Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Willy iri pada Arka

Seiring perubahan besar yang terjadi pada Arka, perhatian dari teman-temannya semakin banyak mengalir kepadanya. Salah satu teman sekelas yang paling merasa terganggu dengan perubahan ini adalah Willy, seorang siswa populer yang selalu menjadi pusat perhatian di sekolah. Willy, yang selama ini merasa nyaman dengan status sosialnya, mulai merasa terancam dengan munculnya Arka yang kini terlihat lebih percaya diri, tampan, dan mendapatkan perhatian lebih dari banyak orang, termasuk para gadis di sekolah.

Willy selalu merasa bahwa ia adalah yang paling menonjol di kelas, baik karena penampilan, kemampuan, maupun karisma yang dimilikinya. Namun, kehadiran Arka yang sekarang sering tampil dengan gaya yang lebih keren, lebih terbuka, dan lebih percaya diri membuatnya merasa bahwa posisinya sebagai pusat perhatian mulai terancam. Ia mulai merasa cemburu dan iri dengan Arka yang, menurutnya, tidak pernah tampak seperti sosok yang bisa menarik perhatian sebelumnya.

Pada awalnya, Willy berusaha untuk mengabaikan Arka. Namun, saat melihat banyak gadis mulai tertarik dan lebih sering berbicara dengan Arka, rasa irinya semakin besar. Willy mulai merasa bahwa ia tidak bisa lagi dianggap sebagai satu-satunya "cogan" di sekolah. Sebagai seseorang yang terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan, perasaan cemburu ini membuatnya merasa kehilangan kontrol.

Suatu hari, di kantin sekolah, Willy mendekati Arka dengan ekspresi yang berbeda dari biasanya. Ia memandang Arka dengan nada yang agak merendahkan. "Eh, Arka, kamu sekarang kok jadi sering banget tampil keren, ya? Jangan-jangan kamu sudah lupa siapa dirimu yang dulu?" kata Willy, berusaha menyindir dengan cara yang halus namun tajam.

Arka yang mulai terbiasa dengan perhatian dan sindiran semacam itu, tetap tenang. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Willy tidak lebih dari sekadar upaya untuk menjatuhkannya. "Tidak, Willy. Aku hanya mulai menjadi diri sendiri. Kalau itu mengganggu kamu, aku minta maaf," jawab Arka dengan santai, sambil memberikan senyum yang tidak menunjukkan sedikit pun rasa terganggu.

Namun, Willy tidak menerima jawaban itu begitu saja. Ia merasa bahwa Arka terlalu santai dan bahkan tidak takut dengan sikapnya. Di lain waktu, Willy mencoba untuk menantang Arka lebih langsung, berharap bisa menunjukkan siapa yang lebih unggul di antara mereka. Willy mulai melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian lebih banyak teman, sering berbicara buruk tentang Arka di belakang, dan berusaha menunjukkan bahwa Arka hanya mendapatkan perhatian karena "kebetulan."

Namun, semakin Willy mencoba menjatuhkan Arka, semakin Arka menunjukkan ketenangan dan kedewasaan yang membuat orang-orang semakin mengaguminya. Arka tidak terpancing oleh permainan Willy. Ia memilih untuk tetap fokus pada dirinya sendiri, tidak membiarkan perasaan iri orang lain mengganggu perjalanan hidupnya.

Pada akhirnya, Willy mulai menyadari bahwa meskipun ia berusaha mengalahkan Arka dengan cara apapun, Arka tidak pernah benar-benar bersaing dengannya. Arka telah berubah bukan untuk mencari pengakuan atau menjadi lebih baik dari orang lain, tetapi untuk menemukan dirinya sendiri. Kepercayaan diri Arka yang baru, yang didapatkan dari dalam dirinya dan dukungan Laras, ternyata jauh lebih kuat daripada apapun yang Willy coba lakukan untuk menghancurkannya.

Melihat perubahan Arka yang terus berkembang, Willy akhirnya sadar bahwa bukan Arka yang harus dia takuti atau cemburui, melainkan dirinya sendiri yang terlalu terjebak dalam bayang-bayang rasa iri dan keinginan untuk selalu jadi yang terbaik. Ia pun mulai merefleksikan sikapnya dan, perlahan, berubah menjadi lebih menghargai orang lain, meskipun ia tetap merasa sulit untuk menerima kenyataan bahwa Arka kini lebih banyak mendapat perhatian darinya.

Seiring waktu, Willy akhirnya menyadari bahwa persaingan yang ia buat di dalam dirinya hanyalah penghalang untuk berkembang. Arka, dengan ketenangan dan kepercayaan dirinya, telah mengajarkan Willy untuk lebih menghargai diri sendiri dan orang lain, tanpa harus selalu merasa lebih unggul atau iri pada orang lain.

Perasaan iri Willy terhadap Arka semakin membara seiring waktu. Ia merasa terpojok, merasa bahwa status sosial dan popularitasnya mulai terancam dengan kemunculan Arka yang kini lebih percaya diri dan lebih menarik perhatian teman-temannya. Perasaan cemburu itu akhirnya mengarah pada tindakan yang lebih drastis.

Suatu siang, setelah jam pelajaran berakhir, Willy menemui Arka di koridor sekolah. Suasana sekolah saat itu cukup sepi, hanya ada beberapa siswa yang sedang berjalan ke kelas atau menuju kantin. Willy, yang sudah lama menahan rasa marah dan iri, tiba-tiba menghampiri Arka dengan tatapan penuh kebencian.

"Lo pikir lo bisa seenaknya tampil keren dan dapat perhatian, ya?" kata Willy dengan suara kasar, sambil menatap Arka tajam. "Gue nggak akan biarin lo jadi pusat perhatian di sekolah ini."

Arka yang mendengar kata-kata itu merasa sedikit terkejut, namun ia tetap tenang. Ia tahu bahwa Willy sedang merasa terancam, tetapi ia tidak ingin berkonfrontasi secara fisik. "Willy, gue nggak mau masalah sama lo. Kalau lo nggak suka dengan perubahan gue, gue bisa paham. Tapi nggak ada gunanya lo marah sama gue," jawab Arka dengan suara lembut namun tegas.

Namun, perasaan marah dan iri Willy sudah tidak bisa lagi dibendung. Tanpa peringatan, Willy mendorong tubuh Arka dengan kasar. Arka terhuyung mundur, hampir terjatuh ke lantai. Beberapa siswa yang ada di sekitar mereka mulai melihat ke arah mereka, namun tidak ada yang segera berani campur tangan.

"Lo pikir lo bisa ngegantiin gue, ya? Lo cuma sampah!" teriak Willy, sebelum melayangkan pukulan ke arah Arka. Pukulan itu mengenai wajah Arka, membuatnya terjatuh ke tanah. Arka merasakan sakit, tetapi yang lebih terasa adalah rasa kecewa terhadap sikap Willy yang begitu rendah.

Namun, meskipun Arka terjatuh dan merasakan sakit, ia tidak membalas kekerasan itu. Dengan napas berat, ia bangkit perlahan dan menatap Willy dengan tatapan yang penuh ketenangan. "Willy, lo boleh marah sama gue, tapi gue nggak akan balas kekerasan dengan kekerasan," kata Arka dengan penuh keyakinan.

Melihat Arka yang tidak melawan, Willy merasa sedikit canggung. Arka yang dulu pemalu dan mudah dijadikan sasaran kini menunjukkan ketenangan yang tak terduga. Beberapa teman yang melihat kejadian itu mulai mendekat, menyarankan agar Willy berhenti dan pergi menjauh.

Saat itu, kepala sekolah dan beberapa guru datang ke tempat kejadian. Mereka mendengar keributan dan segera memisahkan keduanya. Arka, yang merasa sakit di wajahnya, tidak melaporkan kejadian itu dengan tujuan untuk menghindari masalah lebih lanjut. Namun, Willy, yang merasa malu karena tindakannya diketahui banyak orang, ditanggapi dengan serius oleh pihak sekolah. Ia dipanggil ke ruang kepala sekolah dan diberi peringatan keras.

Peristiwa itu menjadi titik balik bagi keduanya. Arka, meskipun terluka fisik dan emosional, merasa bahwa ia telah mengambil jalan yang benar dengan tidak membalas kekerasan. Ia sadar bahwa kekuatan sejati bukanlah tentang kekerasan, melainkan tentang kemampuan untuk tetap tenang dan sabar dalam menghadapi perasaan orang lain.

Bagi Willy, meskipun ia sempat merasa unggul dalam beberapa detik setelah memukul Arka, rasa bersalah dan malu mulai menghantuinya. Ia tidak bisa memahami mengapa Arka bisa begitu tenang setelah diperlakukan seperti itu. Perlahan, ia mulai merenung dan bertanya-tanya apakah yang ia lakukan itu benar. Tindakannya yang kejam membuatnya melihat dirinya dalam cahaya yang sangat buruk.

Seiring berjalannya waktu, Willy akhirnya menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Perlahan, ia mulai mendekati Arka dengan permintaan maaf, meskipun Arka tidak langsung menerima permintaan maaf itu dengan mudah. Bagi Arka, perubahan Willy tidak datang dalam semalam, dan ia tahu bahwa rasa percaya diri yang ia miliki kini berasal dari dalam dirinya sendiri, bukan dari pengakuan atau penerimaan orang lain.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel