Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Mana janjimu, Abang?

Bab 3

"Ya Allah, mengapa harus terjadi lagi seperti ini? Belum kering lukaku saat suamiku menikahi Yasmin, kenapa akan terjadi lagi keadaan yang serupa? Ya Allah, takdir macam apa yang sedang aku jalani dan mengapa tak ada seorangpun yang bisa mengerti?" Azizah kembali mengelus perutnya

"Dulu aku diduakan dengan Yasmin dan sekarang masih sanggupkah aku untuk kembali diduakan? Masih sanggupkah aku mempertahankan kewarasan sementara hatiku sakit?" ratap perempuan muda itu.

Azizah terduduk di tepi ranjang. Air matanya mengalir deras. Dia bahkan merasa dadanya sesak. dia benar-benar merasa sendiri. Hanya Allah yang tahu bagaimana perasaannya saat ini. Dia hanya seorang wanita biasa, lahir dan di besarkan oleh paman dan bibinya. Orang tuanya sudah meninggal saat dia masih kecil.

Sungguh, Azizah bukan putri pengusaha seperti Yasmin dan bukan putri kiai seperti putri bungsunya kiai Nawawi yang terkenal itu.

"Adakah yang lebih menyedihkan dari perputaran nasib yang tengah kualami sekarang ini?" isak Azizah. "Seorang wanita hamil yang akan segera melahirkan, sementara suaminya akan segera menikah dengan seorang perempuan lain? Seorang perempuan dari trah tertinggi pesantren, menantu ideal dari seorang kiai terkenal seperti KH. Abdurrahman?"

Azizah tidak berani menduga-duga, tapi firasatnya mengatakan bahwa setelah ini posisinya sebagai istri ustadz hafidz akan semakin terpinggirkan. Mungkin akan lebih tersisih lagi ketimbang dulu, saat Hafiz dan Yasmin masih bersama.

Ah, akankah sepi ini harus datang lagi? Sepi yang pernah dia rasakan tatkala sang suami pergi meninggalkannya untuk menemui Yasmin. Dia sendiri berteman rindu, sementara sang suami tengah bercumbu dengan istri lainnya di luar sana. Akankah fisik dan hatinya kuat kalau semua kepahitan ini harus terjadi lagi?

"Mana janjimu, Abang? Mana janjimu yang ingin menjadikanku sebagai Khadijahmu? Akankah janji itu hanya sekedar janji yang untuk kesekian kalinya kau ingkari?" jerit Azizah dalam hati.

Azizah memejamkan mata. Dengan menggunakan ujung jilbabnya, ia menyeka air mata yang terus saja berjatuhan membasahi pipinya. Perempuan itu kembali mengelus perutnya. Ada tendangan kecil di sana. Perempuan itu berusaha untuk tetap tersenyum untuk sebuah kehidupan yang ada di dalam rahimnya sekarang.

*****

Sementara Hafiz yang baru saja keluar dari mobil, seketika mengurungkan langkahnya ketika matanya menangkap pemandangan sebuah mobil lain yang juga terparkir di sana. Dia sangat mengenali mobil itu. Mobil itu adalah mobil yang seringkali digunakan oleh kiai Nawawi saat ada kegiatan di luar pesantrennya.

"Astaga ... mengapa secepat ini aku harus berurusan dengan beliau?" keluhnya dalam hati. Hafiz meneruskan langkahnya menuju pintu utama kantor dewan guru.

"Ustadz Hafiz," panggil seorang laki-laki yang juga mengenakan pakaian yang sama sepertinya. Atasan baju koko dan sarung bermotif kotak-kotak sebagai bawahan, serta kopiah putih dan sorban yang melingkar di leher.

"Ustadz Maliki," sahutnya. Laki-laki itu menatap Hafiz dengan sangat serius.

"Ada kiai Nawawi di dalam, Ustadz. Mohon maaf, tadi beliau bilang ada yang ingin disampaikan kepada Ustadz Hafiz. Beliau sudah lama menunggu di sini."

Hafiz melirik arloji di pergelangan tangan. Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Astaga, sepagi ini beliau sudah ada di kantor dewan guru pondok pesantren Al Istiqomah?

Hafiz masuk ke ruangan guru dengan perasaan tak menentu. Benar, di dalam sudah menunggu kiai Nawawi. Laki-laki tua itu duduk dengan santai di sofa sembari membaca sebuah kitab. Hafiz sendiri tak jelas melihat kitab apa yang tengah beliau baca. Laki-laki muda itu bergegas menghampiri, lalu mengucapkan salam.

"Apa kabar, Nak Hafiz?"

"Alhamdulillah, kabar baik, Kiai. Bagaimana kabarnya dengan Kiai?" sahutnya berbasa-basi

"Panggil Abah, Nak. Anggap saja aku sebagai abahmu."

"Iya, Abah." Hariz tertunduk.

"Hafiz mohon maaf karena membuat Abah lama menunggu di sini. Adakah gerangan yang bisa Hafiz bantu?" tawarnya.

"Abah minta tolong kepada Nak Hafiz untuk menerima Naura, putri bungsu Abah. Abah sudah dengar cerita dari Abahmu, kiai Rahman dan Abah tidak masalah kalau Naura harus menjadi istrimu yang ketiga," paparnya.

"Apa alasannya, Bah? Naura, putri bungsu Abah adalah wanita mulia yang tidak mungkin tidak diingini oleh kaum laki-laki. Kenapa Abah malah memilih menantu seperti Hafiz, seorang laki-laki yang sudah beristri dan sekarang tinggal menunggu kelahiran anak pertama kami? tanyanya penasaran.

"Tentunya ada alasannya, Nak, walaupun Abah belum bisa menjawabnya sekarang. Akan tetapi, apakah tidak lebih baik kalau kamu mencoba berkenalan dengan Naura? Siapa tahu kalian ada kesesuaian. Abah pikir kamu tidak perlu terburu-buru menerima Naura. Waktu masih panjang dan biarkanlah Naura di beri kesempatan untuk mengenalmu dan juga Azizah, istrimu. Siapa tahu Naura bisa menjadi teman yang baik untuk Azizah."

Ini adalah pilihan yang sulit. Dia tidak mungkin menolak pendekatan yang dilakukan oleh kiai Nawawi kepadanya. Laki-laki itu cukup bijaksana. Lagi pula, tak ada salahnya untuk mencoba, kan? Laki-laki itu mencoba untuk realistis.

Setidaknya ini akan mengulur waktu dan memberikan kesempatan untuk menjelaskan kepada gadis itu bagaimana kondisi rumah tangga mereka yang sebenarnya.

"Baiklah, Abah. Hafiz akan menerima saran Abah. Namun, untuk hasil akhirnya Allah jualah yang berkehendak. Karena jodoh ada dalam kuasaNya. Abah mengerti, bukan?"

"Abah lebih darimu dalam memahami persoalan jodoh, Nak," ucap laki-laki tua itu. "Coba, Abah pinjam ponselmu."

Hafiz menyerahkan ponsel kepada laki-laki tua itu setelah sebelumnya membuka password-nya. Lelaki tua itu mengutak-atik ponsel Hafiz sebentar, kemudian mengembalikan kepada pemiliknya.

"Ini adalah nomor kontak Naura, putri bungsu Abah. Silakan kalian berkenalan, ngobrol dan saling menyesuaikan satu sama lain. Kalau boleh, izinkan dia berteman dengan istrimu, Azizah. Sebagai sesama wanita, mungkin dia memerlukan teman bicara." Laki-laki tua itu menghela napas.

"Terima kasih ya, Bah. Mohon maaf, apakah Naura sudah tahu sebelumnya dengan apa yang Abah bicarakan hari ini dengan Hafiz?"

"Tentu saja, Nak. Sebelumnya Abah sudah bicara dengan Naura. Naura pun sudah tahu kalau dia akan dijodohkan denganmu dan dia menyetujui perjodohan ini."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel