Bab 1. Jerat Satu Malam
Las Vegas, Nevada, USA.
“Joice, kau mau ke mana malam-malam seperti ini? Besok kau memiliki pemotretan pagi.” Seorang manager mengingatkan Joice untuk tidak pergi ke mana pun. Apalagi ini sudah tengah malam, dan besok Joice memiliki jadwal yang padat.
Joice menghela napas dalam. “Aku sedang bosan. Aku butuh sesuatu yang membuat otakku menjadi tenang. Kau tenanglah. Jangan khawatirkan aku. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”
“Tapi—”
“Come on, aku ini jenuh dengan segala rutinitasku. Jangan mengekangku. Aku juga ingin memiliki kehidupan bebas.” Joice memotong ucapan managernya itu—dan langsung berjalan anggun meninggalkan sang manager yang nampak pasrah. Jika sudah seperti ini, maka apa yang menjadi keinginan Joice haruslah terwujud. Tidak bisa berkata tidak.
Sebuah klub malam ternama di Las Vegas begitu memeriah. Malam semakin larut suasana di klub malam itu semakin memanas. Aroma tembakau dan aroma alkohol yang begitu kuat telah melebur menjadi satu.
Para pelayan memakai seragam kelinci seksi demi para membuat pengunjung pria terkagum akan kemolekan pelayan seksi di klub malam itu. Tidak sedikit pasangan di sana saling mencumbu.
Lantai dansa penuh dengan lautan manusia. Mereka bisa juga bukanlah pasangan. Hanya pasangan ‘One Night Stand’. Pasangan di mana hanya sekedar cinta satu malam saja. Setelah itu besoknya mereka akan lupa, bahkan seakan tidak saling mengenali satu sama lain lagi.
Joice berada di klub malam itu, bukan bermaksud ingin mencari teman kencan. Dia sengaja berada di klub malam itu karena merasa bosan terus menerus berada di kamar hotel.
Model cantik dan terkenal itu selalu menghabiskan hidupnya di lokasi pemotretan. Hal itu yang membuat Joice merasa jenuh, dan ingin menghabiskan waktu bersantai sejenak mengistirahatkan penat di pikirannya.
“Minum?” seorang pria tampan menawarkan wine pada Joice.
“No, thanks.” Joice segera menghindar dari pria itu, tanpa mau melihat ke arahnya.
Joice bukanlah wanita kuno yang tak pernah mendatangi klub malam. Berprofesi sebagai model terkenal membuatnya sudah terbiasa dengan kehidupan malam. Tapi meski demikian, wanita itu tak pernah sedikit pun menghiraukan pria yang menggodanya.
Seperti saat ini, sudah banyak sekali tatapan lapar yang menatap Joice Osbert, namun sayangnya tak ada satu pun pria yang dipedulikan olehnya. Joice malah menjauh dari pria-pria yang berusaha menggodanya itu.
“Berikan aku wine.” Joice duduk di depan kursi bartender, meminta sang bartender memberikan wine padanya.
“Baik, Nona.” Sang bartender segera menyiapkan wine untuk Joice.
Joice menerima wine itu dan menyesap perlahan. Dia sedikit menikmati alunan musik yang memekak telinga. Suasana klub malam yang meriah sedikit mengusir rasa kesepian di dalam diri Joice.
Lalu … tatapan Joice tanpa sengaja teralih pada seorang pria yang duduk di kursi VIP sendirian dan seperti tengah merintih kesakitan. Tampak raut wajah Joice berubah melihat sosok pria yang ada di hadapannya adalah sosok pria yang sangat dia kenali.
“Marcel?” Joice langsung bangkit berdiri, menatap lekat pria yang duduk sendiri di kursi VVIP. Tanpa banyak berpikir, dia segera menghampiri pria itu.
“Marcel? Kau kenapa?” Joice mendekat ke arah Marcel, dan menyentuh tangan pria tampan dan gagah itu. Pria yang sangat dirinya kenali.
“Lepas! Pergilah!” seru Marcel emosi.
Joice menggeleng tegas. “Aku tidak akan meninggalkanmu. Kau kenapa, Marcel?”
Marcel memejamkan mata menahan sakit di sekujur tubuhnya yang tak bisa lagi tertahankan. Sentuhan tangan halus dan lembut Joice membuat Marcel kehilangan akal sehatnya untuk berpikir jernih.
Joice merasa ada yang aneh pada Marcel. Dia sangat mengenal Marcel dengan baik. “Ikut aku.” Akhirnya, Joice memutuskan untuk membawa pergi Marcel meninggalkan klub malam.
Awalnya, Marcel sempat melakukan penolakan, tetapi sentuhan tangan lembut Joice membuat pria itu benar-benar tidak bisa berpikir. Sesuatu hal mendorong pria itu untuk ikut bersama dengan Joice.
***
Aroma pengharum ruangan lavender menyeruak ke indra penciuman. Joice membawa Marcel ke sebuah hotel yang letaknya tak jauh dari klub malam. Wanita itu bingung ingin membawa Marcel ke mana. Karena yang Joice tahu Marcel tak tinggal di Las Vegas. Jika Marcel berada di Las Vegas, itu artinya Marcel hanya sekedar berlibur atau sedang melakukan perjalanan bisnis.
Joice membantu Marcel untuk berbaring di tempat tidur, namun tiba-tiba di kala dia hendak menjauh malah Marcel menarik tangannya hingga membuat tubuh Joice menindih tubuh Marcel.
“M-Marcel—” Baru saja Joice hendak berucap, Marcel sudah langsung berguling menindih tubuh Joice. Sontak Joice terkejut akan tindakan Marcel itu.
“M-Marcel—” Joice baru saja ingin kembali berucap tapi Marcel sudah langsung melumat bibirnya dengan liar.
Seketika mata Joice melebar terkejut di kala Marcel mencium bibirnya dengan liar dan agresif. Joice memukuli dada bidang Marcel, meminta Marcel untuk melepaskannya, namun alih-alih terlepas malah pria itu mencium Joice dengan semakin liar dan menggebu—hingga membuat Joice nyaris kehabisan napas.
“Kau yang mengantarkan dirimu. Jangan salahkan aku,” bisik Marcel seraya meremas payudara Joice.
“Akh!” Joice meringis di kala Marcel meremas kedua payudaranya. Sungguh, mendapatkan sentuhan dari pria yang dia cintai sejak lama, membuat seluruh tubuhnya menjadi lemah dan tak berdaya.
Marcel menurunkan kemben Joice dengan mudah, hingga membuat kedua payudara Joice menyembul keluar. Puting payudara yang berwarna merah muda berdiri tegak membuat Marcel telah kehilangan kewarasan dalam dirinya.
“M-Marcel, ahh!” Joice mendesah di kala jemari Marcel mengusap-usap puting payudaranya.
“Payudaramu indah sekali,” bisik Marcel sambil membenamkan bibirnya ke puting payudara Joice—dan mengisap layaknya bayi kelaparan.
“Oh, Marcel!” jerit Joice tak karuan di kala Marcel mengisap puting payudaranya.
Tubuh Joice bergelinjang seakan tersengat aliran listrik yang dahsyat. Wanita itu benar-benar tidak sanggup menahan semua itu. Lidah Marcel membelai puting payudaranya—begitu nikmat.
Erangan dan desahan yang lolos di bibir Joice, membuat Marcel semakin bermain dengan liar dan panas. Marcel seperti bayi yang begitu lapar sampai membuat Joice meringis di kala putingnya digigit dan diisap.
Marcel melepaskan kulumannya, dan langsung menarik celana dalam berenda Joice—melempar ke sembarangan arah. Tampak Joice terkejut akan tindakan Marcel yang menarik celana dalam miliknya. Sekarang Joice sudah telanjang bulat di depan Marcel.
“M-Marcel, j-jangan,” lirih Joice namun sama sekali tak dihiraukan Marcel.
Marcel membawa tangannya menyentuh klitoris Joice hingga membuat Joice melenguh meloloskan desahan keras. Pria itu sangat tahu bagaimana menyentuh Joice di titik sensitive agar Joice bisa terangsang.
Marcel melucuti celananya, melempar sembarangan celananya itu, dan membuat Joice untuk pertama kalinya melihat kejantanan Marcel yang besar, keras, dan menegang.
Joice melangkah mundur berusaha menjauh. Tindakannya ini sudah benar-benar gila, namun sayangnya di kala Joice menjauh malah Marcel menarik kedua kaki Joice—bahkan pria itu melebarkan paksa kedua paha Joice—dan memasuki kejantananya ke dalam liang sempit Joice dengan satu kali hentakan.
“Ahhhh!” teriak Joice kesakitan di kala Marcel mencoba menerobos lubang surga yang selama ini tak pernah dia berikan oleh satu pria mana pun.
Marcel kesulitan memasuki Joice. Pria itu terus menekan liang sempit Joice tanpa memedulikan jeritan Joice. Dia terus semakin memasuki Joice hingga kejantanannya berhasil memasuki liang sempit wanita itu.
Air mata Joice berlinang jatuh di kala Marcel berhasil memasukinya. Tubuh Joice bergetar meringis kesakitan, namun semua sudah terlanjur. Sekeras apa pun dia berontak tak akan pernah bisa dia lepas dari jerat Marcel. Akhirnya yang Joice lakukan adalah memeluk tubuh Marcel dan membiarkan pria itu menghunjamnya dengan tempo yang liar.
“Marcel …” Joice merintih di setiap kali Marcel menghunjamnya dengan menggila seperti orang yang kehilangan akal sehatnya.
Malam itu menjadi saksi di mana dua insan yang tak seharusnya berpasangan telah terjebak pada kejadian satu malam—yang nantinya akan berdampak pada semuanya.