Rose White
"Dad...!"
"Iya Nak, Dady ada dibelakang!" sahut seorang pria yang tahun ini sudah genap berumur lima puluh tiga tahun dengan rambut yang mulai beruban.
Dia adalah Alex White, ayah kandung dari Rose White.
Mereka pindah ke Miami tepat dua tahun lalu, saat ibu Rose meninggal dunia karena sakit kanker yang dideritanya.
Rose yang saat itu baru setahun menjalani kuliah di salah satu universitas ternama di kota Mexico, terpaksa harus mengikuti ayahnya Alex kembali ke kota asal dia demi bisa menyambung hidup.
Segala kepunyaan keluarga mereka di kota kelahiran ibunya harus habis terjual demi pengobatan wanita itu yang memakan biaya hingga ratusan juta dollar.
Di kota Miami Florida, Alex membuka usaha toko bunga yang sejauh ini cukup ramai dan memiliki pelanggan tetap.
Melalui usaha dia ini, Alex berhasil menguliahkan anak mereka satu-satunya Rose, hingga bisa lulus kuliah dari University of Miami Amerika Serikat dengan gelar cumlaude.
"Ini ada pesanan bunga lagi dari miss Pretty Dad, katanya dikirim nanti sore ke alamat yang biasa!" ujar Rose memberitahu ayahnya yang tengah mengatur buket-buket bunga yang baru dibawa pemasok.
"Ah iya, Daddy hampir lupa. Tolong kamu pisahkan bunga tulip dan mawarnya Rose. Ayah mau siapin dulu pesanan miss Pretty sebentar," pinta Alex dan berlalu masuk kedalam ruang penyimpanan bunga-bunga mereka
Bunga yang dijual oleh ayahnya Rose disimpan dalam ruangan khusus agar tetap segar, meski iklim di kota ini diklasifikasikan sebagai iklim muson tropis.
Dimana saat musim panas cuaca akan terasa panas dan lembab, musim dingin yang pendek dan hangat, serta musim kering yang ditandai di awal musim dingin.
Rose pun mengambil alih pekerjaan ayahnya dengan telaten dan hati-hati mengatur bunga yang baru masuk agar tidak patah dan rusak.
"Rose...!" panggil seorang wanita yang seumuran dengannya.
"Apa? Aku ada dibelakang Sonya!" sahut Rose setengah berteriak karena wanita itu berada di depan kios bunga mereka.
Wanita yang bernama Sonya itu pun membuka pintu depan kios yang masih bertuliskan close, dan melangkah masuk menuju bagian belakang kios dimana Rose berada.
Sonya adalah sahabat Rose yang ikut pindah ke Miami setahun yang lalu, untuk mencoba peruntungan di kota ini.
Sembari bekerja part time di salah satu klub terkenal, Sonya juga kuliah di universitas yang sama dengan Rose. Namun Rose lebih dulu masuk dan menyelesaikan kuliahnya disana.
"Kok belum buka jam segini?" tanya Sonya berjalan mendekati Rose yang masih sibuk dengan bunga-bunga mereka.
"Udah buka kok tadi, cuma aku tutup sebentar karena Daddy lagi sibuk dengan pesanan kami di ruang penyimpanan."
"Oh," sahut Sonya mengangguk-angguk mengerti.
"Mo ngapain kesini?"
Sonya nyengir. "Mau nagih janji kamu Rose ... katanya kamu mau traktir aku hari ini."
"Eh iya, sorry Sonya aku lupa. Tunggu sebentar yah, Dady masih bikin pesanan punyanya miss Pretty. Udah harus dikirim nanti sore soalnya!"
"Iya, iya santai aja Rose. Aku free kok hari ini."
"Libur lagi kamu?" Sonya mengangguk dan duduk di dekat Rose. "Kerja apaan itu kebanyakan libur begitu," kekehnya.
"Jual diri!" jawab Sonya asal.
"Emang masih laku?" goda Rose cekikikan.
"Lakulah, badan aku seksi begini!" sahut Sonya bangga dan ikut tertawa bersama Rose yang sudah lebih dulu tertawa lepas di depannya.
Ditengah candaan kedua sahabat itu, tiba-tiba ponsel di saku celana kulot Rose berbunyi nyaring, wanita dengan rambut yang diikat tinggi keatas itupun buru-buru membersihkan tangan dan merogoh ponselnya.
Tertera di layar ponsel sebuah nomor kantor yang membuat Rose gugup sendiri. Ini pasti telepon dari salah satu perusahaan yang sudah aku masukkan lamaran batinnya.
"Halo...."
"........."
"Iya benar, ini dari mana?"
"........."
"Apa? Benarkah? Oh astaga," pekik Rose berjingkrak kesenangan.
"Kenapa sih Rose?" tanya Sonya kaget mendengar suara kencang sahabatnya setelah menerima panggilan telepon di ponsel.
"Aku diterima bekerja So."
"Apa?" sahut Sonya lebih kaget lagi. "Perusahaan mana kamu diterima ha?" sambungnya lagi dan ikut berjingkrak senang di samping Rose.
"Ehemmm...!" Suara dari seberang telepon yang ternyata masih tersambung menyadarkan dua sahabat yang sedang asik berbicara itu.
"Eh ya ampun ... Maaf, maaf pak" sahut Rose tidak enak saat mendengar suara si penelpon dari ponselnya. "Baik pak, saya akan datang kesana besok pagi jam delapan. Terima kasih banyak pak!"
Rose pun mengakhiri panggilan itu secara sepihak saking bahagianya dia.
"Congratulations Rose ... aku ikut senang mendengar berita ini." ujar Sonya tulus memeluk sahabatnya.
"Thank you so much Sonya, aku tidak menyangka lamaran pekerjaanku akan diterima secepat ini. Padahal aku sedikit ragu bisa menempati posisi itu karena belum punya pengalaman apa-apa dibidang sekretaris." sahut Rose melepaskan pelukan hangat mereka.
"Ini namanya rezeki Rose, berarti bintang kamu emang ada disana. Apalagi yang akan jadi bos kamu, lelaki yang waktu itu kamu tolong di Mexico, kan ?"
Rose mengangguk. "Tapi, itupun kalau dia masih ingat sama aku Sonya."
"Ingat, dia pasti ingat. Tidak ada manusia yang tidak ingat dengan orang yang pernah menolong dia, disaat kondisinya yang hampir mati!"
Rose White yang seorang anak tunggal dan hidup berkecukupan dengan keluarga bahagia dan sempurna, bermimpi bisa bekerja di perusahaan besar seperti A,Corp setelah lulus kuliah.
Bermodalkan status fresh graduate serta cumlaude miliknya membuat Rose bersemangat memasukkan lamaran pekerjaan dia kesana, dimana pemiliknya adalah lelaki yang pernah dia tolong dulu.
Saat mengetahui siapa pemilik perusahaan besar A, Corp. Rose langsung teringat kejadian dua tahun lalu, dimana keesokan harinya dia harus berangkat menuju kota Miami Florida bersama Alex White sang ayah.
Malam itu adalah malam terakhir Rose di Mexico, Rose yang ingin mengenang masa-masa dirinya dikota ini berjalan sendirian menikmati suasana malam di sana.
Saat akan melewati sebuah gang sempit dan kotor, sebagai jalan alternatif untuk bisa cepat sampai menuju pedagang kaki lima yang biasa dia dan ibunya singgahi dulu. Rose mendengar bunyi tembakan satu kali.
Bukannya menjauh, Rose yang berani dan jago bela diri itu mulai mengamati gang yang kini sudah sepi dari tempat dia bersembunyi.
Saat melihat ada seorang pria yang ternyata masih hidup ditengah banyaknya mayat yang berada didekatnya, Rose dengan sigap mendekati sosok lelaki yang sepertinya sedang terluka parah.
Rose mengamati lelaki dengan manik mata biru yang sama dengan dia serta rahang tegas dan tubuh yang atletis itu semakin lemah, karena kehilangan banyak darah.
Rose tidak sempat menanyakan namanya karena selang lima menit menemani dia, seorang yang dia katakan akan datang menjemputnya tiba disana.
Ada cukup banyak orang berpakaian serba hitam yang turun dari beberapa mobil mahal yang mereka parkir di dekat gang, dan dengan cepat membawa laki-laki yang Rose temani tadi.
Setelah mengatakan bagaimana kondisi lelaki itu pada seorang lelaki yang mungkin adalah bawahannya, Rose pun berlalu meninggalkan gang tersebut karena tidak ingin terlambat pulang kerumah sementara dia belum puas berjalan-jalan disekitar sana.
Rose tidak ingin terlambat bangun karena jadwal penerbangan mereka yang hanya pukul enam pagi.
Itulah kali pertama dan terakhir Rose bertemu dengan sosok dingin dan misterius itu. Hingga saat menonton berita di TV enam bulan yang lalu, Rose pun akhirnya mengetahui siapa nama lelaki yang sempat dia tolong waktu itu di kota kelahiran ibunya Mexico.
"Ada apa? Dari Tadi Daddy dengar kalian ribut sekali disini," ujar Alex yang baru keluar dari ruang penyimpanan dengan buket bunga besar di tangan, hampir menutupi seluruh tubuhnya.
"Aku diterima bekerja Dad," sahut Rose antusias.
"Benarkah?" Rose mengangguk. "Astaga ... Daddy ikut bahagia untukmu, Nak."
"Thank you Dad." sahut Rose yang mendekat ingin memeluk ayahnya.
"Sebentar, Daddy letakkan dulu buket ini lalu kita berpelukan yah," ujar lelaki paruh baya itu dan meletakkan buket bunga pesanan miss Pretty di tempat biasa.
"Daddy bangga padamu, Nak." Peluk Alex penuh cinta pada putri tunggalnya. "Mommy pasti ikut bahagia dari atas sana melihat putri kesayangannya bisa bekerja di sebuah perusahaan seperti mimpi kamu dulu."
Rose mengangguk dan semakin memperdalam pelukan ayah dan anak itu dengan hati membuncah penuh kebahagiaan dan rasa syukur yang mendalam.
Setidaknya dengan dia bekerja, Rose bisa membantu perekonomian keluarga mereka dan ayahnya tidak perlu bekerja banting tulang seperti dulu saat dia masih kuliah.
"Ah, aku juga ingin dipeluk Uncle!" ujar Sonya yang sejak tadi ikut terharu melihat kedekatan sahabat dan ayahnya itu
"Tidak boleh! Ini Dady aku, bukan Dady kamu!" ujar Rose yang sengaja bertingkah seperti anak kecil di depan sahabatnya.
"Jangan pelit Rose, aku sudah lama tidak pernah dipeluk lagi oleh Daddyku," dengus Sonya cemberut.
Sejak setahun dia pindah ke kota ini, Sonya tidak pernah lagi pulang ke Mexico untuk bertemu dengan keluarganya di sana.
"Sudah, sudah. Sini kemari, mendekat sini dengan kami Sonya...," ujar Alex menengahi kedua wanita yang memang suka saling meledek satu sama lain itu.
Sonya tersenyum penuh kemenangan dan ikut memeluk Alex dan Rose yang masih berpelukan dengan hangat.
"Semoga Tuhan selalu memberkati kalian berdua anak-anakku," sambung Alex mendoakan Rose dan Sonya yang langsung diaminkan oleh keduanya.
