Chapter 5 : Yang terbaik
"Mah, mama ingat Dax?" tanya Dax sambil tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca, ya dia ibunya, orang yang melahirkannya namun enggan menganggapnya sebagai anak, dia menyebut dia yang hampir sempurna ini sebagai anak haram dan menjijikan.
Wanita itu masih melihat sekitar, setelah merasa aman dia menatap penuh amarah pada Dax yang ternyata amat Mirip dengan pria bajingan itu. "Saya tanya sama kamu sedang apa kamu di sini? Pria sialan itu tidak ikut dengan kamu kan?"
"Papa tidak ikut, dia sedang keluar negeri karena urusan kerjaan."
Nafasnya yang memburu perlahan lega, dia sekarang menatap sinis pada putra pertamanya ini. "Kamu mending pergi deh sekarang, Saya gak mau kita muka kamu lagi, apa lagi muka kamu mirip sekali dengan pria bajingan itu."
"Ini bukan mau aku mah, aku juga gak mau punya wajah mirip papa, aku mau sama mama!" ucap Dax, sedewasa apapun seseorang, dia tetap anak yang menginginkan kasih sayang dari orang tuanya.
Tangan besar Dax wanita tepis dengan cepat. "Udah gila ya kamu, ngapain kamu megang tangan saya, dengar ya walau waktu berlalu rasa benci saya terap tidak pudar dan saya jijik sama kamu, udah pergi sana!
"Lagipula ngapain sih kamu jam segini masih berkeliaran? Atau---saya tau kamu memang nakal sejak dulu maka dari itu saya gak suka sama kamu."
"Mom!" ucap seseorang dari belakang Dax, saat Dax hanya mendapatkan perlakuan dan ujaran kebencian, berbeda dengan pria yang hampir seumuran dengannya ini.
Senyuman hangat ibunya berikan pada pria itu, dan satu pria lagi yang tak lain adalah ayah tirinya, mereka berjalan mendekat wanita itu lalu melihat Dax sayang saat ini menghapus air matanya berusaha tetap tegar.
"Akhirnya kalian selesai juga," ucap sang ibu yang memasang ekspresi yang ingin sekali Dax dapatkan.
"Dax!" ucap pria bernama Felix itu yang cukup terkejut, ayahnya juga terkejut, mereka kira siapa yang sudah mendekati wanita itu namun sekarang sudah terlihat jelas.
"Sedang apa kamu di sini? Mana ayah kamu?" tanya ayah tirinya sambil melihat sekitar.
"Untuk apa kamu menanyakan pria sialan itu?"
"Aku hanya bertanya, apa tidak boleh."
"Tidak, karena aku lebih baik mati dari pada bertemu dengan dia lagi."
"Mah, kita pergi aja yuk, cuacanya semakin dingin," ucap Felix sambil mengusap kedua lengannya.
"Astaga kamu kedinginan, kemari lah pakai jaket mama!" ujar wanita paruh baya itu yang segera melepas jaket yang dia pakai dan tentu saja itu membuat Felix tersenyum lebar.
"Mah, aku juga merasa kedinginan! Apa mama tidak mau memberikan aku jaket?" tanya Dax yang merasa sangat iri, sejak dulu perlakuan tetap sama, tetap pilih kasih padanya.
Wajahnya menatap kembali tak suka pada Dax. "Bukannya kau banyak uang ya? Untuk apa meminta padaku? Minta saja pada ayahmu itu!"
"Sampai kapan mama akan memperlakukanku berbeda?" tanya Dax yang merasa putus asa.
"Sampai aku mati," balas ibunya yang membuat Dax tidak bisa lagi berkata-kata.
Wanita itu pun pergi dengan perasaan kesal, sang suami mencoba mengejar isteri yang masih dalam pengaruh emosi. Saat ini Felix tersenyum mengejek pada Dax. "Apa rasanya tidak di sayang ibumu? Pasti sakit sekali ya?"
Dax menatapnya dengan tatapan setajam pisau.
"Oh maaf, bukan maksudku mengejekmu tapi aku hanya merasa kasihan, tapi coba saja kau mati, kali saja mama akan merasa kehilanganmu atau mungkin tidak sama sekali, hahaha."
Tawa kencang seakan terus terngiang sepanjang Felix melangkah pergi, Dax Saat ini hanya terdiam. Di saat semua orang menganggap kehidupan amat sempurna sebenarnya tidak seperti itu.
Saat air mata sudah jatuh, sebuah todongan coklat membuat Dax melihatnya lalu terlihat senyuman cerah Olidia yang membuat pria itu terdiam.
Saat melihat wajah memerah pria itu, Olidia heran. "Tuan Dax, ada apa dengan wajahmu, apa kau baru saja menangis?"
Tiba-tiba Dax memeluk tubuh Olidia, hingga wanita itu hampir terjatuh kebelakang. Suara Isak tangis mulai terdengar menyayat hati, pelukan yang semulanya biasa perlahan mulai mempererat membuat Olidia yang tidak tau apa yang terjadi berusaha menangkan pria itu sambil sesekali menepuk punggungnya.
"Ssshhhuuutt! Jangan terlalu larut, aku di sini bersamaku, aku jamin selama ada aku duniamu akan baik-baik saja."
.
.
"Hhmmm, ahhh, hei ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba?" tanya Olidia yang mendapatkan serangan mendadak, bahkan saat mereka masih di luar rumah.
Mereka baru sampai pukul 3 pagi, udara dingin seakan menembus kulit mereka, sejak kejadian tangisan itu, Dax tak banyak bicara dan hanya terdiam seakan dunia akan lenyap di depan matanya.
Olidia bersama menghibur dengan mengajak bicara atau memberikan lelucon, namun seakan tuli, Dax tak merespon apapun dan hanya fokus menyetir hingga sampai rumah.
Brak! Pintu terbuka dengan paksa, sebuah suara ciuman yang sensual bersamaan dengan nafas putus asa, membuat Olidia tak banyak bicara lagi.
Dia membalas apa yang pria itu lakukan, hingga akhir ia di angkat ke atas tubuh pria itu dan dengan cepat Olidia mengalungkan kakinya di pinggang Dax.
Suara nafas memburu saat mereka menghentikan aksi mereka, mata sayu yang terlihat membuat Olidia memeluknya dengan erat. "Ada apa denganmu hari ini?"
Pintu rumah tertutup dengan cepat, Dax segera membawa Olidia menuju kamar, keduanya pun melakukan hal panas malam itu.
Saat ini keduanya terkapar lemas saling berpelukan, tubuh mereka juga basah karena aktifitas yang mereka lakukan, namun semua ucapan dari ibunya masih tak bisa dilupakan, apalagi tawa Felix yang seakan orang yang paling senang di dunia ini.
Saat sedang melamun, kedua tangan kecil wanita itu memegang kedua rahangnya lalu membawa wajahnya untuk saling bertatapan. "Hei, apa yang membuat bayi sempurna ini sedih? Katakan? Apa orang yang kau cintai menduakanmu?"
Tak ada jawaban, Dax hanya menatapnya, lalu memeluk tubuh Olidia dengan erat. "Aku hanya merasa dunia tidak adil."
"Apa yang kau maksud tak adil?"
Dax tidak menjawab lagi, dia hanya terdiam sambil menenangkan kepalanya di tubuh Olidia. "Olidia!"
"Hhhmm? Ada apa?"
"Kau jangan pergi untuk beberapa hari ini!"
"Tidak, aku bosan jika hanya menunggumu pulang nanti."
"Kau bisa ikut bersamaku!"
"Jika ada uang tambahan aku akan ikut!" ucap Olidia menggoda.
Tiba-tiba Dax bangkit dari kasur, membuat Olidia heran. Pria itu rupanya mengambil dompet lalu memberikan benda hitam itu padanya. "Habiskan uangku jika kamu bisa!"
"Hei Tuan! Jangan terlalu sombong, aku akan mengirim semua yang ada di sini jika aku mau."
"Setelah itu aku akan memenjarakanmu," balas Dax yang tersenyum, membuat Olidia membuka Dompet itu, matanya yang semulanya biasa saja lantas melotot melihat banyak kartu berwarna hitam juga kuning itu.
"Kau memang yang terbaik, Dax!"
