Balapan penentuan
Setelah balapan kedua yang penuh kecurangan dari Willy, Arka merasa semakin ditantang dan yakin bahwa dia perlu membuktikan lebih banyak lagi tentang siapa dia sebenarnya. Meskipun Willy telah menang dengan cara curang, Arka tahu bahwa sebuah pembuktian sejati hanya akan terjadi jika mereka bertanding sekali lagi—tanpa trik, tanpa kecurangan. Semua orang di sekolah kini tahu tentang balapan ini, dan para siswa menyarankan agar ada balapan penentuan antara Arka dan Willy.
Willy, yang sangat sombong setelah kemenangan kotor itu, tak ingin kalah begitu saja. Dia tahu bahwa jika Arka bisa mengalahkannya dengan cara yang jujur, maka ia akan kehilangan semua pengaruhnya di sekolah. Namun, dia tetap merasa yakin bahwa dia bisa menang kali ini, tanpa ragu, tanpa hambatan. "Ayo, Arka. Ini adalah balapan terakhir kita. Lo nggak akan pernah bisa kalahin gue kalau nggak punya strategi jitu," tantangnya dengan sikap angkuh.
Arka, yang telah belajar banyak dari kedua balapan sebelumnya, setuju untuk bertanding sekali lagi. Namun kali ini, dia tahu bahwa kemenangan sejati bukanlah soal cepat atau lambatnya mobil, tapi bagaimana dia bisa tetap berdiri teguh dan tidak terpengaruh oleh cara-cara licik seperti yang dilakukan Willy. "Kita lihat saja nanti, Willy. Tapi kali ini, kita berlomba dengan cara yang benar," jawab Arka dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya merasa sedikit cemas.
Pada hari balapan penentuan itu, seluruh siswa berkumpul di tempat yang sama seperti balapan sebelumnya. Suasana begitu tegang dan penuh harapan, dengan banyak orang yang mendukung Arka, tetapi juga ada beberapa yang masih berharap Willy bisa menang. Kali ini, baik Arka maupun Willy membawa mobil mereka dengan cara yang lebih jujur. Willy tetap mengendarai mobil sport mewahnya, sementara Arka memilih untuk menggunakan mobil tuanya yang sederhana—tetapi dia merasa lebih percaya diri kali ini, dengan kalung kerang ajaib di lehernya yang memberinya ketenangan.
Balapan dimulai dengan sorakan dari para penonton. Willy langsung memacu mobilnya dengan kecepatan luar biasa, seperti biasanya. Arka, meskipun mobilnya lebih tua, tetap menjaga ketenangan dan fokus. Semua orang menyaksikan dengan cemas, memikirkan siapa yang akan menang kali ini. Arka tahu bahwa untuk mengalahkan Willy, ia harus bermain dengan strategi yang lebih bijaksana.
Namun, di tikungan tajam yang kedua, sebuah kejadian tragis terjadi. Willy, yang terlalu ambisius dan ingin menambah kecepatan agar bisa mencapainya, mengambil tikungan dengan terlalu kencang. Ia hampir kehilangan kendali atas mobilnya, namun berhasil mengendalikan mobilnya tepat di waktu yang tepat. Dalam upaya untuk mempercepat, ia tanpa sadar memotong jalur Arka.
Saat Arka melaju di tikungan itu dengan kontrol penuh, Willy secara tak sengaja menabrak bagian belakang mobil Arka, membuat Arka kehilangan keseimbangan. Mobil Arka terbalik ke samping jalan dan terguling beberapa kali, akhirnya berhenti dengan posisi miring. Semua orang terkejut dan langsung berlari menuju tempat kejadian.
Arka terjebak dalam mobil, tubuhnya kesakitan dan terluka. Kaki kanannya terasa sangat sakit, dan ketika dia mencoba bergerak, dia merasa ada yang salah. Ternyata, kaki kanannya patah karena benturan keras saat mobil terguling. Namun, meskipun rasa sakit itu sangat hebat, Arka tidak merasa takut atau panik. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa ia harus tetap tenang.
Willy yang sudah berada di garis finish, menghentikan mobilnya dan kembali melihat Arka. Dia terlihat sangat khawatir, tetapi dengan cara yang berbeda. "Arka! Lo oke?" teriak Willy, mulai menyesali apa yang telah dia lakukan.
Arka, meskipun terluka parah, memaksakan dirinya untuk tetap tenang. "Lo menang, Willy... tapi ini bukan kemenangan yang lo inginkan," jawab Arka dengan suara yang lemah, namun penuh ketenangan. "Lo menang dengan cara merugikan orang lain. Itu yang lo nggak paham."
Willy berdiri terpaku, merasa bersalah karena tindakannya. "Gue nggak... gue nggak sengaja," kata Willy dengan raut wajah cemas.
Namun, Arka tidak peduli lagi dengan kata-kata Willy. "Kemenangan itu bukan soal siapa yang pertama sampai garis finish. Tapi bagaimana kita bisa tetap tegar, walau dalam keadaan terburuk sekalipun."
Dengan rasa sakit yang luar biasa, Arka perlahan-lahan mencoba untuk bangkit. Meski kakinya patah, Arka tidak ingin menyerah. Beberapa teman yang hadir berlari menuju Arka, membantu untuk menolongnya dan membawanya ke rumah sakit. Meskipun Arka kalah dalam segi fisik karena kecelakaan itu, dia merasa bangga karena dia tetap bisa mempertahankan sikap dan prinsipnya, meskipun dalam keadaan yang sangat buruk.
Di rumah sakit, Arka mendapat perawatan dan kakinya harus dioperasi. Namun, ia merasa lega karena dia tahu bahwa meskipun dia kalah dalam balapan secara fisik, dia telah menang dalam hal prinsip dan hati. Kemenangan Willy di balapan itu hanyalah kemenangan yang tercapai dengan cara yang salah. Namun Arka, meskipun terluka, menunjukkan kepada semua orang bahwa kemenangan sejati datang dari cara kita menghadapinya dengan hati yang kuat dan tidak terpengaruh oleh kecurangan.
Willy, yang melihat Arka dengan penuh penyesalan, akhirnya datang ke rumah sakit untuk meminta maaf. "Arka, gue minta maaf... gue nggak pernah bermaksud buat nyakitin lo. Gue... gue cuma nggak tahu caranya untuk menghadapi lo," katanya dengan tulus.
Arka tersenyum meski masih merasakan sakit di tubuhnya. "Lo nggak perlu minta maaf, Willy. Lo hanya perlu belajar bahwa kemenangan sejati bukan berasal dari kekerasan atau kecurangan, tapi dari bagaimana kita tetap jadi diri sendiri, walau dalam keadaan terburuk sekalipun."
Kemenangan Arka tidak terlihat dari garis finish atau balapan yang dimenangkan, tetapi dari ketenangan hati dan kebijaksanaan yang ia bawa melalui setiap ujian hidup. Kemenangan sejati ada dalam cara kita tetap teguh dan tak terpengaruh oleh dunia yang sering kali salah arah.
Setelah insiden balapan penentuan yang menyebabkan kaki Arka patah, suasana di rumah sakit sangat sunyi dan penuh ketegangan. Meskipun Arka merasa sakit dan lelah, di dalam hatinya ada rasa lega karena dia tahu dia telah melakukan yang terbaik dan tetap teguh dengan prinsipnya. Teman-temannya dan beberapa orang yang mendukungnya datang mengunjunginya, tetapi ada satu orang yang sangat diharapkan Arka datang—Laras, sang putri duyung yang telah banyak membantunya selama ini.
Laras, yang merasa sangat khawatir atas kejadian itu, akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Arka di rumah sakit. Setelah mendengar bahwa Arka terluka parah, dia tak bisa menahan perasaannya. Dengan menggunakan kekuatan magisnya, Laras memutuskan untuk muncul di dunia manusia untuk menemui Arka, meskipun hanya sementara. Ia tahu betapa pentingnya dukungan emosional yang bisa dia berikan kepada Arka saat-saat seperti ini.
Hari itu, saat sore menjelang, Laras tiba di rumah sakit dengan penampilan yang sangat berbeda dari yang biasa dilihat orang. Kali ini, dia mengenakan pakaian yang lebih sederhana, meskipun tetap anggun dan penuh pesona, tanpa terlalu menonjolkan ciri-ciri seorang putri duyung. Rambut panjangnya yang berkilau dan indah membingkai wajahnya yang lembut, dan matanya memancarkan rasa khawatir yang dalam.
Laras memasuki ruang rumah sakit dengan hati-hati, menghindari perhatian orang banyak yang ada di sana. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya dia menemukan Arka di sebuah kamar rumah sakit, duduk di ranjang dengan kaki yang dibalut gips. Ketika Arka melihatnya, matanya langsung bersinar. Meskipun tubuhnya kesakitan, hatinya terasa lebih ringan melihat Laras datang menjenguk.
"Laras..." suara Arka terdengar lemah, namun penuh kelegaan. "Kenapa kamu datang? Bukankah kamu... kamu bisa jadi bahaya buat dirimu sendiri?" tanya Arka, meskipun dia tahu bahwa Laras memiliki kekuatan luar biasa.
Laras tersenyum lembut dan berjalan mendekat. "Aku tidak bisa diam saja ketika aku tahu kamu dalam keadaan seperti ini, Arka. Aku tahu kamu kuat, tapi aku tetap ingin ada di sisimu. Semua ini terjadi karena kamu berani menghadapi tantangan hidup meskipun sulit. Itulah yang membuatmu berbeda."
Arka merasa hangat di dalam hati mendengar kata-kata Laras. Meski fisiknya terluka, dia merasa seperti ada kekuatan baru yang mengalir. "Aku merasa lemah sekarang, Laras. Kaki aku patah, dan aku... aku merasa gagal. Aku tidak bisa menang kali ini," kata Arka dengan suara pelan.
Laras menatap Arka dengan penuh empati, merasakan kesedihannya. Dia duduk di samping tempat tidur Arka dan memegang tangan Arka dengan lembut. "Kamu tidak gagal, Arka. Kamu telah menang dalam hal-hal yang lebih besar. Kamu telah membuktikan bahwa kekuatan sejati bukan tentang siapa yang menang di garis finish, tetapi tentang bagaimana kamu tetap bisa menjaga prinsip dan ketenangan meskipun dalam keadaan terburuk sekalipun."
Arka mengangguk pelan, meski rasa sakit di kakinya terasa semakin parah. "Tapi... kenapa aku merasa masih ada yang kurang? Kenapa aku merasa seperti aku masih harus membuktikan sesuatu?" tanya Arka, tampak ragu.
Laras menggenggam tangannya lebih erat. "Kadang kita merasa seperti itu karena kita terlalu fokus pada apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Tapi percayalah, Arka, kamu sudah membuktikan siapa dirimu. Tidak perlu ada balapan lagi, tidak perlu ada perlombaan. Apa yang penting adalah bagaimana kamu bisa bangkit, bahkan ketika semuanya terasa berantakan."
Air mata mulai menggenang di mata Arka, tetapi dia tetap mencoba untuk tegar. "Aku takut, Laras. Takut kalau aku nggak cukup kuat untuk menghadapi semua ini. Takut kalau aku nggak bisa jadi lebih baik dari ini."
Laras menghapus air mata yang perlahan mengalir di pipi Arka, dan dengan suara yang lebih lembut, dia berkata, "Kekuatan sejati bukan tentang tidak merasakan takut, Arka. Kekuatan sejati datang ketika kamu bisa tetap bertahan meskipun kamu merasa takut. Kamu sudah lebih kuat dari yang kamu kira. Aku ada di sini untuk mendukungmu, dan kamu tidak sendirian."
Arka menatap Laras dengan penuh rasa terima kasih. Meskipun dia masih merasakan sakit yang luar biasa, kata-kata Laras memberinya semangat baru. Dengan ketenangan hati, dia merasa bahwa dia mampu melewati semua ini—dan bukan hanya itu, tetapi dia tahu bahwa dia bisa terus tumbuh menjadi seseorang yang lebih baik dan lebih kuat.
"Sampai kapan kamu bisa tetap di sini, Laras?" tanya Arka pelan.
Laras tersenyum. "Aku hanya bisa berada di sini untuk sementara waktu. Tetapi ketahuilah, Arka, meskipun aku harus kembali ke dunia aku, aku akan selalu ada di sini dalam hatimu. Kekuatanmu ada di dalam dirimu, dan aku percaya kamu bisa menghadapinya."
Laras memberi Arka sebuah pelukan hangat sebelum akhirnya berdiri. "Aku akan terus mendukungmu dari jauh, Arka. Jangan pernah ragu bahwa kamu bisa lebih kuat daripada yang kamu kira."
Dengan senyum terakhir yang penuh harapan, Laras menghilang dari ruang rumah sakit, kembali ke dunia yang hanya bisa dijangkau dengan kekuatan magisnya. Arka, meskipun merasa berat untuk melepaskannya, tahu bahwa kehadiran Laras selalu ada dalam hatinya. Dia merasa lebih kuat dari sebelumnya, dan meskipun perjalanan masih panjang, dia siap untuk bangkit kembali.