Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. The Perfect Dessert

"Tapi kenapa aku harus diborgol?!" Seru Juliet yang merasa tidak terima. Selama ini ia sudah seperti hewan peliharaan bagi Matthew, dan sekarang lelaki itu juga mau membuatnya seperti tahanan penjara?!

Matthew berdecak kecil. "Ini hanya untuk memastikan saja kalau kamu tidak akan melarikan diri karena sekarang tak ada seorang pun di rumah ini selain kita berdua, Juliet. Jadi aku tidak mau ambil resiko dengan gadis nakal yang mengambil kesempatan di saat aku lengah."

"Hah? Tak ada orang?" Ulang Juliet bingung. Rumah megah Matthew Wiratama ini padahal memiliki dua belas pelayan, lima orang tukang kebun dan empat supir. Belum lagi tiga pengawal yang berjaga di depan.

"Memangnya kemana mereka semua?"

"Kuliburkan satu hari," sahut Matthew santai sembari memain-mainkan ujung rambut panjang Juliet dengan jemarinya.

"Libur?"

"Ya. Libur. Karena hari ini aku sedang tidak ingin diganggu saat sedang bersamamu."

GLEK.

Juliet menelan ludah dengan manik bulatnya yang serta merta membelalak lebar, hingga membuatnya menjadi semakin membulat. Apa dia tidak salah dengar? Sejak kapan Matthew ingin menghabiskan hari hanya berdua dengannya?

Matthew tertawa kecil melihat wajah Juliet yang sekarang terlihat lucu, membuat Juliet semakin terkejut. Baru kali ini tawa Matthew terlihat dan terdengar berbeda. Biasanya lelaki itu akan tertawa mengejek, atau tertawa sinis padanya.

Manik coklat lelaki itu terlihat berkilau dalam kerlipnya yang ceria, dan untuk kali ini Matthew terlihat ramah serta... mudah didekati.

"Aku suka dengan tawamu yang ini," ceplos Juliet tanpa sadar menyuarakan apa yang ada di dalam pikirannya.

Matthew pun kemudian sontak terdiam mendengar perkataan Juliet yang polos dan tulus, namun membuat sesuatu di dalam dirinya terasa tidak nyaman.

"Kamu menyukai tawaku?" Ulangnya lagi. Segaris seringai tipis kembali terlukis di bibirnya, yang serta merta menghilangkan warna tawa dari wajahnya.

Matthew mencengkram rambut panjang gadis itu di dekat kulit kepala, hingga membuat Juliet meringis merasakan perih karena rambutnya yang tertarik.

"Jangan pernah menyukaiku, apalagi jatuh cinta padaku, Juliet. Jangan pernah berharap apa pun padaku. Ingat itu," ucapnya dalam suara dingin dan raut sebeku es, yang begitu berbeda dengan sebelumnya.

***

Suasana sarapan pagi ini hening sekali. Tak ada suara selain denting garpu yang saling beradu dengan pisau dan piring, juga suara gemerincing dari rantai yang menyambungkan borgol di kedua tangan Juliet.

Gadis itu kesal karena borgol ini benar-benar menyusahkannya, tapi tetap saja ia tidak berani protes lagi. Selain karena Matthew kembali dalam mode dinginnya, Juliet juga tidak ingin Matthew marah dan menghukumnya tidak mendapatkan sarapan.

Ia benar-benar kelaparan setelah kemarin melewatkan makan malam dan terus melayani Matthew sejak sore hingga dini hari.

Tapi Juliet sangat bersyukur pagi ini ia dapat mandi dengan nyaman dan tenang, meskipun sedikit kesulitan karena borgol sialan ini. Paling tidak, pagi ini Matthew tidak lagi mengganggunya dengan pelayanan di atas ranjang.

Tadi setelah Matthew memberikan peringatan kepadanya di kamar mandi, lelaki itu pun langsung meninggalkan Juliet begitu saja.

Tak masalah bagi Juliet sih sebenarnya, ia justru lega karena Matthew memutuskan pergi dari kamar mandinya.

"Akh!" Juliet memekik pelan ketika potongan daging steak yang susah payah ia potong serta tusuk dengan garpu pun tiba-tiba saja mencelat dari tangannya dan terjatuh ke atas lantai.

Suara nyaring dentang garpu yang jatuh di atas lantai membuat Matthew melemparkan lirikan malas ke arah Juliet. Lelaki bersurai coklat gelap itu pun berdecak sebal.

"Pindah."

"Hah?" Juliet mengangkat wajahnya dari piring untuk menatap Matthew yang menyorotnya dengan tatapan tajam.

"Pindah? Pindah ke... mana?" Tanya gadis itu tidak mengerti.

Matthew tidak menjawab, hanya menggerakkan dagunya sedikit dengan manik yang masih tajam menatap.

Juliet yang masih tidak mengerti, mengira Matthew merasa terganggu akan keberadaannya. Maka yang dilakukan gadis itu adalah membawa piringnya dengan berhati-hati karena borgol di kedua pergelangan tangannya, lalu pindah ke kursi yang lebih jauh dari Matthew.

"Kamu terlalu jauh," tegur Matthew dengan raut yang terlihat jauh semakin kesal. "Pindah."

Juliet pun meringis dalam hati ketika lagi-lagi Matthew menyuruhnya untuk pindah.

'Sebenarnya maunya dia apa sih?! Apa dia tidak tahu kalau memegang piring dalam kondisi tangan diborgol itu sangat sulit??!'

Rasanya ingin sekali Juliet berteriak kesal kepada Matthew. Mungkin juga sekalian melempar isi piringnya ke wajah yang tampan tapi sangat sangat menyebalkan itu.

Walaupun itu hanya ada di dalam imajinasinya saja.

Sambil menghela napas pelan menahan sabar, Juliet kembali berdiri dan membawa piringnya mengitari meja makan panjang itu, dan berhenti bergerak ketika berada sekitar dua kursi dari Matthew.

"Apa segini sudah cukup?" Tanya Juliet yang tidak mau lagi-lagi diprotes Matthew saat ia sudah duduk.

"Lebih dekat."

Jawaban Matthew tentu saja membuat Juliet mengerutkan keningnya bingung. 'Lebih dekat', katanya??

Lagi-lagi sikap dan perilaku Matthew yang berbeda membuat Juliet merasa aneh. Lelaki itu biasanya tidak ingin dekat-dekat dengan dirinya ketika berada di meja makan, meskipun mereka memang selalu sarapan dan makan malam bersama.

Matthew tidak pernah peduli dimana Juliet akan duduk. Justru lebih jauh lebih baik. Sebenarnya selama ini Matthew memang selalu mengacuhkannya, kecuali tentu saja di atas ranjang.

Ketika akhirnya Juliet memutuskan untuk mengambil posisi duduk tepat di samping Matthew dan menaruh piringnya di sana, tiba-tiba saja gadis itu merasakan pergelangan tangannya ditarik. Dan mendadak dirinya kini telah berada di atas pangkuan Matthew!

Matthew mengangkat lengan Juliet yang masih terborgol agar mengalung di lehernya, mengabaikan paras cantik yang sekarang melongo tak percaya dengan sikapnya.

"Seperti ini yang kumaksud dengan lebih dekat, Juliet. Ingatlah lain kali," ucap lelaki itu seraya menarik piring Juliet mendekat.

"Melihat caramu makan dan menjatuhkan makanan membuatku sakit mata dan telinga. Ayo, sekarang buka mulutmu." Matthew menyodorkan sepotong daging yang telah ditusuk garpu ke depan bibir Juliet.

'Ya ampun... dan sekarang Matthew menyuapiku makan??'

Juliet masih tak berkedip dengan mata besarnya yang semakin membulat menatap lelaki separuh bule di depannya itu. 'Apa-apaan ini?? Apa di Amerika kemarin Matthew habis mengalami demam tinggi hingga membuat sikapnya agak berubah??'

Juliet kemudian membuka mulutnya dengan patuh untuk menerima suapan dari Matthew. Aneh, sudah dua kali ini Matthew memintanya untuk membuka mulut dan semua tidak ada hubungannya dengan aktivitas panas di atas ranjang.

Yang pertama saat Matthew meminta Juliet untuk membuka mulut karena ingin menyikat giginya, dan yang kedua karena ingin menyuapinya.

Meskipun Juliet merasa awkward dengan suasana ini, tapi syukurlah rasa lapar membuatnya bisa menepis semuanya.

Matthew masih menyuapinya dalam diam, dan Juliet berusaha memfokuskan mulutnya untuk terus mengunyah dan tatapannya hanya tertuju pada bagian kerah kaus santai lelaki itu, menghindar agar tidak bertatapan dengan manik coklat tajam Matthew.

Raut puas tercetak di wajah tampan blasteran Indonesia Amerika itu ketika melihat Juliet makan dengan lahap hingga tandas. Matthew lalu meraih gelas berisi air putih, dan mendekatkan pinggirannya ke bibir Juliet agar diminum.

"Sekarang apa yang akan kita lakukan?" Tanya Matthew setelah menaruh gelas air yang telah kosong di atas meja.

"Umm... bukankah masih ada makanan pencuci mulut?" Tanya Juliet dengan polosnya. Ia tadi melihat crème brulee disajikan di atas meja, yang memang merupakan salah satu dessert faforitnya.

"Tapi tidak perlu terus seperti ini, Matthew. Aku sungguh bisa makan sendiri," ucap Juliet sembari menggeleng pelan.

"Baiklah." Matthew mengangkat lengan Juliet yang mengalung di lehernya, lalu memutar tubuh gadis itu hingga membelakanginya tetapi masih di dalam pangkuan.

Setelah Juliet duduk menghadap meja, Matthew menjangkau mangkuk kecil berisi crème brulee dengan tangannya yang panjang, lalu menariknya ke hadapan Juliet.

"Silahkan nikmati dessert-mu, Juliet. Aku akan menikmati dessert-ku sendiri," ucap lelaki itu sebelum mulai menyusupkan kelima jemarinya di paha Juliet, lalu menggeser ujung gaun santai selutut itu semakin ke atas.

"Matthew..."

"Teruslah makan crème brulee-mu," desis Matthew menahan suara geraman dari bibirnya, saat jemarinya telah menemukan celah surga dan mengusap-usapnya. Desahan lembut Juliet yang menyebut namanya semakin membuat akal sehatnya seolah terbakar hangus.

Usapan Matthew yang pelan namun penuh dengan penekanan itu membuat Juliet tak mampu lagi berkonsentrasi pada makanannya. Ah, ia benci dengan dirinya sendiri yang selalu saja terlalu mudah terhanyut Matthew Wiratama yang mahir dalam hal menggoda.

Sekuat tenaga Juliet berusaha mengabaikan jari Matthew yang merayu bagian sensitif dirinya. Ia menyendok crème brulee-nya dengan tangan yang gemetar, lalu memaki dalam hati saat makanan di sendoknya itu malah jatuh ke atas meja.

Percuma saja. Ia tidak akan pernah bisa menghabiskan makanannya.

Juliet melenguh kecil ketika akhirnya jari Matthew menerobos masuk dan mulai bergerak liar di dalam sana. Kedua tangannya telah layu tergantung di masing-masing sisi tubuhnya, dengan punggung yang menempel tak berdaya ke dada Matthew.

Saat akhirnya terjangan klimaks menerpa Juliet diiringi dengan erangan lirih yang menguar dari bibir penuh merah muda itu, Matthew pun mulai menarik perlahan tangannya dari tubuh gadis itu.

"And this is my dessert," bisiknya dengan napas berat dan aroma mint yang meniup telinga Juliet, sembari menghisap jarinya yang basah karena cairan cinta gadis itu dengan penuh rasa nikmat.

"The perfect dessert ever."

***

"Aku kira kamu tidak akan kembali lagi ke Indonesia."

Matthew melirik sekilas ke arah Darren yang barusan berkata, seorang sepupu sekaligus tangan kanannya yang telah mengurus perusahaannya, Wiratama Fleet Service, setahun terakhir ini selama dia berada di Amerika.

"Kenapa aku harus tidak kembali?" Tanya balik Matthew dengan santai. "Perusahaanku masih di negara ini, kan?"

Darren memutar kedua bola matanya yang coklat mirip dengan Matthew. Mereka adalah sepupu dari pihak almarhum ibu mereka yang kakak-adik, dan Darren bukanlah produk blasteran seperti Matthew melainkan asli Amerika.

Namun selama lima tahun terakhir ini, dia diajak ayah Matthew untuk membantu di perusahaan, dan telah menjadi tangan kanan Ibram Wiranata sebelum akhirnya perusahaan itu jatuh ke putra semata wayangnya karena kematian Ibram.

"Jadi karena alasan perusahaan ya? Bukan karena di sini ada gadis kecil peliharaanmu itu?" Ledek Darren sembari terkekeh kecil saat Matthew kembali meliriknya tajam.

"Come on, Matthew! Apa sesusah itu mengakui kalau ternyata dia-lah yang bisa mengambil hatimu, hm? Perlu pembuktian seperti apa lagi? Apa waktu setahun berusaha menjauh darinya masih belum cukup? Ternyata beda benua pun kamu masih tetap menginginkan Juliet, kan?"

"Shut up, Darren."

"Hahahahaaa...!!" Darren tertawa dengan begitu puasnya hingga terbungkuk-bungkuk. Ia bahagia sekali bisa membuat Matthew Wiranata, orang yang hampir selalu menang dalam setiap argumen itu kini tak bisa berkata-kata membalas perkataannya.

"Lama-lama kamu semakin menyebalkan," sergah Matthew seraya melempar dengan kasar kertas perjanjian yang dibawa Darren ke rumahnya untuk Matthew tanda tangani.

Darren meraih kertas yang dilempar Matthew dengan santai sambil tersenyum. Kegusaran Matthew itu semakin memperjelas kecurigaannya barusan. Tampaknya sepupunya ini memang memiliki perasaan khusus pada Juliet.

"Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari, Matthew," nasihat lelaki itu, kali ini dengan mimik yang cukup terlihat serius.

"Niatmu yang awalnya ingin balas dendam ternyata kini malah menjadi senjata makan tuan, jadi bukalah lembaran baru bersama Juliet. Aku yakin gadis itu suatu saat akan luluh jika kamu memperlakukannya dengan lembut dan selayaknya wanita terhormat."

Matthew berdecih pelan. "Kamu dan asumsimu itu kupersilahkan jika ingin pergi sekarang juga, Darren. Bukankah tujuanmu kemari hanya untuk meminta tanda tanganku pada persetujuan perjanjian?" Usirnya.

"Ck, ck. Kasar sekali," ucap Darren berpura-pura mengeluh. "Bagaimana Juliet bisa luluh kalau sikapmu selalu begini, sepupu? Hati-hati. Ada banyak lelaki di luar sana yang akan siap menawarkan kehangatan dan kenyamanan yang tidak ia dapatkan darimu. Lelaki seperti aku, misalnya."

Matthew hampir saja melemparkan ponsel mahalnya ke kepala Darren, jika saja tidak terdengar suara ketukan di pintu.

Sesosok tubuh sensual memasuki ruangan kerja Matthew sembari tersenyum. Kedua tangannya yang telah lepas dari borgol, memegang baki berisi dua cangkir kopi hangat yang masih mengepul serta sepiring kecil camilan.

Ketika Darren datang, Matthew langsung melepas borgol di tangan Juliet karena tidak ingin sepupunya yang berisik itu mengomelinya.

"Maaf mengangganggu. Aku hanya membawakan kopi untukmu dan Darren," ucap Juliet dengan senyumnya yang menawan.

"Halo, Juliet. Apa kabar? God! Kenapa setiap kali kita bertemu, kamu terlihat semakin cantik saja sih?" Darren yang sangat antusias itu justru terlihat menyebalkan bagi Matthew.

"Halo, Darren. Maaf jika kopinya kurang sesuai. Hari ini semua pelayan libur jadi akulah yang meraciknya sendiri," sahut Juliet yang sengaja mengabaikan pujian Darren.

Sejak menjadi wanita milik Matthew, Juliet harus berhati-hati menanggapi setiap lelaki yang menggodanya, karena tidak ingin membuat Matthew marah dan berakhir dirinyalah yang dihukum.

"Wow. Benarkah? Semua pelayan libur?" Darren menatap Matthew bingung. "Apa kamu segitu tidak ingin diganggu sehingga meliburkan seluruh pelayan, Matthew?" Sindirnya.

Matthew mendehem pelan tanpa menjawab. Ia berdiri dari kursi kerja dan berjalan ke arah Juliet, lalu menarik pergelangan tangan gadis itu untuk diseret ke arah pintu keluar ruangan.

"Pergi ke kamarmu dan jangan keluar sampai aku yang memintamu untuk keluar," titahnya dengan manik coklatnya yang terhunus tajam kepada Juliet.

"Satu lagi, Juliet. Tak ada yang menyuruhmu untuk membuatkan kopi dan membawanya kemari. Jadi jangan pernah tunjukkan wajahmu dimana pun selama ada Darren di sekitar, mengerti?!"

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel