendam semuanya sendirian. Lo punya gue, gue sebagai sandaran lo, gue sebagai apapun yang lo mau."

"Kenapa lo baik banget sama gue, Al?" tanya Rachel dengan suara lirih, "kenapa Darren nggak bisa kayak lo?"

"Karena gue bukan dia, dan dia bukan gue," jawab Aldi dengan nada datar.

"Kadang gue berharap, Al. Sikap Darren yang acuh itu, bisa gue bikin gue benci dan akhirnya gue bisa ngelepas dia tanpa beban. Tapi? Dengan bodohnya gue sayang sama orang yang bahkan nggak perduli sama gue, Al."

"Lepaskan, daripada memaksakan. Ikhlaskan, daripada menyakitkan. Relakan, daripada harus berjuang sendirian." Aldi tersenyum tipis, "buat apa mempertahankan sesuatu yang nggak pantas dipertahankan?"

"Seharusnya memang semudah itu, Al. Guenya aja yang bodoh dan ngga bisa putus dari dia." Rachel tersenyum kecut.

"Lo milih sakit hati sekali, apa berkali-kali?" tanya Aldi, "kalo lo milih sakit hati sekali, putusin dia sekarang, lo bakalan menyesal sebentar, dan lo bakalan bersyukur setelahnya. Lo milih sakit hati berkali-kali? Silakan bertahan, dengan catatan, lo bakalan terus terbebani kayak gini, setiap hari."

Rachel terdiam, mencerna setiap perkataan Aldi. Cowok itu benar, bersama dengan Darren hanya membuatnya sakit, setiap hari. Bukannya membuat Rachel merasa sedikit bahagia, Darren hanya malah menambah bebannya.

Rachel memang sangat menyayangi Darren, namun, bukan berarti ia harus menjadi gadis bodoh yang selalu pasrah dengan sikap Darren. Bukankah prinsip awal sebuah hubungan itu berjuang bersama? Di sini, hanya Rachel yang berjuang. Sedangkan Darren? Lelaki itu sudah berada di puncak, tanpa menunggu Rachel ikut bersamanya.

"Lo bener, Al." Rachel mengangguk lemah, "mungkin udah saatnya gue harus lepasin dia duluan."

Aldi tersenyum. "Itu baru sahabat gue, jangan lemah."

Rachel mengusap pipinya, gadis itu tersenyum tipis ke arah Aldi. "Thanks udah selalu ngasih gue saran, Al."

REVISI•11 Mei 2020•

Follow instagram

Darrenalc

Rachel.annatasia

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel