Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tatapan Sendu

Jalanan Oxford memang tidak pernah mati, semakin sore suasana semakin ramai. Toko-toko berderet sepanjang jalan, menyediakan berbagai macam barang-barang bermerek, suvernir, kafe, dan lain-lain. Surga belanja bagi mereka yang hobi berbelanja.

Sore itu ketika jalanan Oxford mulai bercahaya karena lampu-lampu jalanan dan pertokoan mulai dinyalakan, Carla masih sibuk dengan bunga-bunga di tokonya. Orchid, itulah nama tokonya. Diberi nama demikan karena ibunda Carla sangat menyukai bunga anggrek. Berbagai macam warna, jenis, bentuk, dan wangi bunga dapat ditemui di toko bunga miliknya. Terletak di salah satu sudut jalan Oxford. Bersebelahan dengan kafe dan toko buku.

Di toko dengan interior bergaya Inggris modern itulah Carla menghabiskan hari-harinya jika sedang tidak menjadi relawan di rumah sakit. Toko peninggalan ibunda tercintanya itu ia rawat dengan penuh cinta. Dia sangat mencintai toko bunganya, selain karena alasan Carla begitu menyukai bunga dan tanaman, dia juga senang melihat keramaian.

Gadis bermata abu-abu dapat mengamati, melihat, dan menikmati pemandangan jalanan Oxford yang selalu ramai dengan lalu-lalang orang dari dalam tokonya. Ia menikmati hal itu terutama saat sore hingga malam hari ketika jalanan Oxford terlihat begitu bercahaya.

Letak toko bunga itu sangatlah strategis, mudah dijangkau dengan bus dan kereta bawah tanah. Selain itu, jaraknya hanya sekitar lima belas menit dari St Thomas’. Jadi, tidak heran jika terkadang saat jam makan siang atau saat sedang tidak begitu ramai pembeli, Carla akan mampir ke salah satu rumah sakit terkenal di London itu.

“Apa yang sengan kau pikirkan?” tanya seseorang dengan berbisik di samping telinga Carla yang sedang memotong-motong ujung tangkai bunga untuk dirangkai. Orang tersebut baru masuk ke toko itu.

Carla terperanjat, ia terkejut karena tak menyadari kedatangan sosok itu. bukan karena terlalu fokus merapikan tangkai bunga, tetapi karena pikirannya sedang tidak di sana. Dia sedang memikirkan sesuatu hal yang lain.

“Evelyn? Kau sudah pulang?” ucap Carla dengan terkejut, ia bangkit dari tempat duduknya, ditinggalkannya gunting dan bunga yang dipegangnya, kemudian memeluk perempuan bernama Evelyn itu dengan erat.

“Ya, tentu saja. Katakan padaku apa yang membuatmu melamun?” tanya perempuan bernama Evelyn itu, rambut sebahunya ia kuncir cepol dengan menyisakan beebrapa anak rambut yang masih tergerai.

Carla melepaskan pelukannya, mempersilahkan Evelyn untuk duduk, “Kapan kau pulang? Aku kira kau akan lama di Bibury.”

“Aku sebenarnya memang ingin tinggal lebih lama di sana, tetapi aku harus segera kembali ke London karena harus kembali menyiapkan pestas pernikahanku,” ujar Evelyn dengan wajah berseri.

“Kau masih punya banyak waktu untuk mempersiapkannya, kenapa harus buru-buru,” Carla kembali melanjutkan kegiatannya menggunting ujung tangkai bunga.

“Kau tahu bukan Jack itu sangatlah perfeksionis, dia ingin semuanya sempurna, meski sudah ada ahli yang mengurusi pernikahan kami, tapi dia tetap ingin terjun langsung dalam persiapan ini. Padahal pernikahan kami juga tidak diadakan secara besar-besaran.”

Carla tersenyum, ia meletakkan gunting yang dipegangnya, “Ya, itulah calon suamimu. Sudah lupakan dulu tentang dia dan persiapan pernikahanmu! Sekarang ceritakan padaku tentang Bibury!” ucap Carla dengan penuh antusias.

“Lupakan tentang ceritaku! Aku pasti akan menceritakannya, tapi katakana dulu padaku apa yang membuatmu melamun hingga tidak menyadari kedatanganku?” ucap Evelyn sambil memainkan mata untuk menggoda teman baiknya itu.

Carla menatap kesal, “Aku tidak melamun.”

Evelyn nampaknya tak mempercayai ucapan gadis dua puluh dua tahun itu, ia terus menatap Carla dengan tatapan ingin diberi jawaban. Carla mengalah, menghembuskan nafas kesal, “Baiklah…baiklah. Aku hanya sedang memikirkan seseorang yang baru aku temui beberapa waktu lalu.

Evelyn tersenyum riang, “Apa dia seorang pria?” tanya Evelyn dengan antusias, Carla menganggukkan kepalanya.

Evelyn memberikan tatap penuh rasa penasaran. Carla buru-buru meluruskan, “Ini tidak seperti yang kau pikirkan Ev.”

“Memangnya aku sedang memikirkan apa?” goda Evelyn.

“Apa pun yang sedang kau pikirkan, intinya tidak seperti itu,” ucap Carla dengan kesal.

“Baiklah, kalau begitu lanjutkan ceritamu!” pinta Evelyn, perempuan berumur tiga puluh tahunna itu pun menyandarkan dirinya di kursi.

“Beberapa hari lalu aku bertemu dengan seorang dokter yang angkuh dan dingin. Matanya selalu menatap tajam lawan bicaranya, itu mengganggu pikiranku,” ucap Carla sambil mengingat-ingat sosok yang sedang diceritakannya.

Evelyn terkikik pelan, “Kua sedang jatuh cinta rupanya?” goda perempuan bermata hijau itu.

Carla mendengus kesal, lalu melempar Evelyn dengan setangkai bunga mawar putih.

“Tidak seperti itu Ev. Hal yang membuatku memikirkannya itu adalah tatapan matanya itu,” Carla mencoba untuk menjelaskan kembali.

“Ya itu namanya kau sedang jatuh cinta karena tidak bisa melupakan tatapan matanya,” Evelyn memberi pendapat.

Carla memutar bola matanya malas, “Bukan karena aku jatuh cinta atau tertarik padanya yang membuat aku terus memikirkan tatapan matanya,” ucap Carla dengan tegas.

Evelyn mendekatkan dirinya ke meja. Menopang wajahnya dengan kedua tangan yang diletakkan di atas meja penuh bunga, “Lalu apa?”

Carla nampak berpikir selama beberapa saat, “Tatapan matanya itu menggangguku. Meski terlihat tajam dan dingin, tetapi entah mengapa tatapan itu terasa begitu hampa, ada kesunyian dan kesedihan di balik tatapan itu.”

“Apa sekarang selain ahli merangkai bunga, kau juga ahli membaca tatapan orang lain?” ledek Evelyn.

“Aku pernah melihat tatapan semacam itu,” Carla menatap teman baik dan juga pelanggannya itu dengan tatapan sedih.

“Di mana?” tanya Evelyn tak mengerti.

“Di pemakaman,” jawab Carla dengan dingin.

Evelyn nampak terkejut. Perempuan itu kembali menegakkan posisi duduknya, “Aku tidak suka mendengar cerita tentang hantu. Jadi jangan lanjutkan ceritamu itu!” Evelyn bergidik ngeri.

Carla berdecak kesal, “Ini bukan seperti yang kau pikirkan, yang kulihat memiliki tatapan seperti itu bukanlah hantu tetapi seorang anak.”

“Bisa saja anak yang kau lihat itu adalah hantu, kau melihatnya di pemakaman bukan?” Evelyn berasumsi.

“Diamlah! Jangan bicarakan masalah hantu. Mereka itu tidak ada, yang sudah meninggal ya sudah, tidak akan bangkit lagi ke bumi,” ucap Carla dengan tegas.

“Jangan sok tahu, kau saja belum pernah meninggal, “ ledek Evelyn.

Carla terdiam beberapa saat, “Ya, kau benar aku memang belum pernah meninggal,” ucap gadis bermata abu-abu itu dengan senyum hambar.

“Sudahlah, aku sedang tidak ingin membicarakan tentang hantu atau kematian. Aku ke sini untuk menemuimu dan kalau kau ingin bercerita maka ceritakanlah hal yang menarik dan romantis, jangan ceritakan hal seram!” ucap Evelyn diiringi senyum manis.

Carla tersenyum kecil, “Baiklah! Aku akan berhenti berbicara. Jadi, sekarang tepati janjimu untuk menceritakan tentang Bibury!”

“Indah, tempat itu sangat indah Carla, bangunan-bangunan klasik, udara, suasana, pemandangan, semuanya sangatlah sempurna. Kau harus datang sendiri ke sana, aku yakin kau pasti akan suka!” Evelyn bercerita dengan penuh ekspresi, Carla mendengarkan dengan anstusias. Gadis bermata abu-abu dapat merasakan kebahagian yang dirasakan temannya itu. Binar mata bahagia perempuan bermata hijau itu dapat menembus pandangan si gadis bermata abu-abu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel