Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Di rumah sakit

bab 7

Waktu berjalan terasa begitu lambat. Menit demi menit. Hafiz menunggu di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat, di mana Azizah tengah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan buah hati mereka. Hafiz melihat dari kejauhan sesosok perempuan setengah baya tergopoh-gopoh berjalan menghampirinya.

"Bagaimana kondisi Azizah, Hafiz?" Perempuan tua itu bertanya dengan nafasnya yang masih tersengal.

Hafiz mengenalinya sebagai bibi Sarah, orang yang selama ini berjasa merawat Azizah sejak kecil.

"Masih ditangani di ruangan, Bi," sahutnya seraya menunjuk ke depan pintu. Bibi Sarah mengikuti arah tangan Hafiz, lalu menghela nafas.

"Semoga anak itu baik-baik saja," harapnya.

"Hannah waladat Maryam, Maryam waladat Isa, ukhruj ayyuhal mauluud, bibarkati malikil ma'buud." Perempuan setengah tua itu berkali-kali mengucapkan kalimat itu. Hafiz mengiringi dengan bibir gemetar.

"Dia akan baik-baik saja." Ucapan bibi Sarah menyadarkan Hafiz dari segenap kecemasan yang melingkupi perasaannya.

Hafiz masih terpaku di tempatnya berdiri. Dia melihat dokter Raisya keluar dari ruangan.

"Bagaimana dengan keadaan istri saya, Dok?" Hafiz melangkah maju mendekati sang dokter.

"Ustadz Hafiz," panggilnya.

"Ya, Dok. Ada apa?" Dia harap-harap cemas.

"Bisa kita bicara sebentar?" pintanya.

"Bisa, Dok," ucapnya. Laki-laki muda itu mengiringi dokter Raisya ke sebuah ruangan dengan diiringi oleh bibi Sarah.

"Kondisi Ibu Azizah sekarang mentok di pembukaan dua. Tidak ada lagi kemajuan setelah beberapa jam. Sementara menurut hasil USG, tali pusarnya melilit tubuhnya. Hal ini sangat berbahaya pada bayinya di dalam," ucap dokter Raisya dengan wajah agak muram.

"Lakukan apa saja yang terbaik untuk istri dan anak saya. Soal biaya, tidak ada masalah. Insya Allah saya sanggup," ucap Hafiz mantap.

"Bukan sanggup atau tidak sanggup, Ustadz, tapi Ibu Azizah ngotot ingin melahirkan secara normal."

"Lakukan saja yang terbaik, Dok. Saya akan mencoba untuk membujuk Azizah agar dia mau melahirkan secara caesar. Saya akan mendatangani surat pernyataan izin tindakan." Akhirnya Hafiz memutuskan dengan anggukan dari bibi Sarah.

"Terima kasih, Ustadz. Sekarang silahkan ditandatangani dulu." Seorang asisten dokter memberikan sebuah selembar kertas yang harus dia tandatangani

*****

"Maafkan Adek, Bang. Adek belum bisa menjadi Ibu yang seutuhnya." Azizah meneteskan air mata saat mengetahui kalau dirinya harus menjalani operasi caesar.

"Adek adalah ibu yang seutuhnya buat buah hati kita, terlepas bagaimanapun cara Adek melahirkan. Ini hanya soal cara kamu melahirkan, Sayang."

"Adek adalah ibu yang sempurna. Insya Allah. Seorang ibu adalah madrasah pertama buat anak-anaknya. Jangan hiraukan apa kata orang." Hafiz mengusap air matanya dengan lembut.

Hafiz masih mencuri ciuman di kening dan mengecup punggung tangannya sebelum akhirnya merelakan Azizah dibawa oleh petugas medis ke ruangan operasi.

"Kita banyak berdoa saja, Hafiz. Tenanglah. Azizah akan baik-baik saja." ucap bibi Sarah. Wanita itu terlihat tegar dan bisa mengendalikan diri. Hafiz mendudukkan tubuhnya di kursi panjang berdampingan dengan bibi Sarah.

"Hannah waladat Maryam, Maryam waladat Isa, ukhruj ayyuhal mauluud, bibarkati malikil ma'buud." Kalimat itu berkali-kali dia ucapkan, demikian juga dengan bibi Sarah.

Menit demi menit terasa begitu berharga, berjalan dengan begitu lambat di dalam penantiannya akan sebuah kabar baik tentang kelahiran anaknya.

Drttt drttt ...

Hafiz mengambil ponsel dari saku bajunya.

Keningnya berkerut. Naura?

[Assalamu alaikum, Abang lagi apa?]

[Wa alaikum salam. Aku sedang di rumah sakit, Dek. Azizah mau melahirkan]

Hafiz menghela nafas panjang.

[Semoga lancar semuanya ya, Bang. Adek akan berdoa dari sini]

[Iya, terima kasih, Dek]

Tanpa menunggu balasan dari Naura, Hafiz langsung mematikan data internet dan menaruh ponsel kembali ke saku bajunya.

Hafiz menoleh kepada bibi Sarah. Perempuan setengah tua itu nampak memejamkan mata sembari mulutnya berkomat-kamit.

Ah.. kenapa waktu berjalan terasa begitu lambat?

*****

Allahu Akbar Allahu Akbar

Allahu Akbar Allahu Akbar

Asyhadu alla ilaha illallah

Asyhadu alla ilaha illallah

Asyhadu anna muhammadar rasulullah

Asyhadu anna muhammadar rasulullah

Kalimat demi kalimat azan terlontar lirih dari mulut Hafiz masuk ke indera pendengaran putra kecilnya. Allahu Akbar!

Hafiz menggendong putranya dengan gemetar seraya kembali mendekatkan mulut ke telinga mungil itu untuk melantunkan bacaan iqamat.

Hafiz memandang wajah suci itu dengan perasaan takjub. Garis wajahnya begitu mirip dengannya. Mata, hidung, bibir, ah semuanya. Hatinya membuncah dalam haru.

"Selamat datang putraku, Sayang." Hafiz berbicara dalam hati.

"Bagaimana keadaan ibunya, Dok?" tanyanya.

"Ibunya baik-baik saja. Sebentar lagi proses operasi selesai," jawab dokter Raisya. "Selamat ya, Ustadz."

"Terima kasih, Dokter." Hafiz membalas. Dia menyerahkan bayi mungil itu ke dalam gendongan bibi Sarah.

"Tampan sekali cucu Nenek," ucap bibi Sarah. Dia begitu antusias memandangi bayi mungil itu.

"Mau di beri nama apa, Hafiz?" tanya bibi Sarah sembari mengembangkan senyumnya.

"Belum tahu, Bibi. Nanti saja. Siapa tahu Azizah sudah menyiapkan nama yang bagus." Hafiz mengusap ubun-ubun putra kecilnya. Dia begitu tenang dalam dekapan bibi Sarah.

*****

"Selamat ya, Dek. Hari ini sudah sempurna dirimu menjadi seorang ibu." Hafiz mengecup kening istrinya penuh haru.

"Terima kasih, Abang. Abang sekarang sudah menjadi seorang ayah." Dia tersenyum manis.

"Abang yang seharusnya berterima kasih karena Adek sudah melahirkan seorang anak buat Abang."

"Itu sudah menjadi tugas Adek."

"Abang tahu. Abang hanya merasa sangat bahagia." Hafiz menggenggam tangannya mesra.

Dia memandangi wajah cantik itu. Sosok tubuh yang tengah terbaring tak berdaya di ranjang sempit. Ada rasa haru yang kembali menyeruak mengingat pengorbanannya dalam memberikan seorang keturunan. Tubuh kurus yang kini di hiasi oleh jahitan dari luka bekas sayatan yang masih basah.

"Terima kasih, sayangku. Aku mencintaimu," bisik Hafiz. "Adek mau hadiah apa?"

Azizah menggelang lemah.

"Adek tidak meminta apa-apa. Kasih sayang Abang sudah cukup buat Adek." Matanya menatap laki-laki itu dalam-dalam.

"Abang ingin memberikan kamu hadiah untuk menandai kelahiran anak kita," ucapnya. "Sebutkan saja, Sayang. Asal Abang sanggup pasti Abang kabulkan."

"Sungguhkah Abang?" Dia mengulas senyum manis sembari tetap menggenggam tanganku. "Yakin Abang sanggup?"

"Abang bersungguh-sungguh, Sayang. Adek mau minta apa?"

"Kalau boleh, jadikan Adek sebagai Khadijah-nya Abang ..."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel